Seni Budaya

Ubrug Cilegon Milenial, Upaya Sesuaikan Teater Tradisional dengan Kekinian

Ubrug Cilegon Milenial merupakan upaya untuk menghindari teater tradisional Ubrug yang merupakan budaya lokal Banten dari kepunahan akibat perubahan zaman.

Roni yang biasa disebut Kang Roni, Pendiri Ubrug Cilegon Milenial mengatakan, perubahan itu tidak menghilangkan kekhasan teater tradisional Ubrug, hanya kemasan dan tampilannya menyesuaikan dengan generasi milenial.

“Kami tetap pake musik, lakon sebagai ciri khasnya. tetapi ide, gagasan dan pesan yang disampaikan serta isu-atau cerita yang dibawakan bersifat milenial. Tujuan kami agar ubrug ini bisa diterima dengan baik dikalangan masyarakat,” kata Kang Roni.

Ubrug Cilegon Milenial juga tidak hanya tampil saat adanya pamerana seni atau sejenisnya, tetapi bisa juga tampil diacara-acara pernikahan. Dan di ubrug Cilegon ini bisa request untuk cerita yang dibawakan. sehingga dapat menarik konsumen agar memakai jasa teater ubrug ini.

“Ketika ada orang yang memakai jasa kamo untuk acara pernikahan, cerita yang bakal dibawain bisa by request. jadi kalo mau dibawakan kisah perjalanan bertemunya calon suami dan calon istri itu bisa diceritakan sesuai request gitu.” ujarnya.

Kata Roni, dulu Ubrug hanya digemari di kalangan ibu-ibu dan bapak-bapak. tetapi untuk sekarang ini, Ubrug bisa digemari semua kalangan siapapun itu mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang yang sudah tua sekalipun.

Pertunjukan Ubrug dapat digunakan untuk memeriahkan berbagai acara. Contohnya Ubrug khusus hajatan yang cenderung dilakukan di Malam Gocekan. Malam Gocekan adalah malam sebelum akad pada esok hari.

Pada malam itu, kumpul berbagai tradisi di kampung seperti; ada yang main gaplek, ibu-ibu gotong-royong memasak, ada yang bagian dekorasi, dan ada yang menyiapkan sound system.

Pada malam Shohibul Hajat, acara Ubrug biasanya satu paket dengan pencak silat dan debus. Untuk penampilan awal yang dibuka oleh gembrung adalah silat, di pertengahan acara akan ada debus dan diakhiri dengan pertunjukan Ubrug.

“Jika untuk dinas dan event kapan pun mereka butuh, kami selalu siap. Kalau lebih asyik memang malam, karena memang kami pelaku Ubrug tidak semua personil menjadikan Ubrug sebagai aktivitas asli, ada yang memiliki kesibukannya sendiri-sendiri. Jadi, waktu terbaik dan lebih santai yaitu malam hari,” ungkap Kang Roni.

Ubrug di zaman dahulu dan sekarang memiliki beberapa perbedaan. Kesenian Ubrug dulu rata-rata pelakunya di usia yang sudah sangat matang, bisa dibilang banyak yang tua-tua, dan lebih berpengalaman karena terkadang mereka melakukan Ubrug tunggal.

Selain itu, terdapat pakem-pakem secara musikalitas jelas musiknya lebih tradisional tidak ada campuran modern, penampilannya benar-benar bodol, bahkan kostum dari atas sampai bawah sudah dikemas sedemikian rupa. Ubrug dulu menurut yang sering didengar oleh Kang Roni dari penjaga toko peralatan Ubrug, masih menggunakan kata-kata jorok atau frontal.

Sedangkan, Ubrug di zaman sekarang menyesuaikan era dan masa. Perbedaannya terdapat pada musikalitas yang kontemporer, kostum juga lebih sederhana, hanya modifikasi di bagian aksesoris dan properti saja yang dibuat cukup menarik dan lucu. Kemudian, tata rias juga disesuaikan dengan masa kekinian, serta ide dan gagasan lebih fleksibel.

Kang Roni sebagai pelaku Ubrug milenial mengatakan, “Kami membutuhkan panggung yang luas untuk implementasi observasi gerak di atas panggung dengan komedi kata. Sehingga, bukan hanya dinikmati lelucon saja, namun gerakannya juga turut mengundang tawa.”

Sama dengan daerah lain, Cilegon menjadikan Ubrug sebagai kesenian di daerahnya. Perbedaan Ubrug dengan kesenian lainnya adalah dari segi bahasa yang digunakan yaitu bebasan, memiliki dua kemasan yaitu kontemporer dan tardisional, serta pelaku Ubrug didominasi anak-anak kecil karena kami adalah Ubrug Bocah Alit.

Kang Roni membentuk Ubrug Bocah Alit karena terinspirasi dari Bocah Lenong. “Tujuan dibentuknya Ubrug Bocah Alit di Cilegon karena suatu hari saya menjumpai anak kecil yang masih SD pandai bermain musik, dan banyak anak kecil di padepokan pencak silat yang jago dalam pencak silat. Akhirnya, saya mengajak anak-anak untuk main Ubrug, ternyata anak-anak sangat antusias, masyarakat juga senang dengan adanya penampilan Ubrug Bocah Alit,” tuturnya.

Tujuan lain dibentuknya Ubrug Bocah Alit juga agar anak-anak di usia dan di tahap proses belajar, dapat mempelajari dan melestarikan budayanya sendiri. (*)

Berita ini dibuat oleh Kelompok 4 Kelas 4E Ikom Fisip Untirta beranggotakan Raihany Nur Zahra, Afina Rizqi Prianto, Azahra Magdataura Bani Agung, Siti Fatihah Ashari, Nelis Novitasari.

Iman NR

SELENGKAPNYA
Back to top button