EdukasiOpini

Pentingkah Skeptisisme Dalam Dunia Pendidikan ?

Skeptisisme memang lekat dengan konotasi negatif. Skeptisisme berasal dari kata skeptis yang artinya ragu.

OLEH: SAFFANAH PERTIWI *)

Namun istilah skeptisisme ini sebenarnya erat dengan ranah pendidikan. Dalam dunia pendidikan, perlu adanya keraguan dalam diri pada saat melakukan kegiatan belajar mengajar.

Tanpa keraguan, maka tidak akan muncul rasa ingin tahu, sehingga pengetahuan yang diperoleh tidak dapat berkembang dengan semestinya.

Maka dari itu diperlukannya skeptisisme dalam dunia pendidikan, karena skeptisisme merupakan salah satu unsur penting dalam pembelajaran, tetapi bukanlah skeptisisme yang radikal.

Rasa ingin tahu yang dimiliki seseorang sudah pasti berbeda-beda. Karena itu perlu adanya respon yang baik dan tepat agar rasa ingin tahu tersebut berkembang dan anak tidak merasakan trauma akan rasa ingin tahunya tersebut.

Ketika rasa ingin tahu si anak terfasilitasi dengan baik, maka kemungkinan si anak tumbuh menjadi seseorang yang kritis dan kreatif akan lebih tinggi.

Bukankah negara kita perlu lebih banyak generasi muda yang memiliki ide-ide cemerlang demi kemajuan bangsa? Hanya saja memang perlu kita hindari skeptisisme yang bersifat radikal.

Intinya adalah skeptisisme tidak melulu menjadi suatu konotasi negatif, melainkan harus diyakini sebagai salah satu dasar munculnya berbagai inovasi pengetahuan baru.

Tetapi pada kenyataannya, skeptisisme dalam dunia pendidikan di Indonesia masih menjadi hal yang aneh.

Untuk mewujudkan adanya skeptisisme pada saat pembelajaran, siswa dijadikan unsur pendidikan yang lebih aktif dalam pembelajaran dibanding guru.

Harapannya siswa dapat mengutarakan pendapat mereka, khususnya mengembangkan rasa ingin tahu yang mereka miliki.

Namun pada penerapannya di lapangan, masih banyak hal yang perlu diperhatikan dan tentunya perlu dievaluasi. Salah satunya adalah metode belajar guru yang seringkali kembali menjadi metode belajar ceramah, membiarkan siswa mendengarkan guru hingga terkantuk-kantuk.

Hal ini menunjukkan bahwa bukan siswa yang menjadi pusat pembelajaran, melainkan guru. Hal ini menunjukkan adanya keterbatasan dalam dunia pendidikan.

Bukankah pendidikan itu memiliki tujuan yang mulia dan bermakna luas? Mengapa pendidikan harus meninggalkan trauma untuk anak didiknya? Mengapa pendidikan menjadi suatu hal yang terbatas?

Memang sulit rasanya ketika pembelajaran wajib menerapkan student centre, karena kebanyakan siswa pun memilih diam saat di pembelajaran berlangsung.

Rasanya hanya beberapa siswa saja yang mampu mengutarakan pendapat mereka secara bebas dan leluasa tanpa adanya paksaan apapun.

Mengapa hal ini terjadi? Penyebabnya berbagai macam, bisa jadi karena siswa belum paham dengan materinya, bisa juga karena siswa tidak menyimak penjelasan guru dengan baik, atau bahkan siswa takut untuk bertanya kepada guru.

Kebanyakan rasa takut yang muncul saat siswa bertanya pada guru adalah kekhawatiran bahwa pertanyaan yang diajukan hanyalah pertanyaan sepele dan berujung dengan judgement dari guru atau bahkan teman-temannya yang lain, sehingga siswa yang bertanya merasa bahwa dirinya bodoh.

Hal lainnya adalah rasa takut karena khawatir jawaban dari pertanyaan tersebut sudah dijelaskan sebelumnya, dan alasan-alasan lainnya seperti siswa pernah mengalami trauma ketika bertanya sehingga ia enggan bertanya.

Fenomena lumrah dalam dunia pendidikan tersebut tentu belum sejalan dengan tujuan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara, yaitu ing ngarso sung tulodo (di depan memberikan teladan), ing madyo mangun karso (di tengah membangun kekuatan dan terus berkarya), dan tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan).

Hal ini menunjukkan bahwa dunia pendidikan itu perlu andil dari berbagai kalangan, khususnya orang tua dan guru.

Saat ini pendidikan di Indonesia sedang mencoba kembali mewujudkan 3 tujuan tersebut dengan dibentuknya program guru penggerak.

Harapannya 3 tujuan pendidikan Ki Hajar Dewantara tersebut dapat diterapkan di sekolah-sekolah, sehingga pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik dan terdepan. Maka dari itu diperlukan dukungan dan keikutsertaan dari berbagai kalangan, agar 3 tujuan tersebut dapat terwujud dengan baik.

Sekarang mari bersama-sama kita ulas, sebenarnya tujuan pendidikan itu apa?

Menurut seorang filsfuf bernama Pritchard (2018), pendidikan itu memiliki beragam tujuan, mulai dari tujuan sosial, politik, bahkan ekonomi. Tetapi tidak semua tujuan tersebut merupakan tujuan epistemik.

Lalu, apa tujuan epistemik pendidikan yang sebenarnya? Tujuan epistemik pendidikan dalam lingkup yang sederhana adalah menanamkan informasi dan kemampuan kognitif yang berguna.

Adapun tujuan epistemik pendidikan yang lebih luas adalah menanamkan pengetahuan. Tapi rasanya belum cukup jika tujuan pendidikan hanya sebatas menanamkan pengetahuan saja.

Dalam lingkup yang lebih luas lagi tujuan epistemik pendidikan yang sebenarnya adalah tentang pemahaman dan pengaplikasian.

Dengan kata lain, seseorang dianggap sudah mencapai tujuan pendidikan, ketika seseorang tersebut memiliki pemahaman terkait ilmu yang dipelajarinya dan mampu mengaplikasikan ilmu tersebut ke dalam kehidupannya.

Bahkan seiring berkembangnya zaman, tujuan pendidikan saat ini lebih mengarah pada pengembangan karakter yang mendorong seseorang untuk memahami dan mengaplikasikan suatu pengetahuan yang disertai dengan perluasan kemampuan, salah satunya penggunaan teknologi yang menunjang bagi pengetahuan tersebut.

Artinya, perlu adanya rasa keingintahuan yang dimiliki seseorang, sehingga adanya dorongan untuk mencari tahu atau melakukan suatu hal yang kita sebut sebagai pengetahuan.

Harapan ke depan, anak memiliki keberanian untuk bertindak skeptis yang positif, atau dengan kata lain anak mampu mengeluarkan pendapatnya baik dalam lingkungan keluarga, sekolah maupun sosial. (**)

*) Penulis adalah Mahasiswi S2 Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia.

Iman NR

Back to top button