Ikhsan Ahmad

Belajar Diam Dari Ban Serep

Diam. Seorang pemimpin yang diam. Entah, apakah diam dalam tahu, diam dalam tidak tahu, diam karena ragu-ragu atau diam karena setuju. Jika diam karena tidak setuju, betapa terkekangnya dan apakah bisa memimpin? Mari belajar diam dari ban serep.

Oleh: IKHSAN AHMAD *)

Diam tidak menghasilkan solusi, sikap dan keberpihakan. Dalam panggung politik, apa lagi ketika menggenggam kekuasaan, kemampuan dalam diam hanya menunggu kesempatan untuk mengambil keuntungan.

Jika diam adalah sebuah kalkulasi politik maka kemungkinan besar tengah menghitung semua sisi pragmatis dari konflik yang muncul, peluang, kesulitan masyarakat dan tantangan masa depan perubahan untuk dijadikan investasi elektabilitas.

Diam kemungkinan juga karena tersandera oleh eksistensi dirinya dalam paket politik yang sudah berjalan.

Bagai janji dua sejoli dalam kawin paksa, harus kompak dan sejalan sampai tuntas 5 tahun jabatan, walaupun tidak bisa membedakan jenis kelamin antara benar dan salah. Bohong benar-benar dan benar-benar bohong sulit membedakannya.

Setelah “kawin paksa politik” berakhir, mungkin akan kembali mengikat janji bersama lagi menjalani life style kekuasaan atau saling berhadapan, saling menjatuhkan untuk sebuah life style kekuasaan.

Diam adalah kemewahan buat dirinya. Bukan buat masyarakat. Kemewahan menghadiri berbagai seremonial, membuka berbagai acara formal, melakukan rutinitas koordinasi dan berbagai kegiatan lain yang dampaknya sedikit sekali terhadap perubahan yang diharapkan masyarakat.

Dalam diam, ia adalah pemimpin, memiliki kemampuan menentukan kebijakan strategis dan berpengaruh tetapi nampaknya hanya pada sebuah kebutuhan ruling class saja.

Sesekali tampil, menggebrak hanya untuk mengingatkan bahwa ia ada untuk periode berikutnya. Mengapa ia langgeng dan dibutuhkan, karena ia simpul dari patron klien, simpul dari akar rumput yang terjaga bansosnya.

Bisa jadi diam adalah sebuah sikap yang dibutuhkan untuk menenangkan “riak” yang bergemuruh. Tetapi bagaimana ketika sang riak membutuhkan sikapnya? Membutuhkan penjelasannya karena pemimpin adalah a leader is one who knows the way, goes the way and shows the way.

Sikap diam seperti pedagang yang pura-pura tidak tahu ketika timbangannya mencurangi pembeli yang penting untung. Sikap diam biasanya diikuti oleh sikap membiarkan ketimpangan terjadi dan ketidakadilan terjadi.

Tetapi tidak akan membiarkan apapun yang terjadi ketika terganggu stabilitas popularitasnya, yang diperhatikan adalah keberdayaan simpul-simpul massanya untuk pendulangan suara, mengumpulkan award untuk portofolio kekuasaannya.

Keberaniannya dalam diam tidak bisa dibaca, kepemimpinannya dalam diam tidak bisa dibaca, ketegasan dan kewibawaannya dalam diam tidak bisa dibaca, maka sesungguhnya pemimpin seperti ini memiliki visi dan misi kepemimpinan yang bersifat administratif, tidak punya kemampuan dalam dunia empirik dan melawan “iqro”.

Apa yang bisa diharapkan? Tidak ada kecuali anda bisa masuk dalam keuntungan circle-nya. Lalu jenis pemimpin apakah? bagaimana masyarakat dapat menilai visi kepemimpinannya?

Kasihan masyarakat, tiga kali tertipu. Pertama saat memilihnya, kedua saat sang diam memimpin dan ketiga ketika masyarakat tetap menggajinya melalui pajak.

Dan siklus penipuan ini akan berulang kembali. Posisinya, sang diam adalah sosok yang pintar dan masyarakat yang bodoh, itu pasti.

Pintar karena punya uang dan bodoh karena miskin. Itu juga pasti. Kepintaran politik, kebodohan politik dan kemiskinan membuat lingkaran kontestasi begitu mengasyikkan untuk saling menipu orang lain dan menipu diri sendiri.

Tipu menipu inilah yang kemudian membentuk peluang ruling class kembali, dilegitimasi oleh aturan dan uang.

Belajar diam dari ban serep. Ada satu pelajaran yang bisa diambil, yakni lebih berharga ban serep daripada pemimpin yang diam.

Ban serep tahu kapan ia akan berfungsi, yakni saat ban utama bocor atau tidak berfungsi. Akankah kepemimpinan yang diam akan tampil saat pemimpin utamanya “bocor” atau tidak berfungsi, sungguh sikap yang aneh.

Namun kita tidak boleh berburuk sangka, barangkali dalam diam ia berjalan, menyusuri lorong dan gorong-gorong gelap, mencoba menemukan solusi tanpa orang lain untuk tahu. Membela masyarakat dalam diam dan membengkokkan sebuah kesalahan dalam diam.

Tetapi tentu juga kita bertanya, mengapa ia tidak berjalan di tempat terang sehingga menjadi pembelajaran dan menggulirkan semangat perubahan yang dapat dikenali, dibela dan dijadikan jalan serta simbol kebenaran yang saat ini sudah langkah seperti harimau jawa, badak bercula satu dan hewan lainnya yang hampir punah.

Dalam diam masyarakat selalu saja disuguhkan isu persaingan dua matahari, pembagian OPD, pembagian proyek dan pembagian “mereka” dan “kita” dalam rombongan ASN karena “mereka” adalah orang “kita” dan “kita” harus menguasai “mereka.”

Seharusnya saat pasangan ini berjanji dalam kontestasi, keduanya harus mengenalkan dan membagi tanggungjawab apa yang akan diemban dan dijalankan pada masing-masing ketika terpilih. Dan masyarakat tidak boleh terlena bahwa mereka sebatas paket saja.

Memasuki masa akhir jabatan pasangan kawin kontrak politik seharusnya masyarakat belajar banyak dan memasuki kontestasi pilkada 2024 semestinya masyarakat tidak bersikap sebagai konsumen tetapi pemegang kedaulatan.

Perubahan tidak akan datang jika kita sendiri tidak melakukannya, bukankah sudah terang benderang, kontestasi politik seringkali mengingkari kepentingan masyarakat dan mengkhianati kebutuhan masyarakat. (*)

Ikhsan Ahmad

Back to top button