Ikhsan AhmadPemerintahan

Sekretaris Daerah (Sekda) di Kerajaan Mataram

Keberadaan Sekretaris Daerah (Sekda) bertanggungjawab untuk melepas beban feodalisme dalam birokrasi sebagai prasyarat mutlak membangun landasan reformasi birokrasi.

Namun perannya lemah, karena seringkali Sekda menjadi simbol dari feodalisme modern. Terseok-seok membaca ritme budaya dan politik lokal. Terpolarisasi oleh kepentingan individu, kelompok dan kuasi grup.

Oleh: IKHSAN AHMAD *)

Akibatnya, reformasi birokrasi menjadi permainan kata-kata untuk menutupi loyalitas feodalistik yang dipersembahkan kepada siapapun yang bisa mendorong birokrat naik jabatan.

Proyek-proyek berbasis anggaran negara yang seharusnya ditujukan sepenuhnya untuk kesejahteraan masyarakat menjadi alat tukar untuk menjaga keseimbangan dan stabilitas birokrasi.

Diperuntukkan kepada tatanan yang dapat menentukan adanya korupsi atau tidak, tatanan yang dapat mewarnai hitam atau putihnya hukum, penguasa terpilih yang dapat mencopot dan memindahkan ASN, pengusaha atau pemodal politik yang telah membiayai penguasa terpilih dan tatanan atas dalam birokrasi. Nama proyeknya adalah BIN.

Disisi lain, keberhasilan pembangunan yang berkorelasi dengan berkurangnya orang miskin, berkurangnya pengangguran, meningkat atau tidaknya ekonomi masyarakat bawah dan lain sebagainya hanya menjadi persoalan statistik dengan berbagai mantera lainnya, seperti WTP.

Surat dari seorang sahabat menceritakan, keberadaan dan karakter asli kaum birokrat sebelum Indonesia ada, sudah ada. Konon, karakter asli birokrat saat ini secara mendasar masih bertumpu pada nilai-nilai aslinya.

Di antaranya, tertulis dalam Kitab Manawa, pada masa Kerajaan Mataram, birokrat yang sekarang dikenal dengan sebutan ASN (aparatur sipil negara) saat itu dikenal dengan nama Nayaka.

Nayaka menjadi pilar utama birokrasi kerajaan bersama Sentana, yakni kerabat atau orang yang dikehendaki oleh Raja.

Baik Nayaka maupun Sentana tentu saja diisi dari pertukaran masing-masing kelompok dengan berbagai motivasi, tetapi yang pasti faktor loyalitas, patuh, mau bekerja keras agar memberikan keuntungan untuk sang Tuan, tunduk dan menyenangkan Tuan (asal bapak senang) menjadi ukuran utama.

Kepangkatan, senioritas, pengaruh dan pemimpin dari golongan Nayaka ditentukan dari luas tanah yang dimiliki dan ditambah luas tanah pemberian Raja atas pengabdiannya.

Pimpinan Nayaka disebut patuh (sekarang disebut sebagai Sekretaris Daerah atau Sekda) adalah pemegang hak lungguh atau lahan paling luas.

Patuh mengangkat seseorang yang disebut bekel untuk mengangkat dan mengawasi buruh-buruh penggarap yang disebut sikep untuk menggarap seluruh lahan milik Patuh. Sikep dibantu oleh batur atau bujang, yakni pekerja kasar dan hanya diberi makan, tidak lebih.

Paling bawah dari tatanan ini adalah masyarakat jelata, miskin dan berebut untuk dapat masuk dalam tatanan struktur masyarakat tersebut sebagai batur atau bujang.

Tatanan golongan Nayaka berlangsung dengan menerapkan beban pungutan pajak pada setiap lapisan dalam tatanan dengan sistem yang saling menghisap.

Pimpinan Nayaka, yakni patuh membebankan setidaknya ada empat jenis pajak yang wajib dibayarkan oleh seorang bekel. Kemudian bekel membebankan pajaknya kepada sikep.

Ketidakpatuhan atau ketidakmampuan sikep menyediakan upeti pajak bagi tatanan di atasnya, menjadi pintu masuk bagi rakyat jelata miskin lainnya untuk menduduki posisi sikep.

Menjadi orang yang teraniaya dalam sistem ini lebih terhormat statusnya dari pada menjadi rakyat jelata.

Setiap tingkatan dan tatanan dari struktur yang terbangun, terutama di level bawah tidak pernah termotivasi memunculkan solidaritas untuk memberontak atau protes atas ketidakadilan yang terjadi.

Semua sibuk mempertahankan posisinya atau menjilat untuk naik ke tatanan lebih atas, berapapun ongkos atau resiko yang mesti diambil, karena terlempar dari tatanan ini akan menjadi gelandangan yang hanya bisa mengemis atau mengais makanan di tempat sampah (rakyat jelata).

Petani penggarap atau sikep menjadi tulang punggung yang menanggung semua kemewahan feodalisme dan kemakmurkan tatanan di atasnya.

Bisa dipastikan, tatanan paling atas adalah pejabat-pejabat dengan kekayaan yang terus meningkat, begitu pula sebaliknya, semakin ke bawah akan semakin miskin dan menderita. (***)

*) Penulis adalah Pengamat Kebijakan Publik yang sehari-hari Dosen FISIP Untirta.

Ikhsan Ahmad

SELENGKAPNYA
Back to top button