Cara Media Cetak Melawan Media Digital
Sejarah membuktikan era digital telah menumbangkan banyak media cetak karena semakin banyak informasi di kanal digital yang bisa diakses masyarakat secara gratis.
OLEH: EDY M YAKUB *)
Yang tumbang itu bukan hanya media nasional, bahkan media cetak global sekelas National Geographic (NatGeo) yang berdiri 1888 atau 136 tahun lalu pun melakukan PHK terhadap 19 penulis pada 28 Juni 2023.
Secara nasional, data SPS (Serikat Perusahaan Pers) mencatat masih ada 593 media cetak yang terdaftar pada 2021 tapi setahun kemudian sudah tersisa 399 media . Artinya, hampir 200 media cetak yang guling tikar hanya dalam setahun (194 media cetak pada 2021-2022).
Akhirnya, sejumlah media cetak nasional pun harus beralih ke format media digital, diantaranya Koran Sindo, Harian Republika, Koran Tempo, Tabloid Nova, Suara Pembaruan, Indopos, Tabloid Bola, Tabloid DeTik, Harian Sinar Harapan, Majalah Hai, dan sebagainya.
Tinggal Harian Kompas yang berusia 60 tahunan (lahir 28 Juni 1965) yang masih memiliki versi cetak, namun Kompas juga sudah menyiapkan versi daring yakni Kompas.id sebagai antisipasi bila media cetak benar-benar harus tamat riwayatnya. Selain itu ada pula media daring Kompas Grup/KKG yakni Kompas.com dan Tribunnews.com.
Yakin Bertahan
Sekjen SPS yang juga Anggota Dewan Pers (2022-2025) Asmono Wikan meyakini media cetak akan tetap bertahan di era digital, meski oplah mengalami penurunan drastis dalam 10 tahun terakhir dari 24 juta tiras pada 2014 menjadi 4,5 juta pada 2024.
Tidak hanya tiras yang turun, tapi jumlah halaman turun atau semakin tipis untuk menyiasati tingginya biaya cetak. Meski demikian, menurut CEO Humas Indonesia itu, media cetak akan tetap tak tergantikan, karena media cetak itu kasta tertinggi dari media.
Disebut sebagai “kasta tertinggi” itu menurut Asmono, karena platform digital itu bisa pasang-surut, seperti SMS yang sudah tiada, sedangkan kertas tetap menjadi bukti tertulis, bahkan semakin kuno pun, media cetak tetap menjadi dokumen bersejarah atau manuskrip, jadi tidak sirna.
Hal itu juga diakui oleh praktisi media DR Abdul Choliq Baya saat menjadi pembicara pada “Prasetya Media Summit 2024” di Surabaya, akhir November 2024.
Menurut Dosen Fakultas Dakwah UIN KHAS Jember itu banyak media cetak yang kolaps karena era digital mendorong adanya perubahan literasi baca pada masyarakat dari cetak ke medsos.
Choliq Baya menegaskan era digital itu pasti menang kalau dilawan dengan oplah/omzet, karena itu perlu strategi mengalahkan era digital dengan inovasi digital juga.
Literasi masyarakat memang sudah berubah sehingga pengelola media cetak harus menyiapkan juga inovasi digital juga, baik digitalisasi maupun literasi digital.
Digitalisasi ASSSIC
Choliq Baya mengatakan, pengelola media cetak harus mengikuti arus digitalisasi dengan perlawanan yang adaptif melalui digitalisasi berupa teknologi/aplikasi dan inovasi/kreasi. Apalagi, media cetak juga punya modal atau keunggulan yang tak tersaingi yakni akurasi.
Untuk teknologi/aplikasi digital adalah beralih ke format media daring. Satu lagi teknologi yang penting adalah aplikasi administrasi digital dimana pekerja tidak perlu masuk kantor, melakukan rapat secara daring sehingga terjadi efisiensi pengeluaran.
Untuk inovasi/kreasi adalah inovasi konten, namun konten yang berbasis digital yang bukan hanya berita lempang atau straight news seperti pakem media cetak selama ini. Inovasi konten berbasis digital itu menggunakan rumus ASSSIC sebagai terobosan di era digital.
ASSSIC adalah Accurate (akurat), Solid (kuat), Speed (cepat), Smart (cerdas), Innovative (inovatif), dan Commitment (komitmen/tekad).
ASSSIC merupakan kebijakan manajemen yang mengarah pada budaya era disrupsi (budaya serba digital) dalam teknologi/aplikasi dan konten.
Penerapan konsep ASSSIC yang sudah dilakukan antara lain pada Zona Expo (pameran virtual, misalnya pameran properti yang diubah menjadi online dengan menggunakan kamera 360 dan diunggah di aplikasi Zona Expo).
Selain Zona Expo, juga ada media digital yang mengintegrasikan media berbasis website dengan platform media sosial/medsos (Instagram, Facebook, TikTok, X/Twitter, Snap Video, WhatsApp, Telegram, Pinters, BiP, dan YouTube).
Integrasi website-medsos memungkinkan iklan bundling yang menguntungkan pembaca/pemirsa, karena multi-platform.
Inovasi dalam media digital bukan hanya website dan platform medsos, namun juga ada e-koran yang justru menarik tokoh dan pelaku usaha untuk dipublikasikan, karena e-koran dapat di-share sendiri dan juga dicetak seukuran pigura untuk dipampang di dinding secara eksklusif.
Inovasi juga bisa dengan “QR code” menjadi “koran bisa bicara” karena terhubung video. Ada pula inovasi Berita Bebas Hoaks.
Satu lagi inovasi yang tak kalah pentingnya, selain pameran virtual dan media digital (website-medsos) adalah inovasi iklan untuk menjaga pendapatan dari iklan tetap stabil atau kalau bisa meningkat.
Salah satu nafas penting media adalah pendapatan iklan karena tanpa pemasukan iklan yang bisa menutupi biaya operasional maka media daring sekalipun akan kolaps.
Sementara harga iklan di media cetak saat ini sangat ditentukan oleh seberapa populer nama media itu dan oplahnya atau jika media cetak sudah mengemas juga dalam tampilan daring maka ditentukan dengan page view yang bisa dihasilkan.
Inilah peran penting karya jurnalistik agar tetap dipercaya dengan menyajikan konten yang akurat, cepat dan menarik, sehingga tidak ditinggalkan pembaca.
Salah satu inovasi iklan yang perlu dikembangkan antara lain iklan quote yaitu kutipan ucapan dan foto yang bisa disiarkan dalam bentuk video.
Inovasi iklan yang lainnya, adalah penawaran iklan melalui medsos, teaser (video pendek), dan iklan kolaborasi (kerja sama dengan imbalan pelatihan jurnalistik, magang, dan tayangan prestasi di media digital).
Hasilnya, inovasi pameran virtual, inovasi media digital, dan inovasi iklan membuat media bisa bersaing dengan media sosial, bahkan pola yang “jalan berseiring” antara digitalisasi (teknologi dan inovasi) dan literasi digital (standar jurnalistik dan kode etik/kesalehan) justru meningkatkan omzet di era digital.
Media cetak tidak akan mampu bertahan dengan hanya mengandalkan pembaca klasik yang butuh bahan cetakan tetapi harus mengikuti era digital dengan memperluas sasaran pembaca dari generasi telepon pintar.
Demikian juga untuk menjaring iklan mau tak mau harus berinovasi dengan memperluas sasaran dari jejaring di media sosial dan event organizer sehingga tetap mendapatkan kue iklan yang mampu menghidupkan sebuah media.
Tapi sampai kapan media cetak mampu bertahan sejarahlah yang akan membuktikan. (**)
*) EDY M YAKUB adalah wartawan Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara yang merupakan kantor berita milik negara.
Artikel ini merupakan bagian dari kerjasama diseminasi LKBN Antara dengan MediaBanten.Com