Ikhsan AhmadOpini

Jual Beli Jabatan dan Sistem Beurit

Nilai tukar rupiah terhadap harga jual beli jabatan meningkat. Transaksinya mencapai sekitar 20% di pasar gelap birokrasi. Harganya fluktuatif menyesuaikan dengan basah dan keringnya “alas kaki” di ruang kerja birokrat yang dipilih.

OLEH: IKHSAN AHMAD *)

Kenaikan harga ini disinyalir karena kebutuhan penataan sirkulasi pemenangan politik tahun 2024 menguat untuk mengusung calon tertentu. Nampaknya perdagangan ini sukses dan senyap karena sistem merit ditukar dengan sistem beurit.

Sentimen pasar yang muncul akibat perdagangan ini adalah menguatnya primordialisme dan kepentingan politik.

Primordialisme sebenarnya telah lama menjadi salah satu tangga dan jaring yang digunakan untuk mendapatkan jabatan tertentu dalam birokrasi. Kabarnya para primordialis lain kecewa karena borong pasar jabatan ini, mereka adalah kelompok bubur ayam, kelompok pohon jati, kelompok seberang dan keluarga cemara.

Primordialisme menjadi jalur aman untuk menjamin loyalitas kebutuhan pasar jabatan dalam birokrasi. Jalur ini pula yang kelihatannya dipakai untuk geser menggeser kelompok yang berpegang teguh pada “buhul” kompetensi, jenjang karir dan kelompok-kelompok yang percaya pada “mantera” reformasi.

Sir Thomas Stamford Raffles, pada tahun 1800 an, sebenarnya telah lebih dulu dan lebih canggih memainkan stereotip kelompok dalam birokrasi dan masyarakat untuk kepentingan kolonialisme.

Nilai diferensiasi antara kolonialisme Inggris dibedakan dengan kolonialis Belanda yang dikelompokkan sebagai penjajah yang mengeruk kekayaan pribumi, orang China dikelompokkan sebagai pedagang dan mitra yang menguntungkan.

Bangsa pribumi dikelompokkan sebagai pengikut ajaran Muhammad (Islam) yang terkagum-kagum dengan “kereta setan”, terkenal santuy, tanpa motivasi, hidup bergantung pada alam dan bisa diajak bernegoisasi untuk kepentingan apapun tanpa harus ribut-ribut.

Sayangnya, jalur cepat stereotip masa kolonialisme itu kini tidak hilang, malah “terdigitalisasi”, mengikuti arus normatifitas dan perkembangan “nehnikologi informasi”, dimana pimpinan orchestra birokrasi yang terpelajar, dijamin tetap bersih, ia terjaga dari kepura-puraan dengan legalitas formal yang kuat.

Kemungkinan kepercayaan diri yang kuat ini berangkat dari keyakinan bahwa para pemilik investasi di pemerintahan telah menjaga, melindungi dan memberikan probabilitas sebagai calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah, tergantung dari kemampuan mengulik bangunan primordialisme yang ada ke depannya.

Setidaknya, ukuran masih dipertahankan “menjadi sesuatu” adalah energi terbarukan yang efektif dan efisien untuk menundukkan.

Pada akhirnya, nilai tukar rupiah terhadap harga jual beli jabatan menyebabkan inflasi nilai jual kepercayaan di masyarakat dan menimbulkan depresiasi nilai birokrasi di masa depan. Maka tak heran stabilitas birokrasi seringkali goyah oleh naik turunnya harga cabe keriting dan jengkol di pasar induk.

Pemilik saham pemerintahan sesungguhnya, seperti petani, buruh dan masyarakat lainnya hanya bisa “planga – plongo” kendati merekalah yang menghidupi roda pedati pemerintahan.

Ingat, warga negara yang bijak di negeri ini adalah warga negara yang taat membayar pajak namun tidak pernah tahu ada “cash back” untuk kekuasaan disetiap penjualan retail jabatan. Bisa dipesan dan dibayar dengan sistem COD. (**)

*) Penulis adalah seorang Pengamat Kebijakan Publik dan Dosen FISIP Untirta.

Ikhsan Ahmad

SELENGKAPNYA
Back to top button