Edukasi

Agus Budianto Dikukuhkan Guru Besar Ilmu Hukum UPH

Agus Budianto dikukuhkan sebagai Guru Besar atau Profesor bidang ilmu hukum yang mengangkatknya berdasarkan surat keputusan Kementrian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknonolgi (Kemendikbudristek) tanggal 1 Mei 2023.

Rilis dari PR UPH yang diterima MediaBanten.Com, Selasa (8/8/2023) menyebutkan, dalam pengukuhannya, Prof Agus Budianto menyampaikan orasi ilmiah berjudul “Lex Dura Sed Ita Scripta: Menakar Kesiapan Menghadapi Hukum Pidana 2023”.

Penelitiannya menyoroti kesiapan masyarakat terhadap penerapan UU No. 1 Tahun 2023 yang akan berlaku pada Januari 2025.

Prof Agus menjelaskan bahwa topik ini dipilih berdasarkan empat kerangka pemikiran, yaitu sistem pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang masih belum sempurna.

Kemudian tingginya tingkat kejahatan di Indonesia, tata kelola lembaga pemasyarakatan di Indonesia, dan kekerasan kelompok yang terstruktur masif serta sistematis telah menjadi budaya di Indonesia.

“Keempat pemikiran ini menjadi dasar uraian dalam orasi ilmiah saya, bahwa seberat apa pun tantangan yang dihadapi, hukum harus tetap ditegakkan (Lex Dura Sed Ita Scripta),” katanya.

Tantangan tidak hanya bersumber dari aspek geografis dan sosiologis, tetapi juga terkait dengan pandangan terhadap hukum pidana ke depan, terutama dengan berlakunya UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Hal ini mendorong untuk mengevaluasi kesiapan masyarakat Indonesia dalam menghadapi perubahan hukum tersebut.

Prof Agus juga menjelaskan, untuk menakar kesiapan masyarakat, ia mencermati tiga hal, yaitu hukum yang hidup, pola klasifikasi pidana, dan judicial pardon.

Tindak pidana berkaitan erat dengan masalah sumber hukum atau landasan legalitas untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana atau bukan.

Dalam KUHP 2023, asas ini diperluas dengan memasukkan pengertian “hukum yang hidup” di dalam masyarakat.

“Pasal 1 (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (l) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini’,” jelas Prof. Agus yang juga berprofesi sebagai Tenaga Ahli di Komisi III DPR RI.

Ia menambahkan, maksud dari pembentuk undang-undang adalah untuk mengakui dan memasukkan living law sebagai bagian dari hukum nasional.

Namun, perlu diingat bahwa adat-istiadat tersebut sudah lahir, tumbuh dan berkembang jauh sebelum KUHP 1945 dan KUHP 2023.

Justru, jika KUHP 2023 diterapkan pada budaya adat istiadat, hal itu bisa menyebabkan terbentuknya tindak pidana baru.

Dengan kata lain, seseorang dapat dianggap bersalah jika dari sudut pandang adat istiadat atau masyarakat, perbuatannya dianggap salah. Orang yang dianggap bersalah atas perbuatannya ini dapat dikenakan tindak pidana.

Hal kedua yang ia cermati adalah pola klasifikasi pidana yang ada dalam KUHP 2023. Pidana denda merupakan jumlah uang yang wajib dibayarkan oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan.

Pidana denda ini dapat menjadi pengganti pidana penjara jika memenuhi beberapa persyaratan sesuai kategori yang ada.

Katanya, dalam UU No. 1 Tahun 2023, pemerintah mulai mengubah konsep pemidanaan dari teori gabungan (de verenigings) menjadi lebih menekankan pada model pemasyarakatan dan pembinaan, dengan menerapkan teori pemidanaan talionis.

Teori pemidanaan talionis ini mewajibkan pelaku kejahatan membayar ganti rugi atas perbuatannya dalam bentuk pidana denda.

Dalam praktiknya, penting untuk mencari keserasian antara kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana dengan besar pidana denda yang harus dibayarkan oleh terpidana.

“Karena itu, ancaman dari tindak pidana harus dipertimbangkan secara seksama agar denda yang dijatuhkan sesuai dengan tingkat kesalahan dan kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku,” jelas Prof. Agus.

Aspek ketiga yaitu terkait Judicial Pardon (pemaafan hakim), yang berarti bahwa meskipun seorang terdakwa sudah terbukti bersalah, majelis hakim tidak dijatuhi pidana (dispensa de pena).

Ketika membahas mengenai potensi penerapan konsep Judicial Pardon sebagai salah-satu alternatif putusan perkara pidana di Indonesia, tentu saja tidak bisa lepas dari hukum acara pidana yang menjadi pelaksananya.

Prof Agus menekankan pentingnya dilakukan harmonisasi antara KUHP 2023 dengan RKUHAP sehingga konsep Judicial Pardon dapat diterapkan dengan sebaik-baiknya.

Selain itu, Prof. Agus juga mencermati, Judicial Pardon yang diatur dalam Pasal 54 Ayat (1) dan Pasal 54 Ayat (2) dapat menjadi godaan bagi pihak yang berperkara untuk mempengaruhi oknum pengadilan.

Kata Agus, institusi pengadilan yang memiliki kewenangan dalam memeriksa dan memutuskan perkara berpotensi mengalami pelanggaran etika.

Sebagai dalih untuk demi menegakkan Judicial Pardon, hal ini justru dapat digunakan sebagai senjata ampuh untuk memuluskan terjadinya penyimpangan.

“Hakim mungkin saja tergoda untuk melakukan tindakan yang mencederai independensinya, seperti menerima suap atau melakukan tindakan tidak etis lainnya,” ujarnya.

Arsul Sani, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) merespon pengukuhan Profesor Agus Budianto.

“Atas nama DPR dan MPR bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) RI, kami mengucapkan selamat dan sukses kepada Prof. Agus,” kata Arsul Sani, Wakil Ketua MPR RI, merespon pengukuhan guru besar tersebut.

Sedangkan Jonathan L Parapak, Rektor UPH mengatakan, pengukuhan Prof Agus menambah guru besar dari Faktul Hukum UPH. (Rosyadi)

Editor Iman NR

Iman NR

Back to top button