Ikhsan Ahmad

Firaun Jadi Tuhan Karena Ada Penjilat

Penjilat. Pikirannya tajam dan lidahnya lihai untuk membuat kekuasaan senang serta sigap melayani permintaan penguasa. Pandai mengakumulasi moment politik untuk kepentingan diri dan citranya pada sang tuan.

Menjadikan konflik sebagai peluang mendapatkan sesuatu. Selalu mencari cela agar dirinya dipandang dan terpakai.

Oleh: Ikhsan Ahmad *)

Ketokohannya dibentuk oleh proses tukar tambah kepentingan. Biasanya orang ini tak peduli pada jenis kelamin kekuasaan, yang penting bisa hidup dari kemampuannya pamer diri.

Tak perlu keahlian khusus, tak perlu sertifikat, apalagi wawasan dan etika, tidak perlu. Hanya perlu muka tembok, hati batu dan berani malu. Keahlian penjilat adalah merangkai kata untuk memastikan sang penguasa senang.

Peran penjilat dibutuhkan agar kekuasaan dapat dipuja, menjadi penentang kritik terhadap penguasa dan selalu menunggu agar bisa terus berada pada lingkaran kekuasaan.

Penjilat termasuk tipe kepribadian klasik. Sudah ada sejak Firaun berkuasa, para penjilat sanggup bersaksi bahwa Firaun adalah Tuhan demi imbalan dan kesenangan.

Sekilas saya teringat tausiyah seorang Ustadz. Ia bercerita, pada masa kerajaan Firaun, yang diyakini adalah Ramses III, bernama Menephtah, adalah sosok tiran, mengangkat dirinya sebagai Tuhan Semesta Alam.

Ia adalah Raja Mesir yang menjadikan apapun perkataannya sebagai hukum tertinggi, I am The Law. Ia tidak suka dikritik dan seringkali membalas kritik kepada dirinya dengan membunuh para pengkritiknya.

Mengapa Ramses III yakin dirinya adalah Tuhan? Tentu saja berkat kelihaian seorang penjilat.

Menephtah memiliki Menteri Serba Bisa, mengurus semua urusan Firaun, namanya Hamman. Seluruh istana Firaun mengenal sosok Menteri ini dengan julukan penjilat kelas tinggi.

Hamman adalah orang yang pertama mengatakan bahwa Menephtah adalah Tuhan. Hal ini membuat Ramses III yakin pada dirinya bahwa ia adalah Tuhan dan menyatakan kepada rakyatnya bahwa dirinya adalah Tuhan yang patut disembah.

Dalam perjalanannya, suatu waktu, Ramses III bermimpi, akan lahir seorang anak dari kalangan Bani Israel yang akan menjatuhkan kekuasaannya. Firaunpun memerintahkan menyembelih semua bayi laki-laki dari kalangan Bani Israel yang lahir di Mesir pada tahun tersebut.

Maka tak terhitung berapa jumlah bayi laki-laki yang disembelih saat itu. Kendati Takdir Allah SWT pada akhirnya berkata lain. Ada satu bayi yang lolos dan kemudian dipelihara dan dijaga seperti keluarga kerajaan di Istana Firaun sendiri, yakni Nabi Musa AS.

Teringat pula kisah para penyihir Firaun yang meminta upah jika menang melawan Nabi Musa. Para penyihir sekaligus penjilat ini, selain meminta upah juga meminta jika menang bisa dekat dengan Firaun. Seperti dijelaskan dalam QS Asyu’araa 42, Firaun pun menjawab, ya, jika kalian menang akan menjadi orang dekat ku.

Penjilat adalah seseorang yang berhimpun pada legitimasi kelompok untuk membenarkan perkataan penguasa kendati perkataan itu salah atau perlu dikritik.

Di mata penjilat, kebijakan penguasa adalah jalan untuk mendapatkan kesejahteraan dan penjilat bangga dengan apa yang mereka perankan. Tak peduli, jika perannya merusak substansi demokrasi dan menjadikan kekuasaan tidak berpihak kepada rakyatnya.

Sifat penjilat harus diyakini bukan lahir dari sebuah kultur politik, tetapi lahir dari rasa takut lapar dan tidak terpakai oleh tuannya, oleh karena itu karakternya sporadis, membabi-buta dan tidak bisa menempatkan konteks persoalan dan tidak bisa menempatkan persoalan dalam konteksnya.

Penjilat selalu hadir dan ada untuk penguasa anti kritik. Berlomba untuk dekat dengan penguasa. Prinsip penjilat, dekat dengan kekuasaan akan banyak fasilitas dengan pilihan-pilihan prioritas. Semoga kita terhindar dari sifat dan bentuk seorang penjilat. (*)

*) Penulis adalah Pengamat Kebijakan Publik dan Dosen FISIP Untira

Ikhsan Ahmad

SELENGKAPNYA
Back to top button