Ikhsan AhmadKolom

Awas ! Orang Baik Musuhnya Partai Politik

Tahun 2024 masih jauh didepan mata namun ancang-ancang kontestasi politik sudah terasa. Sebuah “pesta” yang “mematikan” 894 KPPS di tahun 2019 lalu akan digelar kembali.

Dunia janji dan dunia maya kembali akan berkelindan dengan fanatisme bodoh dan fanatisme berbayar. Dikemas dalam “nasi kotak” bertstempel “tim sukses “ dan “pendukung”.

Oleh : Ikhsan Ahmad *)

Manusia unggulan bernama “calon” tengah di “steam” oleh institusi ilmiah berbayar atau lembaga survey agar siap “berjudi” demi kepentingan bangsa. Menyiapkan citra diri di dalam “warung remang-remang”, berselingkuh dengan media.

Semboyannya berbakti dan berbuat baik untuk negara berarti harus berkuasa, karenanya penting untuk merias diri dengan pakaian “kultur”, agar bersahaja, peduli, berani, bisa memikat dan bertutur penuh makna berpandu kepada KBBI.

Kehadirannya seolah mewakili perubahan, kebenaran, keadilan dan kesejahteraan untuk masyarakat. Padahal integritas, kejujuran dan isi otak bukan tiket utama untuk mendapat rekomendasi parpol dan modal pemilu dari “cukong politik”.

Elektabilitas dan popularitas menjadi mantera untuk membuka pintu “pemilik perahu” dan pemilik “sistem ijon politik” sekaligus menjadi euphoria semi permanen yang diharapkan menjadi suratan takdir – campur tangan Ilahi.

Menjelang kontestasi, display atau etalase berbagai persoalan dan harapan masyarakat mulai dipajang. Etalase kemiskinan, persoalan pendidikan, UMKM, lapangan pekerjaan, persoalan lingkungan dan kemandirian biasanya mejadi display favorit.

Display ini terus bergerak ke tingkat “grosir”, persoalan dan harapan masyarakat dikemas menjadi visi misi calon, dibuat agar menjadi daya tarik, pemikat sekaligus “mengelus” emosi, tak peduli apakah meninggalkan luka atau tidak.

Tidak penting apakah visi, misi dan program calon lahir dari suatu metodelogi berfikir logis, terukur dan bisa implementatif atau copy paste yang penting bisa memenuhi proses administratif pencalonan.

Di sini, data bukan sekedar angka, dia adalah fasilitas numeric yang sama derajatnya dengan “agama”. Disisi petahana statistik adalah sebuah keberhasilan dan pengalaman yang perlu diteruskan.

Disisi penantang, statistik kekuasaan adalah “kebohongan”. Dari tingkat grosir, display persoalan masyarakat dibawa ke “arena pameran” debat calon. Para perias “Salon kecantikan” bertanggungjawab untuk menampilkan calon agar “sexy” “berlenggak lenggok kata” dan berbusana.

Tak ada lagi peristiwa heroik di dunia ini ketika kontestasi dimulai, calon akan menampilkan dirinya apapun demi dan untuk masyarakat, demikian pula masyarakat pendukungnya, tidak ada yang lebih penting kecuali kemenangan calonnya, selama ada timbal balik yang saling menguntungkan.

Penyelenggara dan pengawas pemilu adalah penyangga demokrasi prosedural, dibuat tak berdaya untuk menegakkan substansi demokrasi. Lihat saja target persentase yang dibuat oleh penyelenggara pemilu, sebesar apapun persentase partisipasi pemilih tak bisa dipilah, apalagi dipastikan berapa persen partisipasi pemilih rasional dan berapa persen yang lahir dari daya tarik “amplop” dan “indomie”.

Value hasil pemilu bersifat manipulatif. Visi, misi dan program calon hanya menjadi milik “lemari” administratif dan arsip, tidak diuji metodelogi dan pertanggungjawabannya sebagai asset pemikiran bangsa.

Pengawas pemilu tidak akan pernah bisa mengawasi secara objektif, karena kelahiran mereka dibidani oleh “bidan-bidan” politik yang beroperasi secara senyap. Penyelenggara pemilu mulai hadir ketika pendaftaran calon.

Kehadirannya dibuat terlambat, insyaallah disengaja, setelah kontrak-kontrak simpul korupsi dibuat dan ditentukan bersama oleh parpol, calon dan cukong politik dalam keputusan penentuan calon.

Jika penyelenggara pemilu bisa hadir disaat rekruitmen calon digodok oleh parpol, pasti akan berbeda ceritanya, walaupun masih bisa terjadi “jeruk makan jeruk” tetapi bisa dipastikan salah satu jeruknya pasti berubah menjadi “jeruk piranha”.

Semestinya, rekruitmen calon kepala daerah dibuat terbuka seperti rekruitmen calon komisioner KPU, Bawaslu, Komisi Infromasi, KPID, dll, jelas tahapannya, jelas mekanismenya, terukur kompetensi pengujinya, dibuat terbuka nilai kelulusannya.

Calon tampak bodoh dan tak berkualitas di mata pendukungnya jika tidak mampu memperlihatkan dan menyawer “isi tas”nya.

Demikian sebaliknya, masyarakat tampak pintar dengan pembagian “kasta” ilmiah kelompoknya, yakni rasional dan tradisional namun tidak akan berdaya dengan “bisikan tukar tambah”.

Calonpun nampak tidak berdaya dengan apa yang diinginkan pemodal politiknya, nuansa ketertundukan ini akan berbuah pada saat balas budi politik harus dipersembahkan.

Masyarakatpun tidak berdaya ketika sang calon mulai berkuasa, karena sang “pemimpin” lebih banyak mendengar dan terikat dengan partainya daripada masyarakat.

Birokrasi sebagai “pelayan” kebutuhan dasar masyarakat yang diberi “gajih” oleh masyarakatpun tak berdaya, terbelah, antara yang mendapat berkah jabatan pasca pemilu dan yang “berburu” jabatan pasca kontestasi.

Struktur anggaran dan pendapatan belanja negara yang sejatinya untuk masyarakat terjepit diantara belanja pegawai, proyek mercusuar politik untuk citra sang pemimpin dan proyek yang harus dibagi-bagi sebagai berkah kemenangan untuk “tim nasi kotak”.

Parpol nyaris lepas tangan atas karakter calonnya yang “durhaka” kepada rakyat, bahkan menjadi pembela utamanya, tak peduli benar atau salah, beretika atau tidak. Janji politik untuk masyarakat, perlahan-lahan bertekuk lutut pada “industri demokrasi”.

Parpol bermasalah dengan dirinya. Menjadi “mahluk” paling demokratis dalam “kubangan” korupsi yang tak pernah bisa putus, sentralistis dengan sistem kaderisasi yang buruk. Lahirnya partai politik baru memunculkan kekhawatiran hadirnya simpul korupsi baru.

“Kutu loncat” yang berpindah-pindah parpol, bagai pindah kontrakan, memunculkan kekhawatiran terhadap karakter bangsa yang semakin lemah.

Ke depan, sudah sepatutnya kadersisasi parpol dikontrol dengan sistem akreditasi sebagai garansi adanya kaderisasi yang dapat melahirkan pemimpin yang berpihak kepada masyarakat, punya otak, integritas dan idelogis.

Keyakinan akan kualitas kaderlah yang perlu diusung oleh parpol, bahkan bisa dimusyawarahkan untuk disepakati, siapa kader parpol yang dianggap paling senior dan berkualitas untuk menjadi pemimpin, tak perlu kontestasi.

Kontestasi perlu diukur dari akreditas kaderisasi parpol. Akreditasi kaderisasi bakal menilai tahapan, materi kaderisasi, levelitas dan mekanisme kaderisasi yang dapat menggolongkan parpol pada peringkat apakah layak dan bisa dipercaya untuk mengusung calon, membuahkan hukuman terhadap organiasi atas kasus korupsi yang terjadi dengan kadernya, dan yang pasti kutu loncat dan politisi punya duit tapi gal punya otak dan etika tidak bisa langsung mengisi posisi elitis dan diusung sebagai calon karena harus mengikuti aturan main sistem kaderisasi.

Beranikah?

Jika parpol tidak berbenah, mereformasi dirinya, tidak sungguh-sungguh memperbaiki sistem kaderisasinya maka sesungguhnya musuh bersama bangsa ini adalah partai politik karena selalu menjadikan kemiskinan sebagai display ruang kampanye dan mengolahnya menjadi “karung” bansos dari kontestasi ke kontestasi tetapi tak pernah sungguh-sungguh ingin mengentaskannya.

Jadi musuh bersama kita bukan kemiskinan dan kebodohan. Parpol pantas menjadi musuh bersama karena membodohi masyarakat dengan segala pencitraan dan kampanyenya.

Parpol dengan dimensi politisnya memberi pengaruh ke seluruh aspek kehidupan masyarakat namun parpol menjadi beban masyarakat dengan segala persoalannya. Satu-satunya perubahan nyata dan cepat yang diberikan parpol adalah perpindahan kelas, dari calon yang meminta dukungan dalam “ritual” demokrasi kemudian menduduki posisi kekuasaan yang diinginkan.

Semua partai sama, jika ada klasifikasi pembagian parpol secara umum, kanan-tengah-kiri, maka parpol kanan, bisa jadi berada di kanannya kiri, parpol tengah berada di tengahnya kanan, parpol kiri berada di kanannya sebelah kirinya tengah dan seterusnya. Kondisi ini berlaku pula dengan partai berlabel agama.

Sejauhmana parpol dapat melakukan reformasi bagi dirinya?

Jawabannya terletak pada keberanian bangsa ini sejauhmana kita mau melakukan fungsi kontrol dan pengawasan kepada parpol, karena selama ini tidak ada satupun pengawasan dan kontrol terhadap partai politik.

Dan harus dipastikan jika ada lembaga kontrol terhadap parpol bukan orang parpol yang melakukan itu. (*)

*) IKHASAN AHMAD merupakan Pengamat Kebijakan Publik yang sehari-hari menjadi dosen di Universitas Negeri Tirtayasa (Untirta).

Ikhsan Ahmad

SELENGKAPNYA
Back to top button