Opini

Menelisik Tingkat Kemiskinan di Provinsi Banten

Kinerja Pemprov Banten perlu diapresiasi. Tingkat kemiskinan Provinsi Banten mengalami perbaikan dari tahun 2007 sebesar 9,07 persen menjadi 6,17 persen atau 826,13 ribu jiwa pada maret 2023.

OLEH: KH M FAIZ ARACHMAN *)

Capaian tersebut melampaui tingkat kemiskinan nasional sebesar 9,36 persen. Catatan ini penulis angkat dari salah satu kutipan sambutan Pj Gubernur Banten pada Ulang Tahun Banten ke 23.

Namun setelah mereka dinyatakan keluar dari garis kemiskinan bagaimana kelanjutannya? Apakah mereka akan Kembali miskin lagi? Kalau mereka sudah berdaya, apa yang mereka kerjakan untuk menjaga keberdayaannya?

Ketika kemiskinan dirujuk oleh angka-angka statistik, ada dua pertanyaan mendasar. Apakah rumus statistik sama dengan rumus berkurangnya kemiskinan? Bagaimana akselerasi dan aksebtibilitas keberdayaan si miskin dalam realitasnya?

Saat kemiskinan hanya bisa ditentukan oleh data statistik berdasarkan logika kuantitatif tanpa mampu mengubah wajah kemiskinan itu sendiri. Tak ayal, pertanyaan-pertanyaan penting terkait si miskin yang “dituduh” sudah pulih tertutup kabut tebal.

Kemiskinan berkelindan antara “garapan” takdir, budaya, kemalasan dan karena dimiskinkan negara baik secara langsung atau tidak langsung.

Hanya agama yang paling bertanggungjawab, memiliki motivasi secara sungguh-sungguh ingin membebaskan seseorang dari kemiskinan: Tuhan tidak akan mengubah suatu kaum jika kaum tersebut tidak mau mengubah dirinya.

Sebagai bagian dari masyarakat yang merasa prihatin terhadap fenomena kemiskinan yang terjadi di tanah Jawara, informasi tersebut menggembirakan sekaligus menjadi pemikiran yang mesti digali lebih dalam lagi.

Sudah saatnya “prestasi” mengurangi jumlah penduduk miskin tidak hanya menjadi domain statistik. Anatomi kemiskinan yang terjadi di tengah masyarakat mesti tergambarkan secara jelas.

Adanya defnisi kemiskinan adalah suatu situasi dimana individu atau keluarga tidak memiliki keberdayaan untuk mengakses pelayanan dasar, mengasumsikan bahwa kemiskinan ditengah masyarakat disebabkan karena kemiskinan struktural (miskin karena negara).

Pelayanan dasar pemerintah belum optimal atau “diskriminatif” atau lemah untuk diakses masyarakat.

Kenapa terjadi kemiskinan? Penjelasan ini akan sangat berdampak kepada upaya mengurangi kemiskinan sekaligus menjadi informasi dan bentuk pertanggungjawabannya.

Karena itu, basis data siapa dan dimana kemiskinan itu terjadi menjadi penting. Untuk mengukur semua faktor yang dapat meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat.

Informasi yang lebih penting lagi dan dibutuhkan adalah ketika dinobatkan sekelompok atau sejumlah masyarakat dinyatakan telah keluar dari garis kemiskinan.

Siapa? Dimana? Dan bagaimana keberlanjutan dari keberdayaan tersebut dimasa mendatang dapat digambarkan menjadi sebuah fenomena informatif – substantif bukan kuantitatif – subjektif.

Ada kekhawatiran dan ini wajar, ketika ada anggapan berkurangnya kemiskinan yang terjadi karena ada intervensi sesaat yang belum tentu menjamin keberlanjutan keberdayaannya.

Artinya pengentasan kemiskinan disisi lain perlu dikelola secara kualitatif. Perlu ada kategori yang menjelaskan secara meyakinkan adanya perpindahan cluster kemiskinan yang berproses secara gradual ke arah perubahan perbaikan secara signifikan.

Hal ini akan menghindari kemiskinan sebagai entitas angka yang dapat naik dan turun dimana metodeloginya hanya dipahami oleh orang-orang yang berkepentingan terhadap pertanggungjawaban dalam bentuk pelaporan. (**)

*) KH M Faiz Arachman, S.Pd.I adalah Sekretaris DPW Bintang Sembilan Wali (Biwali) Banten

Iman NR

Back to top button