Hukum

Kejagung Gelar Perkara Kasus Walikota Serang Dugaan Korupsi Tanah

Kasus dugaan korupsi yang menyeret Walikota Serang H. Syafrudin memasuki babak baru. Kejaksaan Agung (Kejagung) bersama Kejati Banten dan Kejari Serang telah melakukan gelar perkara di Kantor Kejaksaan Agung, Kamis 3 Desember lalu.

Usai gelar perkara tersebut, kini nasib Walikota Serang, Syafrudin benar-benar di ujung tanduk.

Perkara dugaan korupsi penjualan tanah negara yang melibatkan Walikota Serang, Syafrudin tersebut bermula dari penjualan tanah bengkok seluas 8.200 meter persegi yang berlokasi di Kampung Batok Bali, Serang, Banten.

Kasus ini telah menjerat dua orang terdakwa atas nama M. Faisal Hafiz (MFH) dan terdakwa lain yang telah diputus pidana penjara selama 18 bulan dan denda sebesar Rp100 juta subsider 2 bulan penjara.

Faisal terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi bersama dengan Syafrudin yang saat itu menjabat Camat Taktakan. Akibat penjualan Itu, negara dirugikan sebesar Rp2,3 miliar.

Kepala Kejaksaan Negeri Serang, Supardi, membenarkan pihak telah melakukan gelar perkara di Kejagung. Gelar perkara tersebut untuk menetapkan status Walikota Serang, Syafrudin. “Gelar perkara itu untuk menetapkan status Walikota Serang,” ungkap Supardi, Senin (7/12/2020).

Namun Supardi enggan menyebutkan status Walikota Serang, Syafrudin saat ini. “Nanti dulu ya, sabar,” tambah Supardi.

Sementara Itu, Kordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (Maki), Boyamin Saiman, mendatangi Kantor Kejaksaan Negeri Serang untuk mempertanyakan kasus yang menyeret Walikota Serang, Syafrudin. Boyamin Saiman mendesak Kajari Serang untuk segera menuntaskan perkara tersebut.

Bahkan Boyamin mengancam Kajari Serang akan melakukan praperadilan jika tidak menuntaskan kasus orang nomor satu di Kota Serang tersebut. “Kalau Kajari tidak menuntaskan kasus ini, saya akan praperadilan Kejari Serang,” ancam Boyamin.

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta Prof. Dr. Suparji Ahmad mengatakan, jika perbuatan memiliki unsur turut serta atas terjadinya suatu tindak pidana, seharusnya orang tersebut bisa dijerat dan diproses secara hukum.

Namun dalam pasal turut serta, masing-masing pelaku harus dikualifikasikan perbuatannya. “Jika mengenakan Pasal 55 KUHP itu memang harus jelas porsinya. Pelaku turut serta dalam konteks sebagai apa? Apakah dia menyuruh, membantu, atau turut serta mengajurkan. Kategori-kategori ini bisa dijerat pidana,” ungkap Suparji.

Meskipun pelaku sudah mengembalikan kerugian negara, Suparji menambahkan perbuatan itu tidak serta merta menghapus perbuatan pidananya. Perbuatan itu akan menjadi pertimbangan majelis hakim untuk meringankan vonis terhadap pelaku.

“Dalam UU Tipikor jelas bahwa pengembalian uang hasil korupsi itu tidak bisa menghapuskan perbuatan pidananya. Tapi hanya menjadi pertimbangan saja bagi majelis hakim,” tambah Suparji. (*)

Iman NR

Back to top button