OpiniPolitik

Senyapnya PilkadaTangerang

Salah satu fenomena amat menarik dalam setiap pemilihan kepala daerah adalah adanya kontestansi “panas” tokoh-tokoh lokal. Menjual janji visi-misi sampai pada niat mengabdi. Tidak hanya itu, hajat lima tahunan kerap dijadikan arena tebar pesona. Padahal jauh sebelumnya kasak-kusuk dan blusukan hampir mustahil dilakukan.

Oleh: Subandi Musbah *)

Demokrasi langsung memang membutuhkan kerja-kerja kreatif. Tanpanya sang kandidat sulit untuk hanya sekedar masuk daftar list survei. Alih-alih terpilih menjadi Bupati, Ia malah menghilangkan ruh demokrasi itu sendiri. Calon kepala daerah harus mampu memahami kehendak rakyat. Mengkomunikasikannya melalui alat peraga atau publikasi luar ruang lainnya.

Disini personal branding menemukan momentum. Bukan sekedar poles kandidat, akan tetapi membentuk agar apa yang dimaksud bisa dipahami dengan baik oleh masyarakat. Tokoh mumpuni dan layak memimpin sekalipun tentu akan sulit diterima warga hanya karena soal kemasan. Padahal itu bisa diciptakan.

Pilkada Tangerang

Empat tahun lalu, Pilkada Tangerang dilaksanakan. Perhelatan akbar yang diikuti 4 pasang calon akhirnya dimenangkan oleh sang putra mahkota, A. Zaki Iskandar berpasangan dengan mantan sekda periode kepemimpinan ayahnya. Disusul oleh koalisi PDI Perjuangan dan PAN urutan kedua, Suwandi-Mukhlis.

Kini, Kabupaten yang usianya sudah 73 tahun kembali melaksanakan Pilkada serentak tahap 3. Tidak tanggung-tanggung dana yang disiapkan pemerintah daerah untuk KPUD Tangerang sebesar 125 milyar. Tepatnya pada tanggal 27 Juni 2018 masyarakat kembali akan memeilih pemimpin untuk 5 tahun kedepan.

Jika merujuk pada data Pilgub Banten 2017, ada sekitar 2.022.286 pemilih yang tersebar di 29 Kecamatan, 274 Desa/Keluarahan, dan 4385 TPS. Dibanding Kabupaten/Kota lain, Tangerang tentunya wilayah dengan pemilih paling banyak. Implikasinya berdampak pada modal, strategi, dan konsep pemenangan masing-masing calon.

Dibutuhkan isi tas banyak untuk menjadi kepala daerah di Kota seribu industri ini. Desas-desus, untuk hanya mendapatkan rekomendasi saja butuh miliyaran rupiah. Belum ditambah biaya kampanye, menjalankan mesin politik partai pengusung dan pendukung, biaya survei, pembentukan relawan, sampai pada biaya publikasi. Bagi yang hanya bermodalkan nyali bisa mundur teratur.

Kandidat

Dari 8 Kota/Kabupaten di Provinsi Banten, ada 4 yang akan melaksanakan Pilkada serentak; Kota Tangerang, Kota Serang, Kabupaten Lebak, dan Kabupaten Tangerang. Beda dengan yang lain, Kabupaten Tangerang terasa senyap seolah tidak ada Pilkada. Jika melihat Kota Serang, publikasi bakal calon peserta Pilkada bermunculan dimana-mana. Beberapa tokoh sudah berani menjajaki dukungan parpol, sampai pada deklarasi relawan.

Untuk Tangerang, meski tidak begitu ramai, setidaknya kita mendengar nama Hj. Aida dan Dedi Sutardi dari Partai Demokrat, Topari Ketua PDI Perjuangan, KH. Imadudin Utsman mewakili sipil society-yang belum tau akan manggung dengan partai politik atau kumpulan KTP (independen), Iskandar Mirsad sekda Kabupaten Tangerang yang pensiun pada 02 Oktober 2017, Tomi Kurniawan kader PKB, Mad Romli yang kini menjabat Ketua DPRD, terakhir ada nama Isa Amsyari yang gencar mencari dukungan Partai Politik.

Pilkada 2018 nampaknya tidak semeriah 4 tahun silam, bukan semata karena kuatnya petahana barang kali, melainkan lemahnya partai politik melahirkan figur mumpuni. Bayangkan, dari beberapa tokoh yang muncul, rata-rata bekerja bukan untuk mejadi Bupati. Tokoh yang muncul sekedar menjajaki diri untuk menjadi calon wakil Bupati Zaki Iskandar.

Ada semacam keengganan melawan Ahmed Zaki Iskandar. Logis memang, berhadapan dengan putra mantan Bupati saja sudah berat, apalagi ditambah pernah menjabat sebagai kepala daerah sebelumnya (petahana). Butuh kerja keras, cerdas, dan diimbangi modal besar untuk sekedar bisa menyaingi kekuatannya.

Selain itu, sudah menjadi rahasia umum, bahwa “birokrat” menjadi mesin pemenangan tangguh diluar partai politik pengusung dan relawan. Mereka akan bahu-membahu menghantarkan tuannya memimpin kembali. Walau tidak semua dan sulit dibuktikan. Kerja mereka akan terasa dan menjadi faktor penting kemenangan petahna.

Itulah mungkin mengapa tidak ada figur yang berani muncul untuk bertarung memperebutkan suara terbanyak di Kabupaten Tangerang. Pengalaman membuktikan bahwa incumbent sulit dikalahkan, apalagi lahir dari rahim penguasa sebelumnya, walau tidak mustahil. Ibarat perempuan, “kecantikannya” mendekati sempurna.

Politik adalah seni yang tidak menjadi mungkin atau sebaliknya. Tidak serta merta A. Zaki Iskandar mulus melenggang menduduki posisi untuk kedua kalinya. Ada banyak suara sumbang diinternal birokrat misalnya, mereka juga sebagian tidak satu suara. Ditambah silent mayority yang arahnya belum tentu mengamini konsep “Gemilang”. Jika ada tokoh yang berani maju kemedan laga, potensial voters, barisan sakit hati, birokrat yang jenuh dengan status quo akan menjadi pendukung utamanya.

Bagi Iskandar Mirsad, jika tidak digandeng sebagai calon wakil Bupati oleh mantan atasan, logis kiranya untuk terus maju. Pengalaman menjadi sekda tentunya cukup sebagai modal awal untuk menyapa masyarakat Tangerang. Jika PKB, PDI Perjuangan, dan Gerindra belum mengeluarkan rekomendasi, bisa juga diajak bicara untuk membentuk koalisi anti kemapanan.

Dan ini berlaku bagi bakal calon lainya, beranilah bertarung, karena manusia tidak tau apa yang akan terjadi 8 bulan kedepan. Ada banyak cara untuk upgrade diri sekaligus downgrade petahana. Atau barang kali ada banyak orang yang jenuh dengan keadaan selama ini. Mereka bisa disentuh dan diajak bicara. (*)

 

Subandi Musbah adalah Direktur Visi Nusantara.  Fokus pada Kajian & Personal Branding

Iman NR

SELENGKAPNYA
Back to top button