Opini

Skor PISA Terbaru, Perlu Pertimbangkan Kembali Posisi Guru Kelas SD

Skor PISA terbaru keluar, skor rerata Indonesia menurun -13, namun peringkat negara naik 5 posisi. Setidaknya dalam periode ini kita tidak lagi menggunakan frasa “peringkat sepuluh terbawah negara OECD”.

OLEH: SANI SAHARA *)

Tetap saja, penurunan skor PISA akan secepatnya menjadi bahan kajian akademisi dan pengambil kebijakan. Faktor penyebab akan terus diidentifikasi untuk ke depannya ditindaklanjuti.

Seperti yang telah dilaksanakan setiap tiga tahun sekali, dalam penilaian skor PISA oleh organisasi ekonomi pada anak dengan rerata usia 15 tahun tersebut, beberapa aspek seperti literasi dan numerasi menjadi bagian yang belakangan sering menjadi topik diskusi dan penelitian.

Siswa dinilai kemampuannya dalam dalam tiga domain utama, yaitu membaca, matematika, dan sains.

Soal untuk skor PISA dirancang untuk menilai kesiapan siswa menghadapi tantangan dalam masalah nyata di dunia dengan kemampuan mereka menerapkan pengetahuan dan keterampilannya dalam berbagai permasalahan.

Sehingga pembuat kebijakan dan pendidik dapat mengetahui kualitas pendidikan di berbagai negara dan membuat keputusan yang tepat untuk pendidikan di negaranya.

Ketika membahas hasil tersebut untuk perbaikan dan peningkatan kualitas pendidikan, banyak hal terkait akan terus dievaluasi.

Sebut saja perubahan kurikulum, kualifikasi guru, pemberhentian penerimaan guru honorer, kualitas bahan ajar, dan komponen lainnya. Di antara kompleksitas tersebut, terdapat satu hal yang kurang vokal disuarakan baik dalam forum maupun pada level kebijakan.

Ketika pada usia tersebut siswa cenderung berada pada jenjang SMP (meskipun terdapat juga siswa SMA terlibat dalam penilaian), satu hal yang menjadi akar dari pengetahuan yang dimiliki oleh siswa tersebut berasal dari pendidikan di jenjang SD.

Dalam berbagai kasus, terutama matematika, banyak permasalahan yang dimiliki oleh siswa SMP berasal dari kebijakan pendidikan di SD.

Dari setiap hambatan belajar yang dialami, yang paling umum adalah ketidakmampuan siswa dalam menjustifikasi apa yang dia ketahui, terutama pada konsep fundamental yang sebagian besar mereka pelajari ketika berada pada jenjang SD.

Kemudian pertanyaan yang muncul adalah, apa yang menjadi penyebab kurangnya kedalaman pengetahuan yang dimiliki siswa SMP tersebut. Apakah itu dari sisi kurikulum, atau aspek lain seperti, kualitas pengetahuan yang dimiliki guru sebagai fasilitator?

Pada jenjang SD, satu guru bertanggung jawab mengajar mata pelajaran kepada siswa. Saat ditanyakan tentang mengapa guru mengajar setiap mata pelajaran di SD (guru kelas) namun di SMP ke atas gurunya terpisah untuk setiap mata pelajaran?

Maka kebanyakan alasannya adalah bahwa pendidikan di sekolah dasar lebih mengutamakan fondasi atau dasar dari pengetahuan. Sedangkan pada pendidikan menengah pelajaran yang diberikan lebih terspesialisasi.

Dalam pengertian guru sekolah dasar di Indonesia, guru bertanggung jawab dalam mengajar siswa-siswa di tingkat pendidikan dasar (SD/MI) dalam berbagai mata pelajaran seperti Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, IPA, IPS, dan lain-lain.

Karenanya, guru harus memiliki kualifikasi pendidikan dan keterampilan dalam mengajar anak-anak pada tingkat usia ini. Namun, pada mata pelajaran tambahan seperti seni, bahasa lokal, dan juga bahasa inggris, diperbolehkan menggunakan guru mata pelajaran.

Faktanya, beberapa negara dengan pendidikan yang dianggap maju pun menggunakan sistem yang serupa. Bahkan negara dengan peringkat PISA yang tinggi seperti Finlandia dan Jepang.

Di Finlandia merupakan hal yang lumrah bagi siswa sekolah dasar untuk memiliki guru yang sama, tidak hanya selama satu tahun, namun hingga enam tahun berturut-turut.

Poinnya adalah alih-alih hanya mengkhususkan diri pada mata pelajarannya, guru juga bisa mengkhususkan diri pada siswanya.

Guru berperan selain menjadi fasilitator juga menjadi mentor psikologis bagi perkembangan siswa. guru sekolah dasar memiliki peran penting dalam membentuk karakter, mengembangkan potensi, dan membimbing siswa dalam meraih prestasi yang lebih baik. Peran tersebut telah tergambarkan dalam kompetensi pedagogik guru.

Dalam kualifikasi dan pendidikan profesi yang dilaksanakan sebagai bentuk peningkatan kualitas guru, aspek tersebut diperhatikan dan menjadi salah satu kompetensi yang niscaya.

Sangat naif ketika semua pembahasan organisasi siswa dan kelas tersebut telah menjadi perhatian lebih, namun mengesampingkan apa yang menjadi aktivitas utama yang dilakukan di kelas, yaitu difusi dan akuisisi pengetahuan.

Ketika mata pelajaran SD dianggap hanya pengetahuan dasar yang dapat diajarkan secara sederhana dan tidak mempertimbangkan kondisi awal dan kemungkinan seberapa jauh siswa akan berkembang.

Contoh pendekatan kasus dalam kondisi tersebut disampaikan oleh salah satu siswa di SMP. Suatu hari guru matematika di kelas 7 sedang libur, sehingga guru bahasa Inggris diminta untuk menggantikannya sementara.

Karena fokusnya tidak berhubungan dengan matematika, jadi ketika ditanya beberapa pertanyaan yang lebih spesifik, pengetahuan yang dimiliki guru bahasa Inggris membuatnya tidak bisa menjawab.

Ketika guru matematika ditanyai pertanyaan yang sama, dia tahu bagaimana menjawabnya dan bahkan menjelaskan lebih jauh.

Kasus tersebut dapat menjadi skenario yang sama ketika siswa SD akan bertanya jenis pertanyaan yang mendalam tentang konsep matematika, seketika mungkin mereka mempelajarinya secara mandiri dari sumber yang berbeda sebelumnya.

Ketika guru kelas tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk membawa siswa dengan potensi lebih, atau bahkan tidak cukup dalam membawa kelas kepada keterampilan yang dibutuhkan untuk mencapai pengetahuan yang kokoh kepada siswa, maka jelas ke depannya akan menjadi masalah besar bagi masa depan pendidikan di negara.

Hal tersebut yang sedang terjadi di Indonesia, dan perlu segera dikaji dan diambil tindakan.

Beberapa pertimbangan diambil oleh negara maju sebelum menggunakan guru kelas pada pendidikan dasar, seperti kualitas guru dan yang utama adalah rasio terhadap banyaknya siswa.

Hal tersebut yang saat ini masih terlewat dalam pelaksanaan pembelajaran SD di Indonesia. Meskipun guru adalah pelaksana dan yang merancang materi kurikulum adalah institusi yang berbeda, kondisi respon siswa tidak dapat terprediksi.

Satu siswa bisa saja memiliki hambatan belajar yang lebih banyak dari rekan lainnya dan memerlukan antisipasi khusus. Atau, siswa berada pada tingkat kritis yang tinggi yang kemudian menjadi tanggung jawab guru untuk setidaknya memiliki pengetahuan yang memfasilitasi rasa penasaran siswa tersebut.

Selain itu, rerata rasio banyaknya siswa untuk ditangani oleh satu guru juga belum mencapai porsi ideal jika dibandingkan dengan negara lain yang menggunakan sistem serupa.

Guru kelas bisa jadi lebih positif karena setiap anak mempunyai potensi. Untuk mengenali setiap siswa sebagai individu perlu perhatian yang berbeda. Beberapa siswa mungkin telah terlihat bercahaya, dan sebagian lain adalah permata yang masih tersimpan.

Namun, dengan kondisi yang dimiliki sekarang, salah satu solusi yang dapat dipertimbangkan pembimbingan siswa secara individu tetap dapat dilakukan oleh wali kelas yang sepanjang waktu berada di kelas, didampingi dengan guru mata pelajaran yang memiliki fokus pada bidangnya masing-masing.

Secara pribadi, wali kelas dapat memahami lebih dalam tentang potensi dan kelemahan siswa. Sementara itu, guru mata pelajaran memiliki lebih banyak kesempatan untuk menyesuaikan dukungan pengajaran dan emosional mereka untuk membantu semua siswa di kelas mencapai potensi mereka.

Pengetahuan yang dicapai akan lebih kokoh bersamaan dengan perkembangan aspek lain yang diperlukan oleh siswa dalam prosesnya menuju jenjang yang lebih tinggi.

Beban guru akan lebih terfokus, dan dengan banyaknya lulusan dari bidang pendidikan, lebih banyak guru juga akan lebih terserap dalam profesi yang sesuai dengan keahliannya. (**)

*) SANI SAHARA adalah Mahasiswa Doktoral Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

Iman NR

SELENGKAPNYA
Back to top button