TikTok, Pembawa Petaka Atau Manfaat?
TikTok, kata yang sudah tidak asing mendengarnya.
Di negeri asalnya TikTok dikenal sebagai Douyin atau bisa diartikan juga sebagai teknik musik pendek. Pada aplikasi ini, pengguna bisa berimajinasi sebebas-bebasnya dengan membuat video pendek lalu dibagikan kepada teman-teman atau kepada orang asing di seluruh dunia maya.
Oleh: Ratu Rifdatunahdah *)
Pada era sekarang, media sosial sudah menjadi suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi pada masa pandemik ini. Persentase tingkat penggunan aplikasi mengalahkan media sosial lainnya.
Banyak jenis unggahan dalam TikTok, baik yang dinilai positif maupun negatif. Unggahan poisitif di antaranya tentang pendidikan sekolah, resep- resep memasak serta pembuatan, adapula tentang dakwah, dan masih banyak lagi lainnya. Dari sisi negatif, banyak yang mengunggah tentang aurat serta hal-hal tak senonoh lainnya.
Konten Negatif
Pada masa pandemi ini masyarakat berpikir bahwa dengan adanya TikTok ini bisa melepas rasa jenuh. Video konten dari aplikasi ini biasanya dipadukan dengan musik-musik. Video untuk melepaskan rasa jenuh dengan menggerakan badan atau bergoyang-goyang.
Tak sedikit dari mereka yang bergoyang dengan menonjolkan lekukan badan atau dengan memperlihatkan aurat. Bahkan ada dari mereka yang mebuat konten video dengan menunjukkan kemesraannya dengan lawan jenis.
FYP atau yang bisa disebut juga For Your Page adalah sebuah halaman rekomendasi yang tersedia diberbagai aplikasi. Terkadang halaman yang direkomendasikan itu ada konten yang kurang pantas untuk ditonton.
Apalagi di era serba digital ini internet sangat mudah diakses anak dibawah umur. Contoh kasus hal-hal tak senonoh adalah seperti mereka asik bergoyang-goyang dengan menggunakan pakaian yang minim dan terlihat sedikit vulgar demi meningkatkan popularitasnya di sosial media.
Unggahan seperti ini sering direspon dengan kata-kata yang melecehkan, menyebabkan mental pengunggah video terguncang, bahkan menjurus depresi.
Oleh karena itu, peran orangtua sangat penting mengawasi anak-anaknya ketika sedang bermain sosial media. Karena sudah banyak anak yang menjadi korban dari penggunaan sosial media lainnya.
TikTok juga telah menjadi aplikasi media sosial yang popular. Oleh karena itu, sudah ada berbagai macam challenge atau bisa disebut juga sebagai tantangan yang diunggah oleh para pengguna aplikasi TikTok.
Contohnya challengenya adalah Skulll Breaker Challenge. Challenge Skull Breaker ini merupakan suatu konten yang berbahaya, karena beresiko cedera, patah tulang, bahkan bisa sampai menghilangkan nyawa.
Memakan korban
Dikutip dari hitekno.com, laporan WTVY menyebutkan, seorang remaja mengalami patah tulang di pergelangan tangannya setelah dua orang temannya tersebut melakukan Skull Breaker Challenge. Deorang gadis asal Brazil meregangkan nyawa setelah melakukan Skull Breaker Challenge, karena kepalanya terbentur ke lantai dengan keras.
Adapula kasus lainnya yang menimbulkan korban karena Aplikasi TikTok, seperti korban kelalaian akibat asiknya bermain TikTok.
Tribunnews.com melansir berita “Pencuri Rudapaksa Gadis Smp saat Main TikTok, Korban Dibekap dan Diancam Dibunuh, Ini Kronologinya”. Diketahui bahwa gadis SMP tersebut sedang asik bermain Tiktok sendirian di ruang tamunya. Dia tidak mengetahui pencuri masuk. Di dalam rumah tersebut terdapat ibu dan adiknya.
Sempat viral juga dan diunggah diberbagai media berita, kasus seorang siswi SMP yang tewas karena sedang asik bermain TikTok di atas rumahnya, lalu tersengat listrik saat hendak mengambil handphone yang jatuh di antara kabel listrik (diliput oleh LIPUTAN 6 “Viral Siswi SMP di Bekasi Tewas Tersentrum Saat Main TikTok” oleh Baim Sinulingga).
Memainkan TikTok secara terus menerus pun dapat menimbulkan kecanduan. Sempat viral kasus TikTok syndrome karena seorang remaja yang mengunggah video, lalu mengatakan bahwa ia terkena TikTok syndrome. Setelah ditelusuri dan diklarifikasi oleh situs KOMINFO “[DISINFORMASI] Video Remaja Mengalami TikTok Syndrome”. Ternyata kasus tersebut adalah hoaks. Karena remaja tersebut berniat mengunggah video komedi sarkas.
Diklarifikasi juga oleh klikdokter “MedFact: Fakta dibalik Tiktok Syndrome pada Remaja”. Bahwa dalam dunia medis tidak ada kata tentang penyakit TikTok syndrome. Tetapi tidak menutup kemungkinan, karena hal tersebut bisa terjadi dan dinamai Tourette syndrome.
Syndrome itu adalah kondisi tubuh melakukan gerakan atau kata tanpa disadari dan terjadi berulang kali. Kondisi bisa disembuhkan melalui terapi. Jika tidak kondisi ini akan membuat korban malu dan mengalami depresi, karena gerakannya yang tanpa disadari serta tidak mengenal waktu dan tempat.
Menghindari Dampak Negatif?
Lalu, bagaimana caranya agar bisa menghindari dampak negatif media sosial, terutam TikTok? Ada baiknya orangtua harus dilibatkan didalam kehidupannya. Sebagai orang tua sudah menjadi kewajibannya memberikan pendidikan kepada anak-anak sejak kecil. Agar saat anak semakin tumbuh dewasa ia sudah ditanami hal-hal yang baik. Baik dalam pendidikan agama ataupun pendidikan lainnya, karena jika terdapat kekeliruan dalam mendidik anak dapat mempengaruhi mentalnya.
Dalam Islam terdapat sebuah hadits tentang anak yang berbunyi “Setiap bayi yang terlahir dalam keadaan fitrah (Islam) maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya seorang Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (H.R Bukhari).
Islam juga mempunya cara untuk mendidik anak.
Pertama, wajib bagi orangtua mengajarkan tauhid (landasan dalam Islam). Karena hal itu adalah yang paling utama bagi seorang muslim.
Kedua, mengajarkan tentang adab dan akhlak kepada anak. Karena lingkungan keluarga merupakan awal mula sang anak mengetahui bagaimana cara beriteraksi dengan lingkungan sekirtanya kelak.
Ketiga, orang tua harus mengajarkan tentang beribadah. Karena anak harus sejak dini mengetahui tentang agamanya, agar apa yang akan dilakukan tidak meninggalkan kegiatan ibadah kepada sang pencipta, Allah SWT. Kelak dia bisa terbiasa dengan kegiatan yang bersifat positif.
Keempat, menjadi orangtua yang tegas tetapi tetap bersikap lemah lembut. Karena pola asuh yang keliru akan menimbulkan dampak yang tidak baik juga untuk sang anak. Jika orangtua terlalu memanjakan anak, maka anak akan selalu bergantung kepada orangtua. Dia akan malas berusaha karena merasa semua yang ia inginkan pasti akan ia turuti.
Kelima, orangtua harus bisa bersikap adil. Orangtua tidak boleh membandingkan anaknya dengan anak lainnya, karena akan membuat sang anak merasa tersisihkan dan tidak disayangi orang tuanya.
Kelima langkah tersebut merupakan tata cara seorang muslim dalam mendidik karakter anaknya. Memang masing-masing orangtua memiliki langkah tersendiri, tetapi hal itu adalah langkah umum yang biasa diterapkan oleh sebagian orang tua muslim dalam mendidik anaknya.
Orangtua juga harus memberikan contoh baik bagi anaknya. Karena karakter sang anak dapat terbentuk dalam lingkungan sekitarnya. Sang anak harus dibiasakan hal-hal yang baik saja, agar dikemudian hari sang anak terbiasa dengan hal-hal yang baik tersebut.
Adapun langkah umum lainnya yang biasa digunakan oleh orang tua adalah sebagai berikut.
Pertama, Orang tua harus bisa memberi arahan kepada anaknya dengan kasih sayang dan penuh cinta. Jika memang ada suatu hal yang menyimpang.
Kedua, orang tua tidak boleh bersikap buruk didepan sang anak. Karena dengan orang tua menunjukkan sifat buruknya, sang anak akan meniru hal tersebut.
Ketiga, orang tua harus menjadi pendengar yang baik. Agar sang anak terbiasa mencurahkan isi hatinya kepada orang tua dan tidak kepada sembarang orang.
Kesimpulan
Memang tidak semua konten yang dalam TikTok itu buruk. Ada konten yang baik-baik dalam TikTok seperti konten yang berisi pesan dakwah singkat, tata cara dan resep dalam memasak, penjelasan singkat dalam pembelajaran, dan lain-lain.
Tetapi dari penelaahan, sebagian pengguna TikTok lebih menampakkan dampak negatifnya. Tidak semua hal tentang melepas stress harus dialihkan kepada sosial media. Bisa juga melepas stress dengan membaca Al-Qur’an, mendengarkan ceremah, atau melihat pemandangan indah alam yang telah Allah ciptakan.
Memang masing-masing orang memiliki cara tersendiri dalam melepas stressnya. Tetapi, jika terlalu sering melepas stress melalui sosial media pun tidak baik bukan? Oleh karena itu, orangtua harus mengawasi anaknya saat bermain sosial media dan kita sebagai orang dewasa harus lebih bijak dalam menggunkan sosial media. (*)
*) Ratu Rifdatunahdah (,rifda304@gmail.com) adalah mahasiswi semester 3 pada jurusan BKI di UIN Banten