Opini

Stabilitas Politik Pasca Pilpers dan Isu Curang

Pasca pilpres, Indonesia membutuhkan kembali stabilitas politik yang kuat. Isu curang dari pemilu ke pemilu nyaris meluluhlantakkan stabilitas politik persatuan dan kesatuan Bangsa. Suatu fundamental kondisi interaksi yang dinamis dan harmonis berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila.

OLEH: ANDIKA HAZRUMY *)

Isu curang dalam pemilu seringkali menjadi “gelembung” konflik atas ketidakpuasan kelompok dari calon presiden yang kalah sehingga menjadi komoditas perlawanan politik.

Menjadikan jalan ekstra parlementer sebagai suatu bargaining membangun isu yang ditujukan untuk “membakar” perlawanan masyarakat. Pada level bawah masyarakat, seringkali konflik ini membekas.

Membayang dalam keseharian mereka bahwa Presiden terpilih yang tidak mereka pilih adalah pemimpin yang curang, culas dan tidak mereka harapkan. Tetapi apa yang terjadi pada tingkat elit politik?

Kemungkinan besar elit-elit politik yang bertarung akan “berdamai” dalam beberapa hari mendatang.

Bahkan bisa jadi elit-elit politik yang tadinya saling berhadapan, menjadi kawan satu koalisi dalam pilpres mendatang. Saat ini pihak yang mengatakan curang, bisa jadi pada pilpres 2029 menjadi kawan, dan kawan koalisi yang sekarang terjalin akan menjadi lawan yang menuduh curang.

Sadar atau tidak sadar, isu kecurangan pemilu telah menjadi bagian dari sistem pemilu yang dipelihara untuk “membangun konfigurasi kekuasaan” pada lapisan elit politik tertentu.

Betapa tidak? Dari pilpres ke pilpres atau dari pemilu ke pemilu, sistem yang dibangun belum mampu mengantisipasi persoalan yang sama. Padahal dana yang dikucurkan tidak sedikit.

Ada asumsi kuat bahwa “celah” isu kecurangan adalah bagian dari upaya kontestan yang kalah untuk mendapatkan pengaruh dan pembenaran dari kelompok-kelompok militan pemilihnya bahwa ia tidak kalah jika tidak dicurangi.

Celah isu kecurangan bisa jadi juga digunakan sebagai alat “maklum” bagi investor politiknya agar tidak menjadi persoalan hutang yang serius. Celah kecurangan juga bisa dijadikan “api dalam sekam dendam” untuk memelihara militansi pendukungnya untuk kontestasi berikutnya.

Sementara itu isu curang bagi petahana adalah celah menunjukan kekuatan atas kekuasaan yang dipegangnya.

Hingga Rabu, 21 Februari kemarin data real count KPU sudah masuk suara sebesar 73.50% dari seluruh TPS yang ada. Indikasi pemenang dari pilpres inipun sudah kuat. Estafet kepemimpinan bangsa akan berlanjut.

Rakyat sudah menentukan sikap dan pilihannya. Mayoritas suara rakyat telah mempercayakan suaranya kepada calon presiden terpilih.

Kemenangan ini seharusnya dipahami sebagai kemenangan seluruh rakyat, karena Presiden dan Wakil Presiden terpilih akan memimpin seluruh rakyat, bukan hanya rakyat yang memilihnya saja.

Adanya perbedaan sikap dan tuduhan “curang” oleh kelompok-kelompok yang tidak puas terhadap perolehan suara calon yang diusung bukan kali ini saja terjadi.

Pada pemilu lalu, 2019, pihak yang kalah memperkarakan tuduhan kecurangan pemilu sampai ke Mahkamah Konstitusi. Artinya ketidakpuasan terhadap pemilupun sudah ada saluran hukumnya.

Saling menjaga dan mengoreksi diri pasca pilpres menjadi penting agar tidak kecolongan menjadi konflik yang menelan ongkos sosial yang tidak diinginkan.

Pemilu adalah agenda demokrasi lima tahunan. Simpan semua kemarahan, dendam dan ketidakpuasan menjadi daya kompetitif yang memiliki daya jual untuk kontestasi berikutnya.

Membangun perbaikan sistem pemilu dengan melibatkan masyarakat akan lebih terasa produktifitasnya dari pada menjadikan konflik pasca pemilu sebagai konflik periodik. (**)

*) ANDIKA HAZRUMY adalah akademisi sekaligus politisi muda yang pernah menjadi Wakil Gubernur Banten. Dan saat ini tengah bersiap kembali mengikuti kontestasi pada Pemilu 2024.

Iman NR

SELENGKAPNYA
Back to top button