Kami Tidak Menguburkan Korban Serangan Bom Pasukan Israel
“Puluhan orang terbunuh. Kami tidak punya waktu untuk menguburkan mereka,” demikian kesaksian dr Hazem Maloh, dokter Palestina dari Medecins Sans Frontieres (MSF) dalam serangan pasukan Israel, Sabtu (8/6/2024) di Jalur Gaza yang menewaskan 279 orang dan 700 orang terluka parah.
Tim Médecins Sans Frontières (MSF), bersama staf medis di rumah sakit Al-Aqsa dan Nasser, merawat ratusan pasien yang terluka parah, banyak di antaranya perempuan dan anak-anak yang merupakan korban serangan pasukan Israel.
Hazem Maloh adalah seorang dokter Palestina yang bekerja dengan MSF sejak 2013, yang tinggal di kamp Al-Nuseirat. Dia mengenang hari yang mengerikan dan traumatis tersebut ketika dia kehilangan banyak teman dan tetangganya.
“Pada hari serangan itu, saya mengalami tiga jam teror dan ketakutan yang nyata. Selama satu jam yang terasa tak berujung, saya tidak tahu di mana putra sulung saya berada. Dia pergi ke pasar, dan dalam beberapa menit, segalanya berubah drastis. Menit-menit terasa seperti jam,” katanya.
Ada suara roket dan ledakan di mana-mana. Dia tidak tahu apa yang terjadi. Semua orang berteriak dan lari ke segala arah. Dia bisa mendengar sirene dari ambulans. Rasanya seolah-olah itu adalah akhir dunia.
Dia bangun untuk melihat apakah putra saya sudah pulang dan saya menyadari dia meninggalkan ponselnya di rumah. “Saya pergi ke jalan sambil berteriak, ‘Di mana anak saya? Di mana anak saya?’ Keluarga saya mencoba membawa saya kembali ke dalam rumah. Saya berteriak begitu banyak hingga kehilangan suara,” ujarnya.
Satu jam kemudian, putranya pulang. Wajahnya penuh ketakutan dan teror. Dia belum pernah melihat ini pada seorang manusia.
Dia hampir tidak bisa bicara. Dia berkata, ‘Ayah, orang-orang hancur berkeping-keping! Anak-anak, perempuan… mengapa seperti ini, Ayah?’
Dia memeluk anaknya dan menangis . Untuk pertama kalinya, dia merasa lemah.
Setelah itu, Hazem Maloh pergi ke klinik Al-Awda, di Deir al Balah, yang hanya beberapa meter dari rumahnya. Dia melihat puluhan dan puluhan orang terbaring di tanah. Beberapa dari mereka sudah mati, lainnya terluka.
Satu ambulans datang membawa tiga orang yang telah meninggal dan empat lainnya yang terluka. “Mata saya penuh dengan air mata,” ujarnya.
Salah satu rekan meneleponnya. Saudaranya terkena pecahan peluru di punggung. Dia memberitahu bahwa saudaranya muntah darah.
Dia terus bertanya apa yang harus dia lakukan. Tapi apa yang bisa saya lakukan? Tidak ada ambulans yang tersedia.
“Saya menyuruhnya untuk mengikat sehelai kain di sekitar luka untuk menekan cedera, dan berdoa agar dia tetap hidup,” katanya.
Banyak dari mereka adalah tetangga, teman atau kerabat. Laki-laki, perempuan, anak-anak. Raneem, yang merupakan putri salah satu teman dekatdan ayahnya, keduanya terbunuh.
Dia sedang mempersiapkan diri untuk belajar kedokteran di Mesir. Terakhir kali dia melihatnya, dia tersenyum pada saya dan bertanya, “Paman, apakah MSF akan merekrut saya setelah saya menyelesaikan studi saya?,” ujarnya.
Mahmoud adalah seorang pemuda yang hebat juga. Dia sering membantu di kebun dengan menanam dan bertani. Sehari sebelum dia terbunuh, dia mengumpulkan kayu di depan rumah dan membuat api untuk memasak mie untuk anak-anaknya.
Dia mengatakan, ‘Anda tahu, sekarang saya membuat mie lebih baik daripada Maqluba (hidangan terkenal Palestina}.’ Mahmoud juga terbunuh pada hari Sabtu.
Rami adalah seorang nelayan sederhana. Sehari sebelum serangan, dia berkata kepada saya, ‘Bersiaplah, kita akan kembali berenang di laut lagi setelah perang berakhir.’ Rami juga terbunuh. (Cici Riesmasari – LO MSF Indonesia)
Editor Iman NR