Dibalik Reklamasi Makasar
SYAHRIR Daeng Rakkang terbangun begitu mendengar suara bising dari luar rumahnya di Desa Tamasaju, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, pada Juni 2017. Turun dari atas ranjangnya, pria yang berprofesi sebagai nelayan ini bergegas ke luar rumah dengan membawa senter. Syahrir mengingat waktu itu jam menunjukkan pukul 02.00. Rumah Syahrir terletak tak jauh dari pantai Desa Tamasaju.
Begitu membuka pintu, mata Syahrir terbelalak karena melihat cahaya lampu berpendar dari tengah laut. Sumbernya dari kapal yang terparkir sekitar 2 mil dari pantai. Selama ia tinggal di sana, Syahrir tak pernah melihat kapal besar beraktivitas di dini hari. “Kapal itu berkeliaran sampai awal 2018 lalu, dan setiap dini hari selalu mengeluarkan suara bising,” ujarnya awal September 2018 lalu.
Kapal yang dimaksud Syahrir adalah kapal Fairway yang berasal dari Republik Siprus, Eropa. Kapal memiliki panjang dan lebar, 230,71 meter serta 32 meter. Bobotnya, 33.423 ton dan di dalamnya dapat menampung muatan 35.500 meter kubik. Di Indonesia, kapal itu bekerja untuk PT Boskalis Internasional Indonesia, anak perusahaan dari Royal Boskalis Westminster N.V, perseroan asal Belanda. Untuk proyek reklamasi di Makassar, kapal digunakan PT Energy Marine Indonesia.
Menurut situs Boskalis, boskalis.com, aktivitas kongsi yang didirikan 1910 itu tak jauh dari pengerukan, pembangunan, serta perawatan pelabuhan, jalur laut, maupun pulau reklamasi. Di dalam negeri, kapal tersebut bekerja mengangkut pasir untuk menimbun pulau reklamasi Center Point of Indonesia (COI) atau CPI di pesisir Makassar, Sulawesi Selatan. Izin pembangunan megaproyek ini diteken Gubernur Sulawesi Selatan ketika itu, Syahrul Yasin Limpo.
Selain beraktivitas di kawasan pantai di Galesong Utara, menurut Daeng Pacora, kapal Fairway juga berkeliaran sampai pantai Sanrobone. Galesong dan Sanrobone berjarak sekitar 24 kilometer. Daeng Pacora, salah satu nelayan di Takalar, pernah membuntuti kegiatan kapal tersebut dari kejauhan.
Menurut Daeng Pacora, kapal Fairway datang dari arah Kota Makassar. Awalnya, ia ingin mendekati kapal Fairway. Namun, niat itu urung dilaksanakan karena perahunya hampir terbalik akibat ombak besar yang muncul akibat kapal Fairway. Saat berlayar, kapal Fairway memecah gelombang lautan sehingga menimbulkan ombak besar.
Pacora dan beberapa nelayan mengawasi kegiatan Fairway sambil menangkap ikan. Ia melihat pipa yang mirip belalai gajah dikeluarkan dari badan kapal dan dibuangnya ke lautan. Setelah dua jam kemudian, pipa itu ditarik kembali ke dalam kapal. “Kegiatan itu dilakukan selama empat kali dalam sehari,” ujarnya.
Semula, Pacora dan nelayan lain tidak mengetahui fungsi dari pipa dengan ukuran 2×1.200 milimeter itu. Belakangan, ia dan warga mengetahui corong tersebut mengambil pasir dari laut Takalar karena hasil tangkapan laut nelayan turun drastis. Contohnya, setelah kapal Fairway beraktivitas di Takalar, nelayan yang biasanya menangkap ikan sebanyak 10 basket seharinya, kini mereka hanya membawa pulang paling banyak satu basket tangkapan laut.
Pada Agustus 2018 lalu di Desa Tamaju, salah satu perkampungan nelayan, banyak kapal yang tak melaut. Para nelayan mengeluhkan untuk mencari ikan harus melaut lebih jauh dan hasilnya belum tentu menutupi ongkos untuk membeli solar. “Sekarang ada yang beralih kerjaan menjadi kuli bangunan,” ujar Pacora.
Ekosistem bawah laut rusak akibat belalai penyedot pasir kapal Fairway. Menurut Daeng Pacora yang pernah menyelam di sekitar kapal Fairway beroperasi, pipa penyedot itu juga merusak terumbu karang. Terumbu karang ini berfungsi untuk menahan ombak yang bisa mengakibatkan abrasi di pesisi pantai. Apalagi, data dari Pelabuhan Boddia, Galesong, Kabupaten Takalar, kapal tersebut sudah mondar-mandir sedikitnya 256 kali di kawasan itu dengan total muatan pasir sebanyak 7,68 juta meter kubik.
Bahkan pada November 2018, tempat pemakaman di Desa Mangindara dan Desa Sampulungan, Galesong Utara, terkikis akibat abrasi. Awalnya kuburan itu berjarak lima belas meter dari pesisir laut. Akibatnya, tulang belulang dan kain kafan mayat bertebaran di laut akibat abrasi. Selain kuburan, puluhan rumah juga hancur. “Abrasi meningkat setelah ada penambangan pasir laut,” kata Daeng Muntu, warga setempat.
Penambangan Pasir di Area Konservasi
PEMBANGUNAN pulau reklamasi Center Point of Indonesia (COI) atau CPI di pesisir Makassar menuai polemik sejak awal. Ketua Fraksi Partai Demokrat di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Selatan, Selle KS Dalle, menuturkan lembaganya tak pernah dilibatkan dalam pembahasan izin reklamasi.
Bekas anggota Komisi D, yang membidangi pembangunan ini, menenggarai izin proyek itu mulus lantaran pengerjaannya dilakukan Ichsan Yasin Limpo. Ichsan merupakan adik dari Gubernur Sulawesi Selatan periode 2008-2018, Syahrul Yasin Limpo. “Ichsan yang mengatur reklamasi dan Pak Syahrul yang menandatanganinya,” ujar Selle, 22 Desember 2018 lalu. Syahrul Yasin Limpo enggan mengomentari hal tersebut dan tudingan terhadap adiknya. “Saya tolak wawancara itu,” ujarnya November 2018 lalu.
Kendati tidak melalui rapat dengan DPRD, Syahrul tetap mengeluarkan izin pembangunan reklamasi. Proyek itu pun dikerjakan oleh PT Yasmin Bumi Asri yang bekerja sama dengan PT Ciputra Surya Tbk. PT Yasmin, menurut Selle, adalah milik Ichsan. Nantinya, pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan bakal mendapatkan jatah lahan seluas 50 hektare jika pulau reklamasi selesai.
Untuk membangun pulau buatan itu, pengembang butuh pasokan pasir. Dalam proyek reklamasi Makassar, ada enam perusahaan yang mendapat izin usaha pertambangan untuk mengeruk pasir. Yakni, PT Yasmin Resources Nusantara, PT Lautan Phinisi Resources, PT Mineratama Abadi, PT Gasing Sulawesi. Selanjutnya adalah PT Alefu Karya Makmur dan PT Hamparan Laut Sejahtera.
Keenam perusahaan bisa menambang di empat wilayah yang sudah ditentukan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral serta Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Sulawesi Selatan Provinsi Sulawesi Selatan. Yakni, Kabupaten Takalar, Kabupaten Janeponto, Kabupaten Maros, dan Kota Palopo. “Itu rekomendasi, tapi karena reklamasi di Makassar, jadi butuh pasir dari wilayah pertambangan terdekat, di Takalar,” ujar Kepala Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Sulawesi Selatan, Andi Hasbi Nur, 1 April 2019 lalu.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Sulawesi Selatan, Gunawan Palaguna, menuturkan lembaganya mengeluarkan izin menambang di lokasi perairan yang jaraknya di bawah empat mil. Ia merujuk pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara sebagai dasar hukumnya. Selain itu, Gunawan menganggap di perairan Takalar pun hanya sedikit nelayan dan tak akan menganggu pekerjaan mereka. “Yang cari ikan di sini satu-dua nelayan,” katanya.
Keputusan Gunawan ini membuat Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Brahmantya Satyamurti Poerwadi mengirimkan surat ke Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo. Isinya meminta penambangan pasir di Takalar untuk pulau reklamasi Center Point of Indonesia (COI) atau CPI seluas 157,23 hektare di pesisir Makassar dihentikan.
Menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan, Agus Dermawan, alasan lembaganya mengeluarkan surat itu karena wilayah dua mil dari bibir pantai merupakan area terlarang untuk pertambangan. Apalagi, lanjut dia, tim menemukan bukti bahwa kapal Fairway mengeruk pasir di kawasan laut yang berjarak kurang dari dua mil dari garis pantai. “Itu melanggar aturan,” ujar Agus 29 Maret lalu.
Pasal 5 huruf d Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 33 Tahun 2002 tentang Zonasi Wilayah Pesisir Laut dan Laut Untuk Kegiatan Pengusahaan Pasir Laut menyebutkan, jarak dua mil dari garis pantai masuk dalam kawasan perlindungan dan dilarang untuk melakukan pertambangan pasir laut. Dua mil dari bibir pantai merupakan lokasi ekosistem bawah laut. Menurut Agus, di kawasan Takalar sendiri adalah tempat kuda laut bertelur dan konservasi lingkungan.
Kementeriannya, lanjut Agus, mencurigai kapal itu bergerak di dekat pesisir pantai lantaran lebih mudah mengeruk pasir dari daratan. Perahu besar itu pun juga kerap berjalan kembali menuju tempat reklamasi sambil menjulurkan belalai penyedor pasirnya. Kepala Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Sulawesi Selatan, Andi Hasbi Nur, mengatakan kapal yang berlayar sambil menyedot pasir sudah sesuai dengan mekanisme.
Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo, enggan memberikan komentar saat Tempo meminta tanggapan mengenai surat dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. “Aku enggak mau diwawancara kalau kamu tanya itu,” ujarnya di salah satu kedai kopi di Jalan Boulevard, Makassar, 16 November 2018 lalu.
Karena kapal Fairway ketika itu kerap hilir mudik di sekitar Takalar, beberapa kawasan pun hancur. Gelombang di dalam laut, lanjut Agus, juga berubah lantaran terumbu karang yang rusak serta gundukan pasir yang semakin sedikit. Walhasil, pola energi dan gelombang laut berubah dan mengakibatkan abrasi. “Perlu beberapa puluh tahun untuk mengembalikan kawasan yang rusak,” katanya.
ASMAWIRANA PUTRI, HUSSEIN
Liputan ini bagian dari program Investigasi Bersama Tempo, yang terselenggara berkat kerja sama Tempo, Tempo Institute, dan Free Press Unlimited. MediaBanten.Com mengambil tulisan ini untuk uji coba halaman investigasi.