Ikhsan AhmadOpini

Lidah Yang Saling Menjilat

Riuh rendah, bergemuruh. Suara lapar beradu dengan peralatan makan dan sajiannya. Terdengar pula berisik suara seruputan dari lidah yang saling menjilat.

OLEH: IKHSAN AHMAD *)

Kegaduhan di meja makan ini terdengar hingga ke seantero negeri, mendesis, meraung, melolong dan mengancam untuk mengeluarkan menu yang diminta.

Tetamu mengerti betul pertukaran yang diinginkan. “Kami butuh ongkos untuk kembali terhormat dan anda kami biarkan tetap menjabat seperti sediakala.”

Kehormatan dan kewibawaan adalah etika untuk menjadi kaya dan legitimasi untuk terus dapat mengisi “jamban”.

Tuan rumah tak lantas panik, ia tahu hanya perlu berperan secara elegan, humble dan tenang memainkan skenario sebagai titisan dewata.

Tak heran ditengah kegelisahan orang banyak yang berharap kehidupan punya arti, ditengah kegelisahan kepala-kepala yang ingin menjadi kepala setelah dirinya, di tengah kegelisahan kepala gerombolan yang membutuhkan ongkos dan kebutuhan biaya menjadi gerombolan nomor satu.

Tuan rumah sadar ia tidak perlu kaya dan ikut-ikutan “merumput”, cukup menempatkan spesies omnivora yang patuh untuk bisa disuruh-suruh dan menggonggong jika diminta. Spesies ini special karena menjadi mata awas dewata, hidung tuan rumah dan kaki-kaki gerombolan.

Perhelatan jamuan pun digelar atas nama demokrasi diatas “karpet hukum” yang dibuat tanpa cela karena sadar penyelenggaraan jamuan diatasnamakan pemilik kedaulatan.

Perhelatan pun berhias umbul-umbul integritas, haarapan, masa depan dan kepimpinan, berkibar-kibar tertiup angin dalam gelombang panas yang mendera.

Selesai perhelatan jamuan makan selesai, suasanapun kembali senyap. Sebenarnya ini bukan pesta sesungguhnya tetapi persiapan menuju pesta besar tahun depan.

Tuan ruman tahu persis siapa tamu yang pantas diundang, yakni kepala-kepala gerombolan yang lapar dan tahu apa yang mereka harus lakukan setelah makan dan tak perlu table manner. Every body happy.

Apakah ada yang tidak gembira, tentu saja ada, mereka bisa jadi adalah orang-orang yang dituduh kebanyakan meminta lebih, mereka bisa jadi penonton yang tidak bisa berbuat banyak, mereka bisa jadi orang-orang yang sadar bahwa jabatan bukan berhala.

Genap sudah, siapa mendapatkan apa melalui siapa dengan jalan apa untuk mendapatkan “telur emas” pada pesta tahun depan. Tuan diskresi pun kembali percaya diri dan tak lagi menganggap ada ancaman serius untuk menghantarkan diri dan kepentingan gerombolan menuju kekuasaan.

Jika beruntung, kalkulasi yang disusun memungkinkan sang tuan turut menjadi salah satu calon, bertarung menjadi “sejarah”, menawarkan sesuatu dan melampiaskan dendam karena pernah pula tersakiti oleh “sejarah”.

Banyak yang tersadarkan, pada akhirnya sang tuan bukan satu-satunya pemimpin yang menggiring proses alienisasi untuk masyarakatnya.

Ia menjadi simbol betapa integritas, komunikasi yang produktif dan gagasan adalah pemanis untuk mendapatkan dukungan gerombolan dan pencoleng . Ia menjadi simbol kepemimpinan untuk rakyat yang diwakili elit, meski harus melakukan lidah saling menjilat.

Ia menyodorkan dirinya dekat dan menjadi kebanggaan para petualang, “marsose hukum” yang siap melaporkan siapa saja yang berani mengkritik, serta “kaum sudra” yang selama ini hampir tidak pernah disapa dan dijamah kekuasaan.

*) Penulis adalah Pengamat Kebijakan Publik dan Dosen FISIP Unitra.

Ikhsan Ahmad

SELENGKAPNYA
Back to top button