Opini

RSUD Labuan Mangkrak, Uang Rakyat Pun Ambyar

Pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Labuan merupakan proyek yang kompleks dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mulai beroperasi. Rumah sakit yang dibangun oleh Pemprov Banten di Pandeglang, belum juga bisa dioperasikan.

OLEH: EKO SUPRIATNO *)

Diketahui, untuk proses pembangunan gedung RSUD tersebut sudah rampung, namun saat ini belum bisa dimanfaatkan oleh masyarakat Pandeglang.

Keterlambatan pengoperasian RSUD Labuan tersebut tentunya dapat menimbulkan pertanyaan dan spekulasi dari masyarakat.

Desas-desus mulai terdengar ketika pondasi pertama kali diletakkan. Sebuah rumah sakit baru, megah, dan modern, dijanjikan akan menjadi solusi bagi masalah kesehatan masyarakat.

Anggaran digelontorkan, tentu saja, uang rakyat yang diharapkan kembali dalam bentuk layanan kesehatan yang prima. Papan pengumuman terpampang gagah, memamerkan gambar megah sang rumah sakit beserta target penyelesaian yang ambisius.

Bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Bangunan itu memang telah berdiri, namun tak secepat janji yang tertera. Janji manis di awal kini terasa pahit, menggantung di bening cuaca yang berdebu.

Rumah sakit yang digadang-gadang menjadi solusi, kini menjelma monumen besi dan beton, bisu tak berdaya. Sebuah monumen yang berdiri kokoh, bukan untuk melayani, melainkan untuk mengingatkan. Mengingatkan akan janji-janji yang terlupakan, akan anggaran yang menguap, akan uang rakyat yang ambyar.

Di balik tembok-temboknya yang belum rampung, tersimpan cerita pilu tentang harapan yang pupus. Cerita tentang seorang ibu yang terpaksa melahirkan di perjalanan karena rumah sakit terdekat terlalu jauh, cerita tentang seorang anak yang meregang nyawa karena terlambat mendapat pertolongan.

Rumah sakit mangkrak itu, kini menjadi simbol ironi. Simbol dari ambisi yang tak tercapai, dari pengelolaan yang buruk, dari kepedulian yang sirna. Ia berdiri sebagai pengingat, bahwa di balik gemerlap pembangunan, terkadang tersembunyi luka yang menganga, luka yang bernama ‘korupsi’.

Tanpa Pelayanan Kesehatan

Angin laut berhembus pelan di pesisir Labuan, namun tak mampu meniup awan suram yang menyelimuti harapan warga akan beroperasinya RSUD baru. Gedung megah itu berdiri kokoh, namun hampa tanpa denyut nadi pelayanan kesehatan. Di balik tembok-temboknya, tersembunyi jejak korupsi yang menggerogoti mimpi masyarakat akan akses kesehatan yang layak.

Bau tak sedap mulai tercium sejak awal pembangunan. Tender proyek yang terkesan dipaksakan, dimenangkan oleh kontraktor dengan rekam jejak dipertanyakan. Harga-harga melambung tak wajar, indikasi penggelembungan dana mulai terendus.

Material bangunan yang digunakan pun jauh dari kata kualitas, menimbulkan tanda tanya besar akan komitmen membangun rumah sakit yang aman dan nyaman.

Deadline pembangunan berlalu, namun RSUD baru tak kunjung beroperasi. Alasan klasik seperti kendala teknis dan administrasi menjadi senjata menutupi borok korupsi. Sementara itu, warga terpaksa menelan pil pahit, berobat dengan fasilitas terbatas dan menempuh jarak jauh ke rumah sakit di kota lain.

Suara-suara kritis mulai bermunculan. Akademisi, LSM dan aktivis turun tangan, menuntut transparansi dan audit investigatif. Media massa menyorot tajam, mengungkap kejanggalan demi kejanggalan. Tekanan public dan penyelidikan akhirnya membuka tabir kegelapan.

Jejak korupsi mengarah pada jaringan yang sistematis. Oknum pejabat, politisi, dan pengusaha berkolusi, menggelapkan dana pembangunan demi keuntungan pribadi. Uang rakyat yang seharusnya menjadi obat bagi yang sakit, justru berubah menjadi racun yang melumpuhkan harapan.

Kisah pilu RSUD Labuan menjadi cermin buruk ‘makna sebuah pembangunan’ di Indonesia. Dibutuhkan komitmen kuat dari semua pihak, mulai dari pemerintah, penegak hukum, hingga masyarakat untuk bersama-sama memberantas korupsi. Hanya dengan cara itu, mimpi masyarakat akan akses kesehatan yang layak dapat terwujud.

Benih Korupsi

Menurut penulis perencanaan yang matang dan transparan adalah fondasi penting dalam membangun pemerintahan yang bersih dan akuntabel.

Sebaliknya, perencanaan yang kurang matang justru menjadi celah bagi tumbuhnya korupsi. Bagaimana bisa? Mari kita telaah lebih dalam.

Pertama, Membuka peluang terjadinya manipulasi, data dan informasi tidak akurat, perencanaan yang tidak didasari data yang valid dan analisis yang mendalam akan menghasilkan program yang tidak tepat sasaran.

Hal ini membuka peluang manipulasi data untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Kedua, Indikator keberhasilan samar-samar, tanpa indikator yang jelas dan terukur, sulit untuk menilai efektivitas program dan mengukur pencapaiannya. Ini memberikan ruang bagi penyimpangan anggaran karena tidak ada standar evaluasi yang objektif.

Ketiga, Proses penganggaran rawan intervensi. Alokasi anggaran tidak transparan, kurangnya transparansi dalam proses penganggaran membuka peluang bagi pihak-pihak tertentu untuk memasukkan proyek-proyek fiktif atau menggelembungkan anggaran demi keuntungan pribadi.

Keempat, Lemahnya pengawasan, perencanaan yang tidak matang seringkali tidak diiringi dengan mekanisme pengawasan yang ketat. hal ini memudahkan terjadinya penyelewengan anggaran selama pelaksanaan program.

Kelima, Implementasi program berpotensi bermasalah. Program tidak tepat sasaran, perencanaan yang buruk berpotensi menghasilkan program yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Akibatnya, dana yang digelontorkan tidak berdampak signifikan dan rentan disalahgunakan.

Rendahnya akuntabilitas: tanpa perencanaan yang jelas dan terukur, sulit untuk meminta pertanggungjawaban dari para pelaksana program.

Perencanaan yang kurang matang bukan hanya mengakibatkan program pembangunan tidak efektif, tetapi juga menjadi benih subur bagi tumbuhnya korupsi.

Oleh karena itu, penting untuk memastikan proses perencanaan pembangunan dilakukan secara transparan, partisipatif, dan akuntabel guna mencegah terjadinya korupsi dan mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik.

Tadarus Sosial beberapa tahun lalu (17/09/2023) menyelenggarakan kegiatan diskusi Seputar Kota Labuan bertempat di Ruang Kolaborasi Kota Labuan. Diskusi yang bertemakan “Mewaspadai Dampak Amdal RSUD Labuan”.

Asbabun nuzul diskusi, karena ada sebuah keyakinan bahwa Pembangunan RSUD Labuan diduga bermasalah sejak awal, bahkan para aktivis Labuan berencana melaporkan ke KPK.

Mulai dari persoalan Amdal yang tak jelas, terkait pembayaran upah tukang oleh PT. Himindo citra mandiri selaku pelaksana atau pun vendor sipil yang tak jelas, persoalan Harian Ongkos Kerja (HOK) yang diterima oleh pekerja diduga adanya unsur pemotongan HOK yang tidak sesuai dengan RAB, hingga soal aturan-aturan yang dilanggar yaitu Undang Undang nomor 2 Tahun 2017 tentang jasa kontruksi.

Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan serta perpres Nomor 12 Tahun 2021tentang perubahan atas Perpres nomor 16 tahun 2018 UU No. 14 Tentang Keterbukaan Informasi Publik, dan bahkan juga selain UU KIP, ada beberapa aturan lain yang mempertegas tentang transparansi pelaksanaan program pemerintah.

Seperti Peraturan Presiden (Perpres) nomor 70 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Perpres nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung.

Alasan Keterlambatan

Setidaknya ada 7 alasan terkait keterlambatan pengoperasian RSUD baru:

Pertama, Perencanaan yang kurang matang. Perencanaan yang terburu-buru atau kurang komprehensif dapat menyebabkan masalah di kemudian hari, seperti kekurangan anggaran, desain yang tidak sesuai, atau perizinan yang terhambat.

Kedua, Kendala anggaran. Pembangunan RSUD membutuhkan anggaran yang sangat besar. Keterbatasan anggaran atau pencairan dana yang tidak lancar dapat menghambat proses pembangunan dan pengadaan alat kesehatan.

Ketiga, Permasalahan lahan. Sengketa lahan atau kesulitan dalam pembebasan lahan dapat menunda dimulainya konstruksi.

Keempat, Perizinan yang Rumit. Proses perizinan untuk membangun dan mengoperasikan RSUD cukup kompleks dan memakan waktu.

Kelima, Ketersediaan tenaga kerja. Mencari tenaga medis dan non-medis yang berkualitas dan berpengalaman untuk RSUD baru bisa menjadi tantangan tersendiri.

Keenam, Pengadaan alat kesehatan. Proses pengadaan alat kesehatan yang canggih dan sesuai standar membutuhkan waktu dan proses yang panjang. Dan Ketujuh, Faktor Politik. Pergantian kepemimpinan atau kebijakan politik dapat mempengaruhi prioritas pembangunan, termasuk RSUD.

Dampak dan Rekomendasi

Keterlambatan pengoperasian RSUD baru menurut penulis akan berdampak negatif:

Pertama, Pelayanan kesehatan terhambat. Masyarakat harus menunggu lebih lama untuk mendapatkan akses layanan kesehatan yang memadai.

Kedua, Pemborosan anggaran. Penundaan dapat menyebabkan pembengkakan biaya dan pemborosan anggaran.

Ketiga, Kekecewaan publik. Keterlambatan dapat menimbulkan kekecewaan dan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah.

Untuk mencegah keterlambatan, penting untuk:

Pertama, Melakukan perencanaan yang matang. Melibatkan semua pemangku kepentingan dalam proses perencanaan untuk memastikan kelancaran proyek.

Kedua, Menjamin ketersediaan anggaran. Mengalokasikan anggaran yang cukup dan memastikan pencairan dana yang tepat waktu.

Ketiga, Mempermudah perizinan. Mempermudah dan mempercepat proses perizinan untuk pembangunan dan pengoperasian RSUD.

Keempat, Mempersiapkan Tenaga Kerja. Menyiapkan program pelatihan dan pengembangan untuk tenaga medis dan non-medis.

Keterlambatan pengoperasian RSUD baru merupakan masalah kompleks yang disebabkan oleh berbagai faktor. Diperlukan upaya bersama dari pemerintah, pihak terkait, dan masyarakat untuk mengatasi masalah ini dan memastikan masyarakat mendapatkan akses layanan kesehatan yang berkualitas.

Namun, cerita ini bukanlah penutup, melainkan sebuah ajakan. Ajakan untuk menuntut pertanggungjawaban, menagih janji, dan memastikan bahwa “Rumah Sakit Mangkrak, Uang Rakyat Ambyar” tidak lagi terulang.

Masyarakat berhak atas fasilitas kesehatan yang layak. Sudah saatnya kita, bersama-sama, menyuarakan aspirasi dan mengawasi jalannya pemerintahan. Jangan biarkan uang rakyat amblas tanpa kejelasan.

Transparansi dan akuntabilitas harus ditegakkan di setiap lini pengelolaan RSUD Labuan. Hanya dengan begitu, cita-cita untuk mewujudkan layanan kesehatan yang berkualitas, terjangkau, dan berkeadilan bagi seluruh masyarakat dapat terwujud. Mari kita kawal bersama, agar RSUD Labuan dapat kembali menjadi oase kesehatan bagi masyarakat. (**)

*) EKO SUPRIATNO adalah Warga Labuan, Dosen Fakultas Hukum dan Sosial Universitas Mathla’ul Anwar Banten. Pembina Future Leader for Anti-Corruption (FLAC) Banten.

Iman NR

Back to top button