Soal Minyak Goreng, PT Wilmar dan Selago di Banten Dinilai Tak Bermanfaat
Dani Samiun, Ketua DPW Himpunan Pengusaha Nahdiyin (HPN) Banten mengatakan, PT Wilmar dan Selago sebagai pabrik refenery CPO ke minyak goreng berlokasi di Banten tidak bermanfaat bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan UMKM Banten.
Alasannya, kedua pabrik refenery minyak goreng itu tidak mendistribusikan minyak domestic market obligation (DMO) yang biasanya bersubsidi ke perusahaan yang ada di Banten, tetapi ke luar Banten.
“Saya bisa pastikan tidak ada pendistribusian minyak goreng DMO ke perusahaan lokal di Banten,” kata Sani Samiun, Ketua DPW HPN Banten dalam perbincangan dengan Ikhsan Ahmad di Chanel Youtube BantenPodcast yang dikutip MediaBanten.Com, Jumat (19/7/2024).
Dani Samiun mengaku bisa memastikan hal tersebut karena, selain Ketua DP HPN Banten, dia sesungguhnya Direktur Utama PT Aan Primarta yang berdiri sejak tahun 2017 dan bergerak di bidang pangan, termasuk pabrik kemasan minyak goreng.
“Jadi saya bisa mengetahui persis karena kami bergerak di bidang itu. Bahkan saya curiga, jangan-jangan DMO minyak goreng itu, selain ke luar Banten, juga ke anak perusahaan kedua pabrik refenry itu, sisten company dan perusahaan yang dekat dengan pengambil kebijakan di bidang minyak goreng,” katanya.
Padahal PT Wilmar yang pabriknya di Bojonegara, Kabupaten Werang dan PT Selago di Cilegon itu memiliki kewajiban untuk mengeluarkan DMO minyak goreng sebagai syarat untuk ekspor minyak goreng.
PT Aam Primarta yang berlokasi di Kota Serang dan telah memiliki izin pabrik kemasan minyak goreng kesulitan untuk mendapatkan bahan baku DMO minyak goreng, karena aksesnya tertutup.
“Saya malah dapat bahan baku dari luar Banten, ada dari Subang, Bekasi. Sementara di Banten ada 24.000 yang terdaftar Disperindag, apakah mereka merasakan manfaat keberadaan PT Wilmar dan Selago. Hingga sekarang, tidak ada manfaat bagi UMKM di Banten,” katanya.
Karena mendapatkan DMO minyak goreng tidak langsung ke kedua pabrik refenery tersebut, maka UMKM dan masyarakat berpanghasilan rendah mendapatkan minyak goreng menjadi jauh lebih mahal.
“Saya beli di luar Banten, tentunya dari tangan ke berapa yang berarti harganya sudah naik beberapakali,” katanya.
Dani Samiun mengaku, DPW HPN Banten sudah mengkomunikasikan masalah DMO minyak goreng untuk kepentingan UMM dan masyarakat berpenghasilan rendah itu kepada Pemprov Banten melalui Disperindag Banten. Namun hingga sekarang hasilnya nihil.
Katanya, Pemprov Banten dalam hal ini Disperindag yang bisa berkomunikasi, mengawasi dan mengontrol pendistribusian DMO minyak goreng, terutama bisa menekan kedua perusahaan untuk mendistribusikannya ke perusahaan lokal di Banten.
“Kami tidak bisa langsung akses. Akses langsung ke Wilmar dan Selago tertutup. Karena itu, hanya Pemprov Banten yang bisa menjembatani kepentingan pengusaha, UMKM dan masyarakat berpenghasilan rendah untuk mendapatkan minyak goreng yang berkualitas dan murah,” kata Dani Samiun.
Dani Samiun mengaku agak miris ketika berkomunikasi dengan PT Agrobisnis Banten Mandiri (ABM), BUMD milik Pemprov Banten. “Mereka juga dapatnya dari PT PIP, bukan langsung dari kedua perusahaan tersebut. Ini kan miris ya,” ujarnya.
Dia membenarkan, keluhan ini sudah terjadi sejak awal berdirinya PT Wilmar dan Selago. Seharusnya, syarat refenery harus mengeluarkan DMO. “Saya menduga dikeluarkan ke anak-anak perusahaan atau ada referensi dari pembesar-pembesar dari pengambi kebijakan. Yang menjadi korban UMKM,” katanya.
Dia membenarkan, dalam persyaratan itu tidak ada menyebutkan DMO itu dikeluarkan ke mana. Syukur-syukur diberikan ke perusahaan saya karena saya mendistribusikannya ke UMKM.
Saat ini harga minyak goreng bersubsidi seperti minyak goreng Kita masih berlabel Rp14.500 per Kg. Tapi Kementrian Perdagangan (Kemendag) sudah mengancang-ancang kenaikan harga eceran tertinggi (HET) beriksar Rp15.700 per Kg.
Dalam praktiknya, penjualan minyak goreng itu dikemas dengan volume yang dikurangi. Misalnay dalam kemasan liter, ada yang dibungkus plastik, ada yang menggunakan botol kemasan, ada yang botolnya 800 ml, 700 ml dan sebagainya.
“Jika dikalikan atau digenapkan menjadi satuan kilogram, maka harga itu menjadi jauh lebih mahal. Ya karea mereka mendapatkan bahan bakunya dari perusahaan di luar Banten,” katanya. (Rosyadi)
Editor Iman NR