Tim Nasional (Timnas) Kroasia sesungguhnya “mewarisi” semangat tempur Pasukan Romawi yang terkenal dengan ketangguhan, manajemen pasukan yang handal dan pantang menyerah. Tetapi yang dihadapi Kroasia adalah Perancis yang dikenal sebagai daerah Galia dalam komik Asterix karya Rene Goscinny (naskah) dan Albert Uderzo (gambar). Daerah Galia tidak pernah ditaklukan dan dikuasai sepenuhnya oleh Kaisar Romawi, Julius Caesar dan pasukannya.
Adalah gelaran Piala Dunia seakan membuktikan hipotesa serampangan itu. Setelah memerdekan diri dengan nama Republika Kroasia (Republika Hrvastska) pada tahun 1992, Kroasia langsung menggebrak Piala Dunia pada tahun 1998 dengan berhasil masuk ke final dengan mengalahkan tim-tim raksasa saat ini seperti Jerman, Jamaika, Jepang, Argentina dan Rumania. Saat itu Kroasia baru ikut gelaran Piala Dunia.
Tetapi yang dihadapi adalah Perancis, daerah Galia yang memiliki “ramuan ajaib”. Kroasia dengan disiplin bermainnya harus kalah di final dengan skor 1-2 untuk Perancis dan trofi Piala Dunia pun diboyong ke Perancis pada tahun 1998. Peristiwa ini terulang 20 tahun kemudian pada gelaran Piala Dunia yang baru usai, Minggu malam (15/7/2018). Trofi Piala Dunia kembali dibawa ke Perancis setelah mengalahkan Kroasia 4-2.
Dalam gelaran Piala Dunia 2018, Timnas Kroasia seakan ingin menegaskan tentang jati dirinya. Sebelum merdeka dengan nama Republika Kroasia, wilayah berbentuk bulan sabit di Eropa ini berada di bawah kekuasaan Republik Federal Sosialis Yugoslavia yang ambruk setelah induk semangnya Republik Sosialis Uni Soviet runtuh. Seakan ingin menegaskan, Tim Kroasia sebagai “penerus” Timnas Yugoslavia yang tangguh dan selalu ikut dalam gelaran Piala Dunia sejak tahun 1930. Dan, FIFA telah salah mewariskannya ke Serbia yang tak lagi pernah ikut gelaran Piala Dunia sejak Serbia merdeka.
Wilayah Kroasia berbentuk bulan sabit di Eropa yang berbatasan dengan daerah Balkan. Kekaisaran Romawi menaklukan daerah ini pada abad ke-5 M. Kaisar Romawi, Diocletian yang membangun istana besar di wilayah ini. Sedangkan Kaisar Julius Nepos mengalihkan pusat pemerintah Romawi ke daerah ini. Kekaisaran Romawi berakhir abad ke-7 M. Pemusnahan massal terahadap Romawi menyebabkan orang-orang Romawi melarikan diri dan menyebar ke sejumlah daerah untuk menyusun strategi baru, di antranya daerah Dubrovnik yang bera di ujung daerah bulan sabit Kroasia sekarang.
Baca: Kejutan Piala Dunia 2018: Petaka Sikap Tim Negara Unggulan Remehkan Tim Lemah
Sejarah pun berputar kelam di wilayah ini. Berbagai kekuasaan mewarnai daerah ini mulai dari Paus hingga pertempuran dengan pasukan Otoman. Namun Kroasia tetap tidak bisa mandiri. Raja-raja yang berkuasa harus ditunjuk atau disetujui Raja Hungaria. Kemudian, Kroasia juga tidak bisa lepas dari Kerajaan Yugoslavia yang kemudian berubah menjadi Republik Federal Sosialis Yugoslavia. Yugoslavia akhirnya runtuh menyusul ambruknya Republik Sosialis Uni Sovyet yang selama ini sebagai indusk semang sosialis Yugo.
Kroasia pun memerdekan diri, berpisah dengan Serbia. Kemerdekaan ini diakui dunia (PBB) pada tanggal 15 Januari 1992. Adakah hubungannya semangat membuktikan diri sebagai orang terbaik dari pasukan Romawi denga perjuangan begitu panjang Kroasia dan boleh jadi berekspresi pada semangat dalam Timnas Sepakbola Kroasia?
Perancis atau Francia (tanah bangsa Frank) dikuasai Romawi sejak abad 1. Namun wilayah ini tidak sepenuhnya dapat dikuasai Kaisar Romawi, Julius Caesar. Daerah Galia merupakan wilayah yang paling bandel dan gigih tidak takluk pada Romawi. Perang Gallia terjadi pada 58-51 SM, atas ambisi Julius Caesar memperluas wilayah Romawi ke utara. Bangsa Gallia di bawah Vercingetorix melawan dengan gigih, mereka akhirnya menyerah setelah benteng mereka dikelilingi oleh barikade oleh tentara Caesar untuk mencegah bangsa Gallia mendapat makanan dari luar. Kegigihan bangsa Gallia mengilhami kartunis René Goscinny dan Albert Uderzo menciptakan tokoh kartun Asterix dan Obelix. Daerah Galia kini masuk ke Italia Utara.
Tetapi Perancis bukan hanya Galia. Perancis kini adalah tanah bangsa Frank yang sekuler dan membebaskan warganya untuk beragama apa saja yang dipercayainya atau tidak beragama sama sekali. Sejarahnya melahirkan orang-orang besar di bidang seni dan budaya, para sastrawan, pelukis, pemusik dan desainer kelas dunia. Dan siapa yang tidak ingat kisah Kaisar Napoleon Bonaparte dan Louis-Napoleon Bonaparte yang begitu tragis di akhir masa hidupanya.
Perancis berbalik menjadi negara penjajah (imperialis) setelah lepas dari Romawi dan kemelut antara raja-raja di tanah bangsa Frank. Kemudian, Perancis memiliki daerah jajahan (kolonial), dalam berbagai bentuk, sejak awal abad ke-17 hingga 1960-an. Pada abad ke-19 dan 20, imperium kolonial seberang laut globalnya terbesar kedua di dunia setelah Imperium Inggris (Britania). Pada puncaknya, antara 1919-1939, imperium kolonial Perancis kedua membentang hingga 12.347.000 kilometer persegi (4.767.000 sq mi). Termasuk Perancis Metropolitan, total wilayah daratan dibawah kedaulatan Perancis mencapai 12.898.000 kilometer persegi (4.980.000 sq mi) tahun 1920-an dan 1930-an, yang mencakup 8.6% dari total daratan dunia.
Maka ketika Timnas Sepakbola Perancis berhadapan dengan Timnas Kroasia pada Piala Dunia 2018, seakan dua negara yang sama-sama pernah lama “dijajah” Romawi, saling berkonfrontasi melalui si kulit bundar. Meski sama eks Romawi, keduanya memiliki karakter yang beberda.
Perancis yang dikenal dengan julukan Si Ayam Jantan atau The Blues mengandalkan kecerdikan dan kemampuan mengorganisasikan pemain-pemain layaknya mengatur pasukan tempur saat meraih kemenangan pada Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Sedangkan Kroasia mengandalkan ketangguhan fisik dan keuletan dalam menunggu moment yang tepat untuk meraihkan kemenangan seperti kesabaran Kroasia dalam meraih kemerdekaannya pada tahun 1992.
Tetapi Piala Dunia 2018 membuktikan Perancis memang layak menang dengan skor 4-2 atas Kroasia. Kecerdikannya melayani semangat membaja dan kesabaran menghadapi manuver-manuver Kroasia juga seperti mengisyaratkan kebangkitan mereka untuk memperluas imperiumnya di era Perang Dunia I dan Perang Dunia II. (Iman Nur Rosyadi)