Ikhsan Ahmad

Memastikan Ketidakpastian

Memastikan ketidakpastian adalah menyelami kata-kata: bohong-bohong; benar-benar. Benar-benar; bohong-bohong. Berbohong dengan benar atau sunguh-sungguh berbohong.

Terlihat di posisi kanan, namun kanannya di sebelah kiri, kirinya tengah. Berdiri di sebelah kiri, tetapi kirinya ada di kanan, kanannya di tengah sebelah kiri. Merasa di tengah, namun tengahnya sebelah kiri, kirinya di kanan.

Oleh: IKHSAN AHMAD *)

Ketidakpastian adalah sebuah kepastian, seperti panca indera ketika memulai kemampuannya mengindera kemudian berakhir ketika panca indera tidak bisa menangkap alam objektif fisikalis, alam dimana setiap anak bangsa merasa ada dan berfikir untuk bangsanya.

Namun seringkali hadir dan ada untuk oligarki, hadir hanya untuk mendapatkan kesempatan mencuri, dan hadir sebagai penikmat kekuasaan.

Memastikan kontestasi tahun 2024 yang belum terjadi, ada sekitar 40 partai politik tengah bersiap, hendak memastikan dirinya tampil di ajang kontestasi, berniat menjadi pemenang.

Mereka merasa terpanggil oleh Ibu pertiwi untuk melakukan perubahan, membenahi negeri ini dan mengubah ketidakpastian menjadi kepastian yang berpihak kepada mereka walaupun mesti memainkan suara kedaerahan dan agama.

Sementara suara pekik kebangsaan terasa parau di tengah permainan para cukong politik.

Curang dalam pemilu adalah kepastian. Setelah pemilu, memilih antara kepentingan pribadi atau kelompok dengan kepentingan bangsa adalah ketidakpastian.

Kemiskinan, pendidikan, pengangguran dan persoalan masyarakat lainnya menjadi pementasan alam pantul berfikir yang subjektif dan bersifat psikologis.

Kehadiran demos dan kratos dalam ide demokrasi tidak bisa dilepaskan dari peran bangsawan saat itu. Begitu pula saat ini, ketika demokrasi menjadi keniscayaan, pilar demokrasi kelima ditopang oleh kaum berduit dengan berbagai sebutan.

Apa yang hendak dipastikan pada pemilu mendatang? Tentu saja anggaran, teknis, mekanisme dan administratif pemilu, seperti pendaftaran calon peserta pemilu, pendaftaran calon pemilih, rekruitmen penyelenggara pemilu dengan berbagai persoalan di dalamnya.

Lalu bagaimana dengan tanggungjawab partai terhadap kaderisasi dan calon yang diusungnya pada sisi moralitas, intelektualitas dan integritas agar tidak menjadi mata rantai korupsi dan jual beli dengan cukong politik?

Bagaimana tanggungjawab terhadap pendidikan politik dan kesadaran masyarakat terhadap mentalitas berdemokrasi?

Bagaimana mempertanggungjawabkan pilihan rakyat yang pada akhirnya tidak berpihak kepada rakyat?

Rasanya pertanyaan tersebut berlebihan untuk ditanyakan karena semua bermain politik mencari untung.

Politik tidak boleh selamanya diartikan siasat untuk mempertahankan dan merebut kekuasaan. Politik mesti dipastikan sebagai salah satu instrument fitrah manusia untuk mengubah setiap kehidupan menjadi jauh lebih baik.

Sudah saatnya masyarakat mendidik dirinya sendiri, memastikan ketidakpastian demokrasi manipulatif, tidak menempatkan diri dalam industri pemilu, dimana setiap entitas pemilu nampak bersungguh-sungguh menghidupkan demokrasi sekaligus menghidupi dirinya sebagai kelas pekerja demokrasi, tak lebih. (**)

*) Penulis adalah pengamat kebijakan publik dan Dosen FISIP Untirta.

Ikhsan Ahmad

Back to top button