MSF: Penyintas dan Korban Kekerasan Seksual di Kongo Meningkat
Dokter Lintas Batas atau Médecins Sans Frontières (MSF) menyerukan berbagai pihak mengambil tindakan untuk mencegah terus meningkatnya jumlah penyintas dan korban kekerasan seksual di Republik Demokratik Kongo.
Pada tahun 2023, tim MSF di Republik Demokratik Kongo membantu merawat 25.166 korban dan penyintas kekerasan seksual di seluruh negeri. Jumlah tersebut lebih dari 2 orang setiap jam.
Sejauh ini, angka tersebut merupakan jumlah tertinggi yang pernah dicatat oleh MSF di Kongo, berdasarkan data dari 17 proyek yang dibentuk oleh MSF untuk mendukung Kementerian Kesehatan di lima provinsi Kongo: Kivu Utara, Kivu Selatan, Ituri, Maniema, dan Kasai Tengah.
Pada tahun-tahun sebelumnya (2020, 2021, 2022), tim MSF merawat rata-rata 10.000 korban per tahun di negara tersebut. Oleh karena itu, tahun 2023 menandai peningkatan besar dalam jumlah pasien yang dirawat.
Tren ini meningkat pada bulan-bulan pertama tahun 2024; di provinsi Kivu Utara saja, 17.363 korban dan penyintas dirawat dengan bantuan MSF antara Januari dan Mei.
Bahkan, sebelum pertengahan tahun, jumlah ini sudah mewakili 69% dari total jumlah korban yang dirawat pada tahun 2023 di lima provinsi yang disebutkan di atas.
Perempuan Terlantar
Berdasarkan analisis dan verifikasi selama beberapa bulan, data perawatan tahun 2023 yang disajikan dalam laporan “We are calling for help” menunjukkan bahwa 91% korban yang dirawat dengan bantuan MSF di Kongo terdapat di provinsi Kivu Utara, tempat bentrokan antara kelompok M23, tentara Kongo, dan sekutu yang telah berkecamuk sejak akhir tahun 2021, serta memaksa ratusan ribu warga sipil mengungsi.
Sebagian besar korban (17.829) dirawat di lokasi pengungsian sekitar Goma, dan terus bertambah sepanjang tahun 2023.
“Menurut kesaksian pasien kami, dua pertiga dari mereka diserang di bawah todongan senjata,” kata kepala program MSF di Kongo Christopher Mambula.
“Serangan ini bukan hanya terjadi di lokasi itu, tetapi juga di daerah sekitarnya ketika perempuan dan anak Perempuan–yang merupakan 98% korban yang dirawat oleh MSF di Kongo pada tahun 2023–pergi untuk mengumpulkan kayu atau air, atau bekerja di ladang,” katanya.
Selain kehadiran besar-besaran pria bersenjata di dalam dan sekitar lokasi pengungsian menjelaskan ledakan kekerasan seksual ini, tidak cukupnya respons kemanusiaan serta kondisi kehidupan yang tidak manusiawi di lokasi-lokasi ini, juga memicu fenomena tersebut.
Kurangnya makanan, air, dan aktivitas yang bisa menghasilkan pendapatan, memperburuk kerentanan perempuan serta anak perempuan (1 dari 10 korban yang dirawat oleh MSF pada tahun 2023 adalah anak di bawah umur).
Merela terpaksa pergi ke perbukitan dan ladang tetangga, terdapat banyak pria bersenjata. Kurangnya sanitasi dan tempat berlindung yang aman bagi perempuan dan anak perempuan juga membuat mereka rentan terhadap serangan.
Selain itu, mereka menjadi korban eksploitasi seksual karena ingin menghidupi keluarga.
“Di atas kertas, tampaknya ada banyak program untuk mencegah dan menanggapi kebutuhan korban kekerasan seksual. Namun di lapangan, di lokasi pengungsian, tim kami berjuang setiap hari untuk merujuk korban yang membutuhkan bantuan,” kata Christopher Mambula.
Dia menambahkan, beberapa program yang ada selalu berumur pendek dan sangat kekurangan sumber daya. Masih banyak lagi yang dibutuhkan untuk melindungi perempuan dan memenuhi kebutuhan mendesak para korban.
Seruan Aksi
Berdasarkan kebutuhan yang diungkapkan oleh para korban, dan berdasarkan upaya sebelumnya untuk menyelesaikan masalah yang telah berlangsung lama di negara tersebut, laporan MSF mencantumkan sekitar 20 tindakan mendesak yang harus diambil oleh pihak-pihak yang berkonflik, otoritas Kongo
Bagi MSF, ada tiga bidang utama yang memerlukan aksi langsung.
Pertama, MSF mengimbau semua pihak yang bertikai untuk memastikan penghormatan terhadap hukum humaniter internasional.
Secara khusus, MSF menyerukan larangan mutlak atas tindakan kekerasan seksual, dan juga penghormatan terhadap hakikat sipil dari lokasi pengungsian.
Perlindungan warga sipil yang terjebak dalam pertempuran harus menjadi prioritas. Seruan untuk melindungi warga sipil dari kekerasan juga ditujukan kepada mereka yang terlibat dalam program kemanusiaan.
Kedua, MSF menyerukan peningkatan kondisi kehidupan di lokasi pengungsian internal. Yaitu, akses terhadap kebutuhan dasar harus ditingkatkan: makanan, air, aktivitas yang menghasilkan pendapatan, serta sanitasi dan tempat tinggal yang aman dan berpenerangan cukup.
Investasi ini juga harus disertai dengan peningkatan upaya untuk meningkatkan kesadaran tentang kekerasan seksual.
Selain itu, pendanaan kemanusiaan harus cukup fleksibel untuk menanggapi kebutuhan yang muncul dan mendesak, mitra pelaksana juga harus menunjukkan akuntabilitas dalam memberikan intervensi.
Ketiga, MSF menyerukan investasi khusus dalam perawatan medis, sosial, hukum, dan psikologis yang lebih baik bagi korban kekerasan seksual.
Hal ini memerlukan pendanaan jangka panjang untuk meningkatkan pelatihan medis, penyediaan perlengkapan pasca-perkosaan untuk fasilitas perawatan, dukungan hukum, serta penyediaan tempat penampungan bagi korban.
Pendanaan juga diperlukan untuk kegiatan peningkatan kesadaran guna mencegah stigma atau marginalisasi korban, yang terkadang menghalangi mereka mencari pertolongan.
Mengingat tingginya jumlah permintaan aborsi dari korban, MSF juga menyerukan adaptasi kerangka hukum nasional untuk menjamin akses ke perawatan aborsi medis yang komprehensif. (Cici Riesmasari – LO MSF Indonesia)
Editor Iman NR