Patriarki di Pedesaan Lebih Besar di Perkotaan, Benarkah?
Mengapa masyarakat pedesaan memiliki sifat patriarki yang lebih besar dibanding masyarakat perkotaan? Pertanyaan ini seringkali menjadi pembahasan banyak orang terutama kaum muda yang menyukai prinsip kebebasan.
OLEH: KELOMPOK 1 KELAS 4E IKOM FISIP UNTIRTA *)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, patriarki adalah tata kekeluargaan yang sangat mementingkan garis keturunan bapak.
Dengan kata lain, patriarki merupakan sistem sosial yang mana laki laki berperan sebagai golongan yang dominan dan mengendalikan kekuasaan di atas golongan perempuan. Nah, mengapa sebagian besar masyarakat pedesaan masih menormalisasi sistem tersebut?
Masyarakat di pedesaan mempunyai stereotip terhadap perempuan yang bertolak belakang dengan laki laki. Laki-laki cenderung lebih mendukung kultur patriarki dibanding perempuan karena kultur ini memang lebih menguntungkan bagi laki-laki.
Beberapa orang berpendapat bahwa patriarki adalah budaya yang sudah ditanamkan sejak dahulu dan menganggap laki-laki adalah pemimpin yang bisa memberikan stabilitas sosial dan ketertiban.
Budaya ini memberikan tekanan pada perempuan karena norma-norma yang berlaku memaksa perempuan untuk selalu patuh dan ikut aturan laki-laki.
Contoh yang paling banyak terjadi di masyarakat adalah perempuan dianggap tidak perlu bersekolah tinggi dan hanya ditugaskan untuk mengurusi urusan domestik atau urusan rumah tangga.
Perempuan dituntut untuk bisa memasak, mencuci baju, dan mengurus anak. Sedangkan untuk laki laki, mereka hanya dituntut untuk bekerja mencari nafkah. Laki laki yang berperan sebagai kepala keluarga merasa tidak berkewajiban untuk mengurusi urusan rumah tangga.
Padahal, mengurusi urusan rumah tangga adalah basic life skill yang harus dimiliki baik perempuan maupun laki laki.
Perempuan memiliki hak dan kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya dan tidak terkekang hanya karena ia perempuan. Perempuan bisa menjadi ibu rumah tangga ataupun bekerja. Begitu pula sebaliknya. Itulah yang dinamakan kesetaraan gender.
Di daerah pedesaan yang masyarakatnya masih tradisional, fenomena patriarki ini sangat sering ditemukan. Mereka cenderung menganggap perempuan yang berpendidikan tinggi dan fokus kepada karir itu adalah perempuan yang nantinya akan jadi perawan tua.
Hal ini membuat para perempuan di pedesaan jarang sekali ada yang berpendidikan tinggi dan bekerja. Perempuan akan ditanya “kapan nikah?” setelah umur mereka di atas 15 tahun.
Menurut mereka, umur diatas 15 tahun itu sudah cukup matang untuk menikah, karena jika di umur 22 mereka belum menikah, orang tuanya akan resah takut anaknya menjadi perawan tua. Mereka akan dinikahkan dengan laki-laki yang umurnya terpaut jauh lebih tua.
Pernikahan dini membuat banyak perempuan mengalami kekerasan dalam rumah tangganya. Hal ini dikarenakan tidak ada kesiapan dalam bentuk mental, fisik dan finansial.
Beberapa hal tersebut sering sekali menjadi alasan adanya kekerasan dalam rumah tangga. Hampir semua korbannya adalah perempuan. Pertengkaran dalam rumah tangga yang melakukan pernikahan dini ini kebanyakan karena laki-laki merasa ialah pemegang kuasa, sehingga dengan seenaknya melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan.
Sikap patriarki ini bisa diminimalisir dengan adanya dorongan pendidikan supaya remaja yang belum cukup umur tidak melakukan pernikahan dini.
Dikutip dari Liputan6.com, Kasus pelecehan dan pembunuhan terhadap seorang pelajar SMP di Bengkulu yang dilakukan oleh 14 remaja di bawah umur, diduga setelah mengonsumsi minuman keras, telah menarik perhatian berbagai pihak di Indonesia. Para pelaku kemudian membuang jenazah korban, Yuyun, di jurang dengan kedalaman lima meter.
Mutiara Ika Pratiwi, Sekretaris Nasional Perempuan Mahardhika menghubungkan tragedi Yuyun ini dengan akar permasalahan pelecehan yang sering dialami perempuan atau anak perempuan di Indonesia.
Menurut Ika, budaya patriarki yang melekat kuat di masyarakat Indonesia menjadi pemicu utama. Ia menjelaskan bahwa pola pikir yang berkembang dalam budaya tersebut cenderung merendahkan perempuan sebagai objek yang tidak memiliki kontrol atas dirinya sendiri.
Untuk mengurangi sikap dan budaya patriarki ini sangat dibutuhkan untuk tahu apa itu kesetaraan gender.
Pendidikan yang mendorong kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, dan dukungan terhadap peran gender yang beragam dapat menjadi langkah penting menuju masyarakat yang lebih adil dan setara.
Memberdayakan perempuan melalui akses yang setara terhadap pendidikan, pekerjaan, dan keputusan politik dapat menjadi agen perubahan yang besar dalam masyarakat.
Pemerintah dan lembaga masyarakat juga harus ikut berperan aktif untuk memberikan edukasi tentang kesetaraan gender ini. Tak hanya itu, laki-laki juga harus berperan aktif dalam mengatasi sikap patriarki.
Mendukung kesetaraan gender dan menentang tindakan diskriminatif akan membantu menciptakan lingkungan yang mendukung perubahan agar tidak ada lagi budaya patriarki. (**)
*) OPINI ini ditulis oleh Kelompok 1 Kelas 4E Ikom Fisip Untirta yang beranggotakan Areina Saumitha Budiman, Bharbara Roza Laviyona, Fefi Fitriyani, Shofiyur Rahmah Ginannafisa dan Wulan Saumi Fajriah.