IndustriInternet

Dibilang Monster Pemangsa Film Streaming, Ini Pendapatan Iklan Youtube

Youtube, salah satu produk Google mulai menggoyahkan pasar streaming yang selama ini dikuasai layanan berlangganan seperti Disney, Netfix, HBO Max dan lainnya. Bahkan dua korporasi televisi di Indonesia juga pernah mengajukan judicial review soal harus berizinnya film streaming di media sosial, termasuk Youtube.

CnbcIndonesia menyebut Yotube sebagai monster yang mendisrupsi pasar streaming. Terbukti, pada laporan kuartal II tahun 2021, Google melaporkan pendapatan iklan YouTube yang mencengangkan, tembus US$7 miliar atau setara Rp 101,5 triliun dengan asumsi Rp 14.500/US$ (Baca: Google Kini Punya ‘Monster’ yang Bikin Cemas Netflix Cs).

Pada kuartal II-2021, pendapatan Netflix tumbuh 19,4% menjadi US$7,34 miliar sementara pendapatan iklan YouTube tumbuh 83% menjadi US$7 miliar. Ini belum dihitung pendapatan dari pendapatan berlangganan seperti YouTube TV dan YouTube Premium. Netflix sendiri hanya memiliki pendapatan dari berlangganan.

Google mengatakan bulan lalu penonton YouTbe TV sudah tembus 120 juta orang per bulan. Chief Business Officer Google Philipp Schindler mengatakan YouTube TV merupakan “bisnis dengan pertumbuhan tercepat yang kami miliki,” jelasnya seperti dikutip dari CNBC International, Kamis (29/7/2021).

Ini harus jadi sinyal kuat bahwa YouTube mulai merambah bisnis Netflix (memiliki 209 juta pelanggan per akhir Juni 2021), dan Disney+ (103 juta pelanggan per 3 April).

Baca:

Nielsen mengatakan lebih banyak orang menonton YouTube dan Netflix daripada layanan streaming lainnya. YouTube dan Netflix adalah dua streamer teratas, dengan masing-masing layanan menyumbang 6% dari waktu yang dihabiskan untuk menonton televisi.

YouTube Shots, layanan video pendek pesan TikTok, menunjukkan hal yang menjanjikan. Google mengatakan metrik penayangan melonjak dari 6,5 miliar penayangan per hari di bulan Maret menjadi 15 miliar penayangan per hari pada akhir kuartal terakhir.

Judicial Review 2 korporasi besar industri televisi Indonesia milik Hary Tanoesoedibjo didaftar dengan nomor 39/PUU-XVIII/2020. Gugatannya adalah pasal 1 ayat 2 tentang UU No.32 tahun 2002 tentang UU Penyiaran.

Pasal yang diuji adalah pasal 1 ayat 2 yang berbunyi: “Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.”

Alasannya karena banyaknya layanan penyiaran berbasis internet yang bermunculan namun tak tercakup dalam pasal yang ingin diuji. Layanan berbasis internet memang melahirkan banyak platform digital yang dikenal dengan layanan OTT, misalnya Netflix.

Kata Inews dan RCTI, seharusnya layanan OOT masuk ke dalam aturan penyiaran karena turut melaksanakan aktivitas penyiaran (penyampaian pesan dalam bentuk suara, gambar atau suara dan gambar). Perbedaannya dengan aktivitas penyiaran konvensional terletak pada cara pemancarluasan/penyebarluasan.

Selain itu, kata mereka, fakta adanya diversifikasi penyiaran berbasis internet tidak diikuti dengan adanya kepastian hukum mengenai regulasi layanan OTT khususnya yang masuk kategori konten/video on demand/streaming.

Akhirnya MK menolak secara keseluruhan judicial review dari dua korporasi televisi tersebut. Alasannya, pengaturaan konten over the top (OTT) atau aplikasi dilakukan melalui UU ITE. Berbeda dengan penyiaran diatur melalui UU No.32 tahun 2002 tentang penyiaran. (Reporter / Editor: IN Rosyadi)

Iman NR

Back to top button