Ikhsan AhmadPublik

Peek a Boo, Hayo Ketahuan Jual Diri

Peek a Boo, hayo ketahuan jual diri. Ciluk Ba, lagi jual diri ya? Gak usah malu, apalagi merasa berbuat maksiat. Selamat.

OLEH: IKHSAN AKHMAD *)

Kegenitan diri berhasil bermetamorfosa dengan lingkungan dan budaya politik logistik. Kini siapapun gentar untuk mencibir. Semua palu gada yang dulu keras menghantam wajah yang dianggap buruk rupa, kini berubah menjadi agar-agar yang lembek dengan gula buatan yang bisa merusak gigi dalam jangka panjang.

Genit politik adalah berkah, membutuhkan kepiawaian memadukan syahwat yang sama dengan kegenitan elit, memerlukan keahlian membalur wajah dengan kosmetika verbal agar tatapan mata yang memerah karena lapar bisa sabar, memberikan daftar menu tarian visioner supaya irama ketergantungan dapat menyadarkan siapapun, siapa yang berhak untuk genit. Tunggu giliran untuk bisa dilirik dan digilir.

Kegenitan politik memerlukan panggung. Luas dan lebarnya terbatas. Koreografinya mesti pas, tidak membuat tarian jadi monoton, apalagi membuat si penari jatuh dari panggung.

Memastikan sang lenggak lenggok di atas panggung diiringi pemain musik yang tahu betul lagu yang harus dimainkan. Tidak jadi soal, dimana panggung itu didirikan, apakah diatas sawah petani, ditengah pabrik atau diatas lumpur yang menghisap. Pokoknya di atas panggung mesti bersih, tidak boleh ada seekor lalatpun.

“Sexy” akan menjadi pusat perhatian. Ada syarat dan ketentuan yang berlaku. Tidak murah biayanya. Apa saja yang bisa digadaikan, gadailah. Apa saja yang bisa ditukar untuk bisa membeli “lipstick”, atur sajalah.

Memuliakan ide, gagasan, idealisme dan masyarakat adalah “foto pemanis” diruang terbuka sebagai tontonan berbayar perasaan dengan metode mouth to mouth. Penontonnya dibatasi, orang-orang yang punya tiket hiburan untuk ditukarkan kembali dengan tiket ke panggung hiburan yang lebih besar dan dramatis, tak sebanding dengan “Amfiteater” berbentuk oval pada masa kejayaan Romawi.

Peek a Boo, hayo ketahuan jual diri. Ciluk Ba, lagi jual diri ya? Kenapa tidak dari awal straight to girlis karena di negara tetangga genit menjadi salah satu aspek beragama. Sarana ibadah yang dihormati dalam menggeluti kehidupan, oleh karena itu genit adalah pilihan, bukan kepura-puraan.

Di sini letak bedanya. Membangun visi genit politik dengan tapak yang jelas, meninggalkan jejak romantisme konflik persetubuhan yang memuaskan dahaga “seksualitas politik” dan kepentingan membangun vitalitas orang dewasa memahami kegenitan sistem demokrasi.

Genit secara politik tidak boleh berpenyakit rabun jauh. Merasa dekat ketika melihat kepentingan sendiri dan merasa jauh ketika melihat dampak dari bersolek di ruang gelap karena kepentingan selalu akan terkait dan terikat pada entitas pribadi dan kelompok bukan pada rasa dan ikatan kepada masyarakat.

Kemana akan melenggok setelah ini? Hitung saja seberapa luas dan lebar panggung di 2024 dapat menampung tarian genit politik. (**)

*) Penulis adalah Pengamat Kebijakan Publik dan Dosen FISIP Untirta.

Ikhsan Ahmad

SELENGKAPNYA
Back to top button