Publik

Pabrikasi Pemimpin dan Kepemimpinan

Ada yang percaya bahwa pemimpin (leader) adalah bakat khusus yang diberikan Tuhan kepada seseorang, namun ada pula yang meyakini bahwa pemimpin adalah seseorang yang bisa “dicetak” melalui pelatihan dan kaderisasi serta proses empiris yang panjang.

OLEH: DR NANA SUPIANA *)

Terlepas dari hal tersebut, seseorang bisa jadi merasa dirinya pantas menjadi pemimpin melalui jenjang karir panjang yang ia telah tempuh.

Pertanyaannya apakah seorang pejabat publik bisa dikatakan sebagai seorang pemimpin? Akan ada debat panjang terkait masalah ini.

Apalagi kalau perdebatan ini kita korelasikan dengan pertanyaan apakah setiap pemimpin memiliki kekuasaan?

Salah satu futurolog terkenal, Alvin Toffler menyatakan bahwa kekuasaan dalam sejarahnya selalu di raih melalui : senjata, kekerasan, uang dan ilmu pengetahuan?

Silahkan perdebatkan untuk mengukur setiap indikator kepemimpinan pada keberhasilan, kegagalan dan manipulasinya. Ruang narasi ini terlalu sempit dan terbatas untuk mengulasnya karena ada hal penting yang ingin lebih ditonjolkan dari wacana ini.

Ada tiga definisi dan persepsi yang akan berbeda namun integrated, yakni pemimpin, kekuasaan dan pejabat publik.

Parsialitas di antara ketiganya dan korelasi positif signifikan ketiganya nampak dalam karakter dan budaya yang terbentuk. Persoalannya pada sisi apa dan dimana kita akan merujuk perpektifnya.

Kepemimpinan adalah adalah orientasi dan nilai yang dapat melewati batas-batas geografis dan zaman. Di sini lah diktum awam yang menyatakan pemimpin ada masanya dan setiap masa ada zamannya, salah besar dan tidak aktual.

Kepemimpinan orang-orang pertama yang mendahului setiap leader ideologi besar kontemporer, dimana mereka langsung mendapat SK dari Tuhan, yakni para Nabi dan Rasul adalah nilai-nilai unggul yang tidak pernah bisa digantikan oleh setiap perubahan zaman dan perubahan masa.

Jasad, ruh dan ajaran dan teladannya menjadi cermin dan nilai yang digali oleh siapapun yang ingin memimpin. hidup dan tetap abadi.

Pada lapisan kedua, para pemimpin yang berkuasa dengan dasar nilai moral kemanusiaan yang tinggi, mempersembahkan jabatannya sebagai bagian dari amanah sifat-sifat Tuhan, tidak pernah tergantikan hingga saat ini kendati jasadnya telah mati.

Namun keteladanan dan semangatnya menjadi warisan setiap zaman, masa dan peradaban yang berganti-ganti.

Ia menjadi simbol kejayaan, dirindukan untuk kembali “hidup”, dijadikan nama bagi setiap anak yang baru dilahirkan.

Sebaliknya, pada lapisan ketiga, para pemimpin yang lahir dari recycle berbagai “sampah” pemikiran absolutis atas peran penting dirinya tanpa tolak ukur kontekstual masyarakat dan etika perubahannya maka akan dipandang berdasarkan jabatannya dan akan hidup selama periodesasi SK yang berlaku, setelah itu “mati” dibunuh dalam pikiran dan sejarah.

Bisa jadi tidak semua pemimpin dilapisan ketiga “terbunuh” dalam pikiran generasi berikutnya, namun bisa dipastikan “bingkai” kebenaran logika umumnya kemungkinan besar begitu.

Pemilu, Pilkada, Pilrek, Pilkades, pemilihan para pemimpin mahasiswa di intra dan ekstra, pemilihan kampus, pemilihan ketua ormas, rekruitmen berbagai pemimpin lembaga publik, berpeluang besar menjadi industri “daur ulang” pemimpin yang bergerak pada kepentingan menjadikan simbol kepemimpinan yang digjaya menjadi potongan-potongan jabatan agar bisa menghidupi “kenangan” keluarga namun mati mengenaskan dalam pikiran sejarah dan kemanusiaan. (**)

*) Penulis adalah Ketua Paguyubun Provinsi Banten.

Iman NR

SELENGKAPNYA
Back to top button