OpiniSeni Budaya

Hasil Diskusi Sambil Ngopi Forum Seniman Banten

Oleh: Jazuli Abdillah *)

Diskusiin apa? Macam-macam, meski umumnya seputar masalah kesenian dan kebudayaan di Banten yang meniscayakan paradigma baru untuk memajukan kerja kebudayaan, semisal melek politik dan khazanah kekinian sehingga para seniman tidak tercerabut dari konteks sosial politik tempat mereka berkesenian dan berkebudayaan. Demikian ungkap pemantik diskusi santai itu, Jazuli Abdillah, seorang pengajar yang kebetulan aktivis dan staf khusus Gubernur Banten.

Diskusi sembari ngopi dan “ngudud” (merokok) itu dipandu Peri Sandi Huizche, seniman yang dikenal sebagai pegiat teater dari komunitas Laboratorium Banten Girang. Yah, bertempat di pelataran Padepokan Kupi Kota Serang, itu obrolan yang sedari sore itu berlanjut hingga malam, hingga sebagian peserta menambah pesanan kopi karena bertambah bahasan yang muncul begitu saja dengan sendirinya.

Mulanya diskusi itu dipatok untuk membahas masalah apakah perlu adanya Perda Kebudayaan Banten dan Institut Kesenian Banten, meski akhirnya membahas juga masalah soal kebijakan dan kondisi politik di Banten yang mau tak mau akan berimbas juga bagi kebudayaan. Sebagai pemantik diskusi, Jazuli Abdillah menyatakan, kalau bicara perda kebudayaan, tentu kita tidak boleh melupakan landasan filosofis dan data masalah yang berkembang, jangan sampai sebuah perda kebudayaan kehilangan konteksnya.

Diskusi tanggal 27 Juli 2018 ini bisa dibilang kelanjutan dari diskusi Forum Seniman Banten sebelumnya, yaitu pada 26 Mei 2018, juga di Padepokan Kupi yang ketika itu membincang pentingnya Strategi Kebudayaan dalam kerja-kerja kebudayaan di Banten, minimal pada tingkat pengelolaan dan kebijakan yang diambil, sehingga kerja-kerja kebudayaan punya capaian yang seyogyanya lebih baik karena didasarkan pada kecerdasan dan ketepatan, selain kerja kebudayaan juga merupakan kerja kreatif individualTak hanya itu saja, Jazuli Abdillah juga menyatakan bahwa kita tak boleh melupakan substansi kebudayaan itu sendiri, yaitu kapasitas kreatif dan inovatif. Sementara, sang pemandu diskusi, Peri Sandi, menekankan bahwa memang ada banyak soal dalam bidang kebudayaan di Banten yang perlu dibincangkan bersama untuk mendapatkan kemaslahatan bersama.

Tampak hadir dalam diskusi itu antara lain: penyair Sulaiman Djaya, penyair Irwan Sofwan yang juga kepala sekolah sebuah sekolah menengah pertama di Kota Serang, jurnalis Banten Raya TV Halimatus Sadiyah, para pegiat komunitas Banten Girang seperti Japra dan Irma Maulani, jurnalis dari Tangerang Aditya Warman, perwakilah GESBICA UIN SMH Banten, dan lainnya yang tak bisa disebutkan namanya satu persatu. Sedangkan di sela-sela sessi diskusi diisi pembacaan puisi demi membangun suasana santai.

Baca: Meninjau Colocation Server (Bukan) Untuk Banten Satu Data

Diskusi sembari ngopi yang dimulai sejak pukul 16.30 WIB hingga pukul 20.00 WIB itu juga menyepakati pentingnya pengawalan kebijakan politik yang sekiranya akan merugikan bagi kerja-kerja kebudayaan, serta turut memberikan kritik positif bagi lembaga-lembaga resmi yang terkait kebudayaan di Banten jika sekiranya belum bekerja secara maksimal, terutama terkait persoalan-persoalan riil, semisal penyelenggaraan kerja dan event kebudayaan di Banten.

Manusia Sebagai Poros

Berbicara tentang kebudayaan pertama-tama tentulah berbicara tentang manusia sebagai penghasil dan pencipta kebudayaan. Manusia menempati posisi yang sangat istimewa dalam konteks semesta, di mana Al-Quran menegaskannya sebagai ‘sebaik-baik makhluk’ (akhsan at-taqwin). Keistimewaan tersebut telah dijabarkan pula dalam banyak risalah para filsuf dan kaum ‘urafa, yang salah-satunya adalah karena kapasitasnya dalam berbahasa, sehingga manusia juga disebut sebagai Al-Hayawan Al-Nathiq (binatang yang memiliki kapasitas berbahasa) yang dengan bahasa itu manusia bisa mengembangkan, mendokumentasikan, dan menyebarkan pengetahuannya, yang dengan itu pula manusia sanggup mencipta kebudayaan. Atas dasar ini, ada dua yang penting dan utama ketika kita ingin berbicara ‘Kebudayaan dalam Perspektif Pembangunan Banten`, selain kerangka teoritik apa itu kebudayaan.

Bila diumpamakan secara sederhana, hubungan antara manusia dan budaya, adalah tak ubahnya hubungan antara produsen dan produknya, antara pabrik dan pabrikannya. Tanpa adanya produsen, yaitu manusia, takkan ada yang namanya budaya dan kebudayaan, karena budaya dan kebudayaan adalah produk dan karya, yang mana keberadaan produk karena mengadanya sang produsen kebudayaan itu sendiri, yaitu manusia. Nah, posisi manusia, kita, sebagai produsen kebudayaan ini tentu saja memerlukan infrastruktur penunjang dalam rangka mengayomi dan menaungi kerja-kerja kebudayaan kita.

Begitupun sudah saatnya Banten memiliki Institut Kesenian Banten (IKB) dalam rangka melahirkan sumber daya manusia-sumber daya manusia kebudayaan yang handal.

Bagaimana mungkin, contohnya, kita mengembangkan ekonomi kreatif berbasis kebudayaan, jika kita tidak mempersiapkan sumber daya manusia-sumber daya manusia kreatif, SDM kebudayaan, yang handal dan produktif? Dan bagaimana mungkin pula kita mencetak dan melahirkan SDM-SDM kreatif jika tidak ada infrastruktur untuk menyiapkannya? Karena itu kita hanya akan terus mengulang pembicaraan yang hanya sekedar menguap di udara jika tak ada upaya konkrit untuk membangun infrastruktur-infrastruktur kebudayaan bagi terciptanya ekonomi kreatif. Bagaimana mungkin kita berbicara tentang ‘Kebudayaan dalam Perspektif Pembangunan Banten’ bila anggaran untuk menyiapkan terciptanya daya cipta dan kreativitas di masyarakat selalu dalam kemasan minimal? Hanya menggugurkan kewajiban birokratis dan pelaporan?

Tentu, dalam kerangka cita-cita dan keinginan kita menyelaraskan kerja-kerja ‘kebudayaan’ yang sejalan dengan visi ekonomi dan pendapatan daerah, yang sejalan dengan kerangka ‘Kebudayaan dalam Perspektif Pembangunan Banten’ demi terciptanya ekonomi kreatif tersebut, para pengambil kebijakan, terutama pucuk pimpinan di Banten yang paling atas, mestilah berani mengambil keputusan untuk membangun infrastruktur-infrastruktur kebudayaan yang dengan demikian akan tercipta dan lahir-lahir sumber daya manusia-sumber daya manusia kebudayaan yang inovatif dan kreatif, bagi terciptanya ekonomi kreatif dan produktivitas dalam masyarakat. Dalam hal ini, Gubernur Banten dan Wakil Gubernur Banten, beserta para jajarannya, kita tunggu untuk merealisasikan visi tersebut jika kita memang sungguh-sungguh ingin menciptakan ekonomi kreatif berbasis kebudayaan, selain dalam rangka mengembangkan dan memajukan local genius kebudayaan Banten.

Apa Kebudayaan Itu?

Secara teoritik dan konseptual, ada banyak definisi dan pengertian kebudayaan, yang dengan beberapa definisi dan pengertian tersebut, setidak-tidaknya kita akan dapat mengidentifikasi segala produk dan jenis kebudayaan itu sendiri. Contoh definisi dan pengertian kebudayaan itu, misalnya, mengatakan kebudayaan merupakan suatu “proses” perkembangan yang sifatnya intelektual, estetis, dan bahkan spiritual. Sementara itu, secara etnografis dan antropologis, kebudayaan dapat dipahami sebagai pandangan hidup dari suatu masyarakat tertentu. Sedangkan yang lainnya mengatakan bahwa kebudayaan adalah juga karya dan praktik-praktik intelektual yang sifatnya literer dan artistik.

Meskipun demikian, kebudayaan itu sendiri bila kita memahaminya sebagai sebuah proses dan kreativitas, bisa menjadi berkembang, bertahan, atau hilang ketika berhadapan dengan situasi baru atau perkembangan jaman, semisal di jaman merebaknya budaya pop kita saat ini, di mana kemajuan tekhnologi dan percepatan ekonomi kapitalisme saat ini, sebagai contohnya, telah menggantikan dan menggusur praktik-praktik dan bahkan norma-norma yang pernah dianut dan dipercayai oleh masyarakat. Jika demikian, maka apa yang akan kita sebut kebudayaan sebenarnya juga tidak dapat dilepaskan sebagai medan atau arena pertarungan kreativitas dan perkembangan intelektual itu sendiri.

*) Jazuli Abdillah adalah Staf Khusus (Tenaga Ahli) Gubernur Banten.

Iman NR

SELENGKAPNYA
Back to top button