Hutan dan Benteng Pertahanan Negara
Hutan adalah benteng pertama yang menahan banjir, mencegah longsor, dan menyimpan air tanah. Ketika benteng ini runtuh, wilayah di sekitarnya ikut merasakan akibatnya dalam bentuk banjir maupun longsor besar yang datang tiba-tiba.
OLEH: REJEKI WULANDARI *)
Selama ini, kita sering membayangkan pertahanan negara hanya sebagai urusan militer atau pagar kawat di perbatasan. Padahal, ada pertahanan lain yang tak kalah penting, yaitu akar-akar pohon yang mengunci tanah, cekungan yang menampung air hujan, dan kanopi pepohonan yang memperlambat laju air. Ketika unsur-unsur ini hilang, ancaman non-militer, seperti banjir bandang dan longsor menjadi lebih sering, lebih luas, dan lebih sulit dikendalikan.
Dampak hilangnya pertahanan alami ini juga muncul dalam bentuk implikasi ekonomi. Seperti kita ketahui, hutan menyediakan pangan, obat tradisional, dan mata pencaharian berkelanjutan bagi jutaan orang. Ketika akses itu terputus, ruang ekonomi yang tadinya stabil berubah menjadi sumber gesekan berupa perebutan lahan, migrasi, hingga meningkatnya kerentanan sosial.
Keamanan pangan nasional pun tidak lepas dari pengaruh hutan. Sumber air irigasi dari pegunungan berhutan biasanya mengalir dengan ritme yang pasti. Begitu pertahanan alami ini hilang, aliran itu berubah menjadi musiman. Petani kehilangan kepastian panen, dan pola tanam yang dulu terjaga perlahan goyah. Ketika pangan di tingkat lokal terganggu, tekanan terhadap rantai pasokan nasional ikut meningkat.
Di luar fungsi ekologis dan pangan, hutan juga menyimpan cadangan genetik, kayu bernilai tinggi, hingga mineral yang mungkin menjadi strategis di masa depan. Pengelolaan yang lepas kendali membuat akses dan kepemilikan sumber-sumber itu rentan direbut, baik oleh aktor domestik maupun asing. Pada titik ini, posisi tawar negara bisa ikut melemah.
Perubahan Iklim
Perubahan iklim kemudian memperbesar seluruh risiko tersebut. Deforestasi mengurangi kemampuan alam mengikat karbon, mempercepat pemanasan, dan mengganggu pola curah hujan. Iklim yang makin tak menentu membuat perencanaan pembangunan jangka panjang lebih sulit. Negara yang seharusnya fokus membangun masa depan, terpaksa mengalihkan anggaran untuk penanggulangan bencana yang datang silih berganti.
Karena itu, penting untuk meruntuhkan anggapan bahwa “hutan bisa diganti”. Reboisasi memang membantu, tetapi hutan alami tidak tumbuh dalam hitungan tahun. Ia terbentuk melalui proses panjang yang menghasilkan ekosistem yang rumit dan saling terhubung. Menggantinya dengan perkebunan monokultur hanya menciptakan ilusi solusi, tanpa ketahanan ekologis yang benar-benar dibutuhkan.
Kesalahpahaman semacam ini biasanya turut memengaruhi cara kita menata ruang. Banyak perencana melihat hutan sebagai “ruang kosong” yang menunggu diisi infrastruktur. Padahal, hutan bekerja tanpa perlu anggaran. Ia menyerap hujan, mendinginkan udara, dan menyaring polutan. Menghapusnya berarti mematikan mekanisme alam yang selama ini bekerja gratis untuk keberlanjutan kehidupan.
Di daerah rawan banjir, hutan ibarat rem tangan. Ketika rem itu dicabut, air meluncur, tanpa kendali. Banjir yang dulu hanya setinggi mata kaki, kini bisa menenggelamkan rumah dalam hitungan jam, bahkan menit. Bukan karena hujan semakin ekstrem semata, tetapi karena benteng alami di hulu melemah.
Dalam jangka panjang, hilangnya hutan membuat wilayah hilir kehilangan ritme alamnya. Sungai yang dulu mengalir tenang berubah menjadi cepat dan keruh. Sedimentasi meningkat, kapasitas sungai berkurang. Pemerintah sibuk mengeruk endapan lumpur di sungai setiap tahun, padahal sumber persoalannya berada ratusan kilometer di hulu, di tempat pohon-pohon ditebang satu per satu.
Kerusakan hutan juga berdampak pada kesehatan. Debu dari lahan gundul meningkatkan risiko infeksi saluran pernafasan atas (ISPA), sementara genangan banjir memicu penyakit berbasis air. Beban layanan kesehatan meningkat, dan anggaran publik ikut tertekan. Pada titik ini terlihat jelas bahwa kerusakan hutan tidak hanya merusak ruang fisik, tetapi juga menggerogoti stamina sosial masyarakat.
Dari sisi iklim mikro, hutan berperan meredam suhu ekstrem. Ketika tutupan hutan menyusut, suhu melonjak, gelombang panas lebih mudah terbentuk, dan kebutuhan energi untuk pendinginan meningkat. Kota-kota besar yang mengandalkan AC merasakan lonjakan konsumsi listrik, membuat sektor energi makin berat melayani permintaan.
Sektor pariwisata pun terkena dampaknya. Banyak daerah yang tadinya menggantungkan ekonomi pada ekowisata mulai kehilangan daya tariknya. Pasalnya, air terjun mengering, satwa menjauh, serta udara tidak lagi sejuk.
Di sisi lain, hilangnya hutan juga meninggalkan luka psikologis. Bagi banyak komunitas lokal, hutan adalah bagian dari identitas, ruang sosial, bahkan ruang spiritual. Ketika ia hilang, rasa keterhubungan itu ikut runtuh dan digantikan kekosongan yang tidak mudah dijahit oleh aktivitas ekonomi formal.
Tidak jarang pula muncul konflik akibat batas wilayah yang menjadi kabur, setelah hutan dibuka. Tanpa penanda alami, batas desa atau tanah ulayat menjadi sumber sengketa. Konflik horizontal meningkat, dan negara harus turun tangan mengatur ulang apa yang sebelumnya sudah diatur alam selama ratusan tahun.
Persoalan hutan sama sekali tidak bisa dipisahkan dari masa depan bangsa. Hilangnya hutan berarti hilangnya penyangga dasar yang membuat kehidupan tetap berjalan dengan stabil. Menjaga hutan berarti menjaga kapasitas negara untuk bertahan, tumbuh, dan menghadapi krisis dalam bentuk apa pun.
Jika negara kehilangan hutan, ia kehilangan benteng pertahanannya. Mengembalikan dan menjaga hutan berarti merajut kembali kemampuan bangsa untuk menghadapi masa depan dengan lebih tenang dan lebih kuat. (**)
*) REJEKI WULANDARI adalah pegiat dan pemerhati isu lingkungan
Artikel ini merupakan bagian dari kerjasama diseminasi LKBN Antara dengan MediaBanten.Com
- Hutan dan Benteng Pertahanan Negara - 09/12/2025
- Polda Banten Tangkap Pembunuh Sopir Transportasi Daring - 09/12/2025
- DPRD Dukung Penuh Pengolahan Sampah Jadi Listrik Rp5,7 Triliun di Serang - 09/12/2025











