Hukum

DPRD Dalami Dugaan Intimidasi dan Pungli di Konflik Agraria di Banten Selatan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten menegaskan akan mendalami laporan dugaan intimidasi dan pungutan liar (Pungli) terhadap petani yang terlibat dalam konflik agraria di sejumlah wilayah Banten Selatan.

Komitmen itu disampaikan usai perwakilan Serikat Petani Indonesia (SPI) Banten saat melakukan audiensi dengan pimpinan DPRD di sela aksi unjuk rasa di depan Kantor Pemerintah Provinsi Banten, Kota Serang, Kamis.

Wakil Ketua DPRD Banten Eko Susilo mengatakan pihaknya memahami keresahan para petani yang telah puluhan tahun menggarap lahan dan kini menghadapi berbagai tekanan dari oknum aparat maupun lembaga pengelola hutan.

“Tentu kita sangat memahami apa yang menjadi keresahan mereka. Tadi mereka sempat mengadu jika ada intimidasi dan lain sebagainya, ini tentu harus didalami,” ujar dia.

Eko menyebut, DPRD bersama Pemprov Banten dan kementerian terkait akan menggelar pertemuan lanjutan pada akhir Oktober untuk membahas langkah konkret penyelesaian konflik.

“Kita sudah jadwalkan untuk bertemu kembali di akhir Oktober 2025 ini untuk membahas dan berdiskusi lebih lanjut bersama dengan pihak Perhutani, ATR/BPN, dan tentu Pemprov Banten untuk sama-sama melihat kebenarannya seperti apa,” katanya.

Sebelumnya, ratusan petani yang tergabung dalam SPI Banten berunjuk rasa menuntut penyelesaian konflik agraria yang telah berlangsung puluhan tahun di wilayah seperti Cibaliung, Cigeulis, dan Cikeusik, Kabupaten Lebak dan Pandeglang.

Mereka juga menyoroti praktik pungutan liar dan intimidasi oleh oknum Perhutani serta Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH).

Koordinator aksi Sudarmawan mengatakan ribuan petani di Banten masih berkonflik dengan pengelola lahan. “Banyak petani-petani diganggu dan diintimidasi di sana. Mereka dipaksa untuk membayar hasil panen hanya agar bisa bertahan di lahan yang sudah mereka garap puluhan tahun,” katanya.

Ia mengungkapkan terdapat sekitar 5.120 petani yang terdampak konflik agraria di lahan seluas 10.986 hektare di tiga kabupaten. Bahkan, kata dia, ada petani yang mendapat ancaman dengan senjata api dari oknum di lapangan.

“Mereka itu membawa juga aparat penegak hukum yang seolah mengintimidasi kami, dibawa oleh mereka supaya kami takut,” ujarnya.

Sudarmawan juga menuding adanya pungutan hasil panen terhadap petani yang menggarap lahan di kawasan hutan. “Petani diharuskan membayar gabah tiga kwintal hingga enam kwintal per tahun. Padahal lahan yang digarap itu rata-rata lahan milik petani atau warisan dari orang tuanya,” katanya.

Ia mendesak Pemprov Banten, DPRD, dan ATR/BPN segera mengambil langkah nyata dengan melibatkan petani dalam proses penyelesaian reforma agraria, termasuk realisasi program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).

“Selain itu, kami juga ingin dilibatkan dalam setiap proses penyelesaian reforma agraria serta menuntaskan kesepakatan TORA 20 persen dari lahan PT Pertiwi Lestari di Cigemblong dan Cijaku bagi petani SPI,” ujarnya.

Dalam audiensi, pihak petani dijanjikan pertemuan lanjutan bersama Perhutani, ATR/BPN, DPRD Banten, dan Gubernur Banten pada akhir Oktober untuk membahas penyelesaian hukum dan langkah lanjutan.

“Jelas kami bukan memberontak. Ini panggilan moral untuk menegakkan keadilan sosial. Reforma agraria sejatinya bukan bagi-bagi tanah, tapi membenahi struktur penguasaan lahan untuk kesejahteraan petani,” kata Sudarmawan. (Pewarta : Devi Nindy Sari Ramadhan – LKBN Antara)

Iman NR

Back to top button