EDITORIALKesehatan

Kisah Pandemi Covid: Saya Kehilangan Bapak, Ibu dan Adik

Kemarin, saya bersilaturahmi ke seorang teman (maaf namanya keberatan disebut). Teman ini sejak Juli 2020, saat pandemi Covid 19 memuncak, sangat sulit dikontak. Jika berhasil dihubungi,  selalu ada alasan untuk menghindar bertemu atau kontak secara fisik. Saya sempat curiga, jangan-jangan teman ini terpapar covid.

Kecurigaan saya terbukti, ketika teman yang sehari-hari berkerja sebagai PNS di Banten itu mengajak bertemu, Rabu (6/1/2021). Manakala bertemu, ternyata kondisinya lebih parah dari dugaan semula.

“Saya kehilangan Bapak, Ibu dan adik saya. Semuanya selama pandemi Covid 19. Saya sendiri terkena covid pada bulan Agustus 2020. Saya mengisolasi diri di lantai 2 rumah, agar istri dan anak saya tidak kena covid. Alhamdulillah, saya dan keluarga selamat,” kata teman dengan linangan air yang terlihat di matanya.

Dia bercerita, orangtua dan adiknya tinggal di Semarang, Jawa Tengah. Hasil tracking menyebutkan, virus Covid 19 berasal dari adiknya, wiraswasta yang selama ini mengurus segala keperluan bapak dan ibunya yang sudah sepuh.

Aktivitas adiknya sebagai wiraswasta diduga menjadi titik penyebaran virus. Dari adiknya, menular ke bapak dan ibunya. Bapak dan ibunya termasuk golongan rentan atau rawan tertular virus karena usia sepuh dan memiliki beberapa penyakit.

“Ketika bapak dan ibu sakit, saya nekad pulang ke Semarang sendirian, tanpa istri dan anak. Tak lama di sana, adik saya meninggal, disusul bapak dan berselang 3 hari, ibu saya meninggal. Hasil semua pemeriksaan menyatakan positif covid,” katanya.

Pemakaman bapak, ibu dan adiknya dilakukan secara protokol kesehatan Covid 19. Jenazah sudah rapih dan dibawa oleh perugas yang mengenakan Alat Pelindung Diri (APD). Keluarga hanya bisa menyaksikan dari jarak yang sudah ditetapkan.

Sepulang dari Semarang, dia meriang atau badan agak panas. Selang 2 hari, nafasnya mulai sesak. “Saya tidak bisa bernafas panjang. Nafas saya pendek-pendek,” ujarnya.

Dia memeriksakan diri ke dokter, hanya diberi obat pereda sakit dan penurun panas. “Ketika saya mulai sesak nafas, saya mengajukan diri untuk diswab. Hasilnya positif,” ujarnya. Sedangkan istri dan anaknya dinyatakan negatif.

Sejak saat itu, dia melakukan isolasi mandiri di ruangan lantai 2 rumahnya. Seluruh peralatan dan kontak fisik dipisahkan. Mulai dari peralatan makan dan minum, pakaian dicuci terpisah hingga cara memberikan makanan dan minum yang menghindari kontak fisik. Rumahnya pun berkali-kali diinsfektan.
Sementara itu, pekerjaan dilakukan secara online.

Dua bulan setelah itu atau sekitar September 2020, dia dinyatakan sembuh. Namun untuk meyakinkan dirinya, dia tetap melakukan protokol kesehatan (Prokes) di rumahnya.

“Baru bulan Januari 2021, saya sudah mulai ke kantor dan berinteraksi dengan orang lain dengan pembatasan yang ketat,” ujarnya.

Katanya, terserah narasi yang dibangun soal virus Covid 19, apakah konspirasi atau bukan. Faktanya virus itu memang ada dan menyebar secara agresif. Dan, pandemi bisa menghilangkan orang-orang yang dicintai.

“Saya kehilangan bapak, ibu dan adik saya secara berurutan hanya berbeda atau berselang beberapa hari saja. Ini bukti nyata virus itu mematikan karena menginfeksi tubuh dan membangkitkan penyakit lainnya,” ujarnya

Ekspresi wajah teman saya tidak bisa saya tangkap secara keseluruhan, karena dia mengenakan masker kesehatan. Saya hanya melihat linangan air mata.

Ketika berpisah, dia mohon maaf, karena menyajikan air minum dalam kemasan. Dan, kebiasaan berpelukan ketika datang dan pergi serta cara bersalaman dengan mengepal, bukan berjabat tangan — tidak bisa dilakukannya.

Tentu saja saya sangat setuju, termasuk ketika bicara dijaga jarak 1,5 meter. Sangat setuju betul.

(Iman Nur Royadi)

Iman NR

Back to top button