Childfree Jadi Fenomena di Kalangan Gen Z, Apa Dampaknya?
Fenomena childfree hangat diperbincangkan publik karena dianggap sebagai sebuah pilihan hidup pasangan dewasa untuk tidak memiliki anak, baik secara biologis maupun adopsi.
Kunjungan Paus Fransiskus pada 3-6 September 2024 lalu pun menjadi perbincangan hangat bagi masyarakat Indonesia.
Selain menegaskan pesan toleransi antar umat beragama, Paus Fransiskus juga menyoroti keluarga di Indonesia mempunyai banyak anak.
Hal ini dituturkan Paus Fransiskus karena di luar negeri, banyak orang lebih memilih mengasuh hewan peliharaan daripada mengasuh anak.
“Saya mendengar keluarga di Indonesia masih memiliki 3-4 anak, ini sebuah contoh yang bagus bagi negara lain. Karena banyak negara tidak lagi mau memiliki anak tetapi memiliki hewan peliharaan seperti kucing,” kata Paus Fransiskus dalam siaran YouTube Sekretariat Presiden, pada Rabu, 4 September 2024.
Ungkapan Paus Fransiskus ini membuat publik menyoroti soal fenomena childfree atau bebas anak.
Lantas, bagaimana tren childfree yang terjadi di Indonesia?
Awal Mula Tren
Childfree menjadi tren pada masa modern. Awal mula tren ini masuk ke Indonesia karena terdapat salah satu influencer bernama Gita Savitri Devi yang memutuskan untuk tidak memiliki anak.
Gita dan suaminya merasa sudah nyaman dan Bahagia dengan kehidupannya, sehingga tidak ingin memiliki anak.
Selain itu, Gita mengklaim keputusan childfree ini didasari pada tanggung jawab seumur hidup bagi anak di dalam keluarga mereka.
Berkaca dari keputusan childfree yang diungkapkan oleh Gita, berikut ini deretan ancaman yang mengintai dari fenomena bebas anak yang terjadi di Indonesia.
Penurunan Angka Pernikahan dan Kelahiran
Perkembangan childfree ini menjadi salah satu hal yang mempengaruhi penurunan angka pernikahan dan kelahiran di Indonesia.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 202, angka pernikahan di Indonesia mengalami penurunan.
BPS menyebutkan pada 2023, jumlah pernikahan di Indonesia sebanyak 1.577.255. Angka ini ternyata menurun sebanyak 128.000 jika dibandingkan dengan tahun 2022.
Jika dilihat dalam satu dekade terakhir, angka pernikahan di Indonesia menurun sebesar 28,63 persen dibanding periode sebelumnya.
Selain itu, angka kelahiran yang ditunjukkan data World Bank (Bank Dunia), Indonesia memang menunjukkan tren penurunan.
Pada 1960 angka kelahiran per perempuan Indonesia berada di angka 5,5 kemudian angkanya turun menjadi 2,2 pada 2022.
Penurunan tingkat kelahiran ini dipengaruhi oleh faktor sosial, lingkungan dan evolusi pada suatu negara.
Fenomena childfree menjadi salah satu faktor penyebab penurunan tingkat kelahiran di dunia, termasuk Indonesia.
Kira-kira apa saja faktor penyebab terjadinya tren childfree di Indonesia?
Faktor Penyebab Childfree
Berdasarkan Penelitian ‘Childfree di Indonesia’ oleh Akademisi Universitas Pelita Harapan pada Juni 2024, mengungkap masyarakat Indonesia yang menerapkan pilihan hidup tersebut disebabkan oleh berbagai faktor.
Finansial
Salah satu faktor orang memilih untuk childfree adalah karena biaya hidup.
Sebab, biaya hidup semakin tinggi seiring dengan peningkatan inflasi atau penurunan nilai mata uang.
Selain itu, pengeluaran terbesar seorang anak adalah biaya pendidikan.
Padahal, pemerintah sudah memberikan fasilitas sekolah gratis, tetapi tidak semua orang yang memanfaatkan hal tersebut.
Pengaruh Budaya Barat
Pada era modern, banyak masyarakat yang menggemari budaya barat terutama generasi milenial dan generasi Z.
Sosial budaya dari barat semakin beredar di Indonesia, melalui berbagai produk digital.
Salah satunya adalah budaya childfree ini. Sebab, gagasan tentang childfree dimulai dari budaya barat yang menerapkan ideologi liberal.
Seperti diketahui, liberalisme adalah ideologi yang menjunjung tinggi kebebasan manusia, namun tetap dipertanggungjawabkan.
Trauma Masa Lalu
Seseorang yang memiliki trauma masa lalu cenderung merasa ‘takut’ ketika mereka menjadi orang tua.
Salah satunya, mereka takut akan memberikan perlakuan buruk terhadap anak mereka.
Oleh karena itu, childfree sebagai pilihan pencegahan mereka agar tidak ada lagi anak yang mengalami penderitaan yang sama seperti mereka.
Selain itu, bagi orang yang mempunyai trauma masa lalu, tekanan sosial dan budaya di Indonesia yang ‘sangat timur’ merupakan beban emosional.
Tekanan tersebut dapat menambah rasa takut dan rasa tidak percaya diri mereka untuk mendidik anak secara sehat dan positif.
Editor: Abdul Hadi