Ikhsan Ahmad

Demokrasi : Dari Pemodal, Oleh Pemodal, Untuk Pemodal Politik

Menjadi calon pemimpin harus punya banyak cara mendapatkan uang, setidaknya dekat dengan “bandar” alias pemodal agar bisa terpilih menjadi “calon”, kemudian menabur uang diberbagai tahapan kontestasi dan “nyawer” kepada calon pemilih sehari sebelum dipilih. Ratusan hingga milyaran rupiah.

Dimana amanahnya pemimpin seperti ini? Amanah tidak akan pernah bisa dimulai dari proses “menyogok”. Menyogok tidak akan pernah bisa membuktikan apapun atas citra diri calon yang dibangun begitu gemilang dengan segudang janji politiknya.

Oleh: Ikhsan Ahmad *)

Mengapa niat ingin berbakti kepada masyarakat, bangsa dan negara begitu mahal? Apakah uang nyalon ini gratis? Akan diikhlaskan oleh Bandar ketika calonnya kalah?

Atau dianggap biaya perjuangan tanpa menuntut balik keuntungan jika calonnya menang? Apakah tidak terbersit oleh calon yang menang di otaknya untuk mencari cara mengembalikan modal pribadinya yang terpakai?

Apakah tidak terbersit dalam otak calon yang kalah untuk berkoalisi secara terbuka maupun tertutup agar dapat kembali mengais modalnya yang raib.

Dari pemodal, oleh pemodal, untuk pemodal politik, “membeli” legitimasi rakyat.

Nampaknya inilah yang membuat rantai korupsi tidak pernah putus, presidential threshold dipertahankan 20%, calon pemimpin berputar-putar dari keluarga tertentu saja dengan calon itu-itu saja, bisa jadi figure calonnya baru tetapi pemodalnya itu-itu juga.

Ini pula yang menjadikan 1% warga negeri ini menguasai tanah dan ekonomi mayoritas.

Siapakah pemodal politik ini? Berpihak kepada masyarakat atau kepada proyek yang akan dimintanya ketika calonnya menang? Bagaimana perjanjian calon yang menang mengembalikan modal kepada pemodal politiknya?

Berapa banyak yang diminta pemodal politik atas konsensi modalnya? Bagaimana caranya kepentingan pemodal terlihat seperti kepentingan masyarakat? Bagaimana membagi kemenangan calon menjadi keuntungan bagi partai-partai pendukungnya?

Pertanyaan-pertanyaan ini lebih penting dijawab oleh calon yang menang daripada menjawab kepentingan dan kebutuhan rakyatnya.

Siapapun berhak dipilih dan memilih, berhak dicalonkan dan mencalonkan diri dengan catatan jika mampu membuktikan punya cara untuk “membayar” hak tersebut.

Dalam konteks ini, maka kemiskinan harus ada. Dia berfungsi sebagai ruang pamer kampanye, pasar jual beli suara dan menjadi semangat (manipulatif) meneriakkan perubahan agar kontestasi gegap gempita.

Hukum realitas kontestasi inilah yang terjadi ditutupi hukum administratif kepemiluan dengan azasnya Luber dan Jurdil dan prinsip-prinsip keniscayaan demokrasi.

Sampai kapan mau menyadari bahwa ada yang salah dalam praktek demokrasi dan kontestasi kita? Sampai kapan mau dibodohi oleh para elit politik, para calon pejabat politik dengan semua slogan perubahannya?

Bagaimana mengontrol proses demokrasi yang dipenuhi praktek jual beli dan tukar tambah yang hanya menyuburkan dan memakmurkan jaringan para calo politik baik di legislatif maupun eksekutif.

Masih adakah perubahan dalam pemilu yang manipulatif. Masih perlukah masuk dalam polarisasi dan fanatisme politik antar calon dalam kontestasi yang membangun kepercayaannya dengan sejumlah imbalan.

Tidak memilih secara bersama-sama akan menjadi salah satu cara yang efektif untuk mengontrol “pembelian” legitimasi oleh pemborong politik melalui calon kontestannya atau ada cara lain? Apa?

Pastikan untuk tidak mengambil uangnya dan tidak memilih calonnya, karena mereka pada akhirnya menjadi parasit dan benalu bagi kepentingan masyarakat. (*)

*) Penulis adalah Pengamat Kebijakan Publik. Sehari-hari sebagai dosen FISIP Untirta Serang.

Ikhsan Ahmad

SELENGKAPNYA
Back to top button