Ikhsan Ahmad

Oligarki: Pemilu 2024 Turut Memilih Pengusaha APBN dan APBD

Oligarki politik, demokrasi koorporasi. Namanya mentereng, bahkan sulit diucapkan oleh kebanyakan masyarakat, apalagi untuk dingat dan dimengerti, siapa “mahluk” dibalik istilah itu.

Wajar kalau susah dipahami karena istilah tersebut tidak akan pernah menunjuk kepada peranan seseorang atau kelompok orang secara terang benderang. Ia tidak pernah tampil langsung, menawarkan diri untuk dipilih.

Oleh: Ikhsan Ahmad *)

Ia hanya peduli pada suatu kompetisi politik untuk mendukung dan memastikan calon yang didukungnya memiliki peluang besar untuk menang.

Caranya menciptakan ketenaran atau keterkenalan (popularitas) sehingga memiliki peluang untuk dipilih lebih besar dengan kekuasaan “uang”, isi otak calon tidak penting.

Oligarki politik meninggalkan tanda yang sebetulnya dapat dirasakan masyarakat, yakni terpeliharanya kekuasaan politik secara efektif, dipegang oleh segelintir elit berdasarkan kekayaannya, menyebabkan pejabat politik yang terpilih tidak bisa berbuat banyak untuk berpihak kepada masyarakat.

Intinya kekuasaan yang berjalan akan memprioritaskan keuntungan untuk kelompok ini terlebih dahulu baru kemudian masyarakat.

Demokrasi koorporasi, sama seramnya dengan oligarki politik. Pencalonan seseorang didukung dan dibiayai oleh perusahaan-perusahaan besar untuk memastikan jika calonnya terpilih maka perusahaan-perusahaan tersebut turut menjadi investor yang berhak mendapatkan prioritas keuntungan lebih dahulu setelah itu baru masyarakat.

Apakah penyelenggara dan peserta pemilu tahu tentang hal ini?

Tentu saja, tetapi apakah ada langkah-langkah yang diambil untuk menghentikan kedua binatang ini? Tentu tidak.

Masih ingat sinyalemen yang disampaikan kepada masyarakat, dua tahun lalu, bahwa 92% pemilihan kepala daerah didukung cukong politik dengan sistem ijon?

Berani untuk mengatakan ini hoax? Tentu saja tidak mengingat kapasitas dan kapabilitas sang pemberi info.

Jika ini dianggap kebohongan seharusnya pejabat yang mengatakan hal tersebut ditangkap karena telah menghina para pemimpin kita dan memfitnah adanya penggarongan terhadap kedaulatan rakyat yang artinya penghianatan terhadap dasar-dasar bernegara.

Pemilu 2024 ternyata bukan saja menjadi agenda demokrasi tetapi juga menjadi agenda pemilihan bagi para cukong atau bandar politik dibalik para calon untuk memastikan kekayaan mereka aman, terjaga dan dapat bertambah besar melalui konsesi proyek-proyek pembangunan disaat calonnya menang.

Pemilu 2024 bukan Cuma pesta demokrasi, bukan sebuah pesta yang menempatkan kebahagiaan masyarakat untuk menatap sebuah perubahan. Pemilu 2024 juga menjadi ajang laga perjudian modal politik. Hasilnya pemerintah tersandera oleh kepentingan pemodal besar.

Sudah saatnya kemandirian calon dan partai politik dari pengaruh pemodal besar, cukong politik, Bandar pemilu dipertanyakan dan menjadi syarat kontestasi. Jika tidak, maka sesungguhnya rakyat telah dijadikan alat untuk mengukuhkan kekuasaan para pemodal politik untuk tetap berkuasa melalui jalur pemilu.

Besarnya beban para pemimpin yang terpilih untuk membalas budi para cukong ini, menyebabkan rantai korupsi tidak akan terminimalisir.

Kemiskinan akan menjadi ladang yang luas dan subur untuk menyemai janji-janji kampanye yang tidak berujung kepada keberdayaan. Setelah pemilu, kemiskinan akan dikembalikan sebagai takdir Tuhan, kemalasan dan kesalahan pribadi si miskin. (*)

*) Penulis adalah Dosen FISIP Untirta dan Pengamat Kebijakan Publik.

Ikhsan Ahmad

SELENGKAPNYA
Back to top button