Aksi Unjuk Rasa Buruh di Pendopo Bupati Serang Sisakan “Lautan Sampah”
Aksi unjuk rasa atau unras, selama ini dipahami sebagai ruang artikulasi suara rakyat dan ajang menyalakan kesadaran publik. Namun, ketika jalan raya berubah menjadi lautan sampah, pesan perjuangan itu bisa tereduksi.
Rakyat yang semestinya merasakan getaran aspirasi justru bisa terganggu oleh dampak negatif yang ditinggalkan berupa lautan sampah.
Lebih jauh, kondisi ini berpotensi merusak legitimasi moral gerakan. Aparat atau pihak yang kontra terhadap aksi bisa dengan mudah mengkritik, “Lihat, aksi buruh hanya bisa meninggalkan sampah”.
Kritik ini, meski sering bernada merendahkan, akan semakin tepat bila bukti visual seperti jalanan penuh sampah benar-benar terjadi.
Kebersihan jalanan pasca unjuk rasa bukan hanya soal etika publik, melainkan simbol ketertiban dan kesadaran kolektif. Menjaga kebersihan, berarti menjaga martabat gerakan.
Jika tidak, suara lantang yang disuarakan di jalan bisa kehilangan gema, tertutup oleh riuh rendah kritik masyarakat yang jengah pada tumpukan sampah.
Sebelumnya, ribuan buruh yang tergabung dalam Aliansi Serikat Pekerja Serikat Buruh (ASPSB) Kabupaten Serang, Provinsi Banten, pada Kamis (27/11/2025) siang, menggelar aksi unjuk rasa di Pendopo Bupati Serang. Mereka menuntut kenaikan upah 12 persen untuk tahun 2026.
Mereka datang dengan enam mobil komando dan membawa spanduk tuntutan. Setibanya di gerbang pendopo, buruh langsung membentuk barisan.
Mereka memblokade jalan di depan kantor bupati. Massa kemudian menyampaikan orasi secara bergantian.
Sekretaris ASPSB Kabupaten Serang, Arizal Peni menilai pemerintah lalai menjalankan kewajiban. Ia menyebut pemerintah belum menyiapkan regulasi penetapan kenaikan upah.
“Seharusnya, 20 November sudah ada formula upah. Sampai hari ini, belum ada,” ujar Arizal.
ASPSB lalu melakukan survei kebutuhan hidup layak secara mandiri. Survei itu, dilakukan langsung ke pasar-pasar. Hasilnya, buruh membutuhkan kenaikan upah 12 persen pada 2026.
“Tanpa kenaikan itu, buruh belum bisa hidup layak,” tegasnya.
Buruh ingin hidup sejahtera. Kondisi saat ini belum mencerminkan kehidupan yang layak.
“Pemerintah masih menerapkan formula upah murah. Formula itu, tidak menjawab kebutuhan buruh. Pemerintah selalu membangkang dari hasil survei,” ujarnya. (Penulis : Daeng Yusvin – LKBN Antara)









