Opini

Kebutuhan Pokok Pendidikan Versus Biaya Pendidikan (SPP)

Pendidikan merupakan sebuah kebutuhan pokok bagi manusia sebagai cara untuk mengembangkan potensi serta membekali manusia dengan keterampilan yang dibutuhkan untuk kehidupan yang lebih baik.

OLEH: KELOMPOK 3 KELAS 4F IKOM FISIP UNTIRTA *)

Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, baik pendidikan yang bersifat formal maupun informal. Karena pendidikan merupakan kebutuhan pokok dan salah satu cara untuk menjadi manusia yang berkualitas.

Pendidikan juga merupakan salah satu cara untuk memutus rantai kemiskinan. Sebab, dengan kualitas SDM yang meningkat melalui pendidikan, tingkat produktivitas manusia bisa lebih meningkat untuk terus mendapatkan penghasilan.

Kemudian, dengan terus meningkatnya penghasilan maka masyarakat dapat mulai menabung atau berinvestasi. Namun, mirisnya masih banyak siswa yang putus sekolah disebabkan masalah perekonomian keluarga.

Seperti yang dikatakan oleh Rozi (2019), salah satu ukuran pencapaian pembangunan suatu negara adalah kinerjanya di sektor pendidikan. Pemberian beasiswa atau bantuan keuangan kepada siswa yang berasal dari latar belakang yang kurang mampu merupakan salah satu faktor yang mendorong pendidikan.

Kesetaraan diperlukan untuk mendorong kemajuan pendidikan, baik dari segi finansial maupun non-finansial. Sehingga, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menginisiasi program-program beasiswa untuk membantu para pelajar yang kesulitan secara finansial dalam rangka mendorong kesetaraan dalam hal pendidikan.

Contoh program beasiswa yang sudah disediakan oleh pemerintah adalah; Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Siswa Miskin (BSM), Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan masih banyak lainnya.

Inisiatif ini diyakini akan menumbuhkan kehebatan pada generasi berikutnya dan memberikan pendidikan yang baik bagi anggota masyarakat yang lebih muda.

Namun, sangat disayangkan pada kenyataannya program-program tersebut belum diaplikasikan secara merata di seluruh Indonesia sehingga kasus seperti ini masih sering terjadi.

Menurut Suhardan (2012), biaya pendidikan meliputi biaya langsung, biaya tidak langsung, dan biaya privat (Rani Sofya, dkk 2018).

Biaya langsung mencakup gaji guru, alat peraga pembelajaran, biaya gedung, dan lainnya. Biaya tidak langsung mencakup biaya hidup dari siswa seperti belanja harian.

Biaya privat mencakup biaya yang dikeluarkan oleh orangtua siswa untuk mendapatkan fasilitas pendidikan yang layak seperti biaya les dari lembaga pendidikan diluar sekolah.

Berita tentang siswi yang diusir dari sekolah karena belum membayar uang iuran dan seragam olahraga merupakan cerminan dari kompleksitas dalam sistem pendidikan di Indonesia.

Kasus ini menggambarkan betapa pentingnya peran pendidikan dalam kehidupan setiap individu, namun juga menyoroti masalah aksesibilitas dan kesetaraan dalam pendidikan.

Kepala sekolah yang mengusir siswi tersebut menimbulkan pertanyaan tentang pendekatan yang seharusnya dilakukan dalam menangani masalah keuangan di sekolah.

Seharusnya, pendidikan untuk setiap warga negara wajib dipenuhi, karena itu merupakan hak asasi yang fundamental tanpa terkecuali, dan tidak seharusnya ada siswa yang diusir dari sekolah hanya karena masalah finansial.

Pentingnya pendidikan sebagai pondasi bagi kemajuan suatu bangsa seharusnya diimbangi dengan kebijakan yang mendukung aksesibilitas pendidikan bagi semua lapisan masyarakat. Dalam konteks ini, pemerintah dan pihak terkait perlu memastikan bahwa setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak tanpa adanya diskriminasi berdasarkan status ekonomi.

Kasus ini juga menyoroti pentingnya transparansi dalam pengelolaan keuangan sekolah, yang seharusnya pihak sekolah memberikan ruang bagi komunikasi dan negosiasi dengan orang tua siswa yang mengalami kesulitan dalam membayar iuran sekolah.

Reaksi pihak keluarga siswi yang berusaha untuk menyelesaikan masalah pembayaran tersebut menunjukkan kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka. Mereka berusaha untuk mencari solusi agar anaknya dapat kembali ke sekolah dan melanjutkan pendidikan dengan baik.

Langkah yang diambil oleh keluarga siswi untuk meminta waktu dan bermohon agar anaknya dapat kembali ke sekolah seharusnya menjadi contoh bagi pihak sekolah untuk lebih empati dan mempertimbangkan kondisi ekonomi siswa sebelum mengambil tindakan drastis seperti pengusiran.

Dalam konteks ini, peran pemerintah daerah dan dinas pendidikan sangatlah penting dalam memastikan bahwa setiap anak mendapatkan pendidikan yang layak tanpa hambatan finansial.

Terlebih, kasus seperti ini sudah sangat sering terjadi sebelum-sebelumnya yang membuktikan bahwa pemerintah masih gagal dalam hal menangani masalah pendidikan yang juga masih ada keterkaitannya dengan kemiskinan struktural di Indonesia.

Kemiskinan dan pendidikan menjadi sangat erat kaitannya karena ada hubungan sebab akibat langsung antara keduanya, yakni faktor penyebab terbatasnya masyarakat untuk mengakses pendidikan adalah kemiskinan.

Karena itu, masalah tersebut harus diatasi, meskipun diatasinya secara bertahap supaya ada keringanan untuk anak-anak dari keluarga yang kurang beruntung secara ekonomi.

Pada kasus serupa yang terjadi beberapa tahun lalu, sebagian dari mereka bahkan terpaksa melakukan tindak kriminal seperti mencuri ataupun menipu demi membayar biaya pendidikan mereka, apalagi sudah banyak berita pelajar mengakhiri hidupnya sendiri lantaran tidak bisa melunasi SPP yang menunggak di sekolahnya.

Pihak terkait perlu melakukan evaluasi terhadap kebijakan dan praktik di sekolah-sekolah untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan. Keselamatan dan kesejahteraan siswa harus selalu menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan pendidikan yang diimplementasikan. (**)

*) OPINI ini ditulis oleh Kelompok 3 kelas 4F Ikom Fisip Untirta yang beranggotakan Hilva Nuriyah Utomo, Catrien Joice Margareth S, Syifa Fauziah, Laila Rahmawati dan Fitriana Asyura.

Iman NR

Back to top button