Opini

Menyoal Mantan Napi Korupsi Jadi Calon Legislatif Pemilu 2024

Pada Pemilu 2024, Indonesia kembali diwarnai perbincangan panas terkait aturan yang membolehkan mantan napi korupsi untuk ikut dalam pemilihan legislatif (Pileg) atau memperebutkan kursi senayan.

OLEH: KELOMPOK 8 KELAS 4E IKOM FISIP UNTIRTA *)

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan Nomor 87 /PUU-XX /2022 dan Nomor 12 /PUU-XXI /2023 yang menegaskan bahwa setelah menjalani hukuman, para koruptor harus menunggu lima tahun jika ingin mencalonkan diri menjadi anggota legislatif.

Tetapi, anomali terjadi, KPU justru mengeluarkan peraturan No. 10 tahun 2023 Pasal 11 ayat (6) dan Pasal 18 ayat (2) yang menjelaskan bahwa mantan napi korupsi boleh mencalonkan diri sebagai anggota legislatif tanpa harus melewati masa jeda lima tahun.

Pemilu kali ini, KPU mengumumkan terdapat 52 caleg DPR RI dan 16 caleg DPD RI yang merupakan mantan terpidana korupsi dengan ancaman pidana 5 tahun atau lebih.

Hal ini menimbulkan kontroversi, walaupun nyaleg merupakan hak politik masing-masing orang, tetapi pemerintah dinilai tidak berkomitmen dalam memberantas korupsi.

Korupsi adalah penyakit kronis yang seakan bersemayam dalam tubuh bangsa kita. Menghantui dinamika kebijakan pemerintah yang berorientasi untuk kepentingan masyarakat. Masalah menahun ini adalah terus diperangi eksistensinya karena menghambat pembangunan dan menghancurkan kehidupan bernegara.

Koruptor menjadi musuh bersama yang harus ditindak tegas terutama dalam kasus yang melibatkan kebijakan pemerintah. Faktanya mereka masih bisa melenggang bebas untuk mencalonkan diri menjadi anggota legislatif.

Kursi legislatif seharusnya diduduki para wakil rakyat yang mempunyai integritas dan kredibilitas, bukan para tikus berdasi yang tak punya empati.

Indonesia seperti kekurangan sumber daya manusia, dari ratusan juta penduduknya beberapa yang muncul dalam kompetisi legislatif adalah mereka yang merupakan koruptor. Mereka terang-terangan merasa tak bersalah atas perbuatannya, bahkan ada yang mengaku menjadi korban.

Kondisi ini menggambarkan bagaimana pemerintah hanya membesarkan ucapan daripada tindakan. Secara logika aturan tersebut cacat moral dan etika, melukai semangat antikorupsi yang selama ini digembar-gemborkan. Loyalitas dan integritas pemerintah pantas diragukan, karena mandat yang rakyat berikan disia-siakan.

Hasil survei Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2023 yang dilakukan oleh Transparency International menyatakan Indonesia memperoleh skor 34 dari 100.

Angka ini stagnan dari tahun 2022. Selain itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sepanjang 10 tahun (2013-2022) negara mengalami kerugian mencapai Rp238,14 triliun akibat korupsi.

Data tersebut setidaknya menggambarkan betapa pentingnya memerangi korupsi karena merugikan negara. Marwah pemerintah hancur dengan fakta yang tersaji di media massa, rakyat kian skeptis terhadap komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi karena faktanya mereka masih membiarkan koruptor untuk berkuasa.

Bukannya memberi efek jera, aturan ini justru potensial membuat korupsi semakin subur karena akan semakin banyak yang beranggapan bahwa tidak ada korelasi antara pemimpin dan korupsi.

Pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab atas aturan yang memperbolehkan mantan napi korupsi nyaleg. Janji manis untuk menindak para koruptor tak selaras dengan tindakan yang dilakukan.

Hal ini kemudian berdampak pada kualitas pemilih di Indonesia, dimana selain minim pendidikan politik, mereka dihadapkan pada pilihan pemimpin yang pernah korupsi.

Banyak kalangan yang menentang ide ini dengan alasan integritas dan etika. Bagaimana masyarakat bisa percaya terhadap seorang yang pernah terlibat dalam tindakan korupsi untuk tidak mengulangi kesalahan masa lalu mereka?

Kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif yang sudah sering sekali dipertanyakan akan semakin menurun jika mantan narapidana korupsi tersebut terpilih menjadi anggota legislatif.

Mereka khawatir hal ini akan mengurangi kredibilitas dan integritas lembaga legislatif di mata publik. Pertanyaan lain yang muncul adalah mengenai ketentuan hukum yang memperbolehkan mantan narapidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.

Jika hukum memang mengizinkan, patut dipertanyakan apakah masyarakat harus menghormati hal tersebut. Ataukah adanya regulasi pemilihan publik perlu direvisi untuk mempertimbangkan masalah ini yang dianggap penegakan hukum diindonesia sudah rusak.

Seharusnya mantan napi korupsi diberikan sanksi tegas, bukan dibentangkan karpet merah untuk kembali berkuasa. Meskipun mereka memiliki hak untuk berpolitik, tetapi tidak bisa menyediakan ruang bagi maling yang sama untuk mencuri barang yang sama.

Masih kusutnya penegakkan hukum di Indonesia dipandang oleh sebagian orang sebagai alasan bahwa mantan napi korupsi boleh nyaleg. Namun, semua kembali pada moral masing-masing orang, dan lagi-lagi tentang keseriusan pemerintah dalam memerangi korupsi.

Pemerintah harus memiliki komitmen tegas yang diikuti implementasi nyata dalam memberantas korupsi agar para koruptor jera. Di sisi lain, hal ini hendaknya menjadi bahan refleksi dan introspeksi KPU agar aturan mantan napi korupsi boleh nyaleg ini kembali dipertimbangkan.

Hal ini demi menghasilkan pemimpin yang terbaik dari proses yang bersih dan jauh kecurangan atau hal kontroversial sehingga membuat masyarakat percaya bahwa pesta demokrasi adalah kesempatan untuk memilih pemimpin yang pantas mewakili kepentingan masyarakat. (**)

*) OPINI ini ditulis oleh Kelompok 8 kelas 4E Ikom Fisip Unirta yang beranggotakan Andreas Mikael Tobing, Anindita Putri Soraya, Imam Febriansyah Mulyadi, Muhammad Faisal Akbar dan Nadia Larisa

Iman NR

SELENGKAPNYA
Back to top button