Kejati Banten Ingatkan Wartawan Terapkan Asas Praduga Tak Bersalah
Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten, Reda Manthovani mengingatkan wartawan dalam menulis berita hukum, terutama soal korupsi agar tetap menerapkan asas praduga tak bersalah dan menghindarkan berita-berita tanpa fakta.
“Misalnya, wartawan agar menulis nama tersangka dengan inisial, jangan nama lengkap yang berarti melanggar asas tersebut,” kata Reda Manthovani, Kejati Banten ketika memberikan materi soal penulisan bidang hukum dalam acara pelantikan Pengurus Wartawan Harian dan Elektronik Provinsi Banten di Aula Lantai 7 Gedung DPUPR di KP3B, Kota Serang, Selasa (28/9/2021).
Kepala Kejati Banten juga mengimbau agar wartawan berhati-hati dalam memuat berita hasil keterangan pers yang telah diberi framing oleh sumber berita untuk menyudutkan atau menyalahkan satu pihak. Selain harus dikonfirmasi ke pihak yang disudutkan, berita itu juga harus memuat fakta.
“Jika tidak, ini sudah masuk pada ranah hoax bisa dijerat dengan hukum yang ada. Ini pernah menimpa bawahan saya ketika bertugas di Sulawesi. Di berita itu disebutkan, dia memakai mobil dari hasil kejahatan. Nah, saya bilang, somasi media itu, juga tidak dijawab, maka ini bisa dibawa ke ranah hukum,” ujarnya.
Tak hanya wartawan soal penerapan asas tak bersalah, asas itu juga diterapkan dalam penyidikan oleh penegak hukum. “Ada lima alat bukti yang harus diperoleh penyidik yang menjadi fakta dan bukti di persidangan nanti,” katanya.
Namun penetapan tersangka minimal harus mendapatkan dua alat bukti. Di antaranya keterangan saksi-saksi. “Tapi harus diingat, meski 8 orang saksi sudah diminta keterangan belum tentu hasilnya menjadi alat bukti yang bisa digunakan untuk menetapkan tersangka. Ini untuk memenuhi asas praduga tak bersalah tadi,” katanya.
Dikutip dari hukumonline.com, alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah a. keterangan saksi, b. Keterangan ahli, c. Surat, d. Petunjuk, dan e. keterangan terdakwa.
Mahkamah Konstitusi beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”.
Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu. (Editor: Iman NR)