Melestarikan Budaya Seren Taun di Kasepuhan Cisungsang
Suasana perkampungan di kawasan kaki Gunung Halimun Salak di Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, pagi itu sedang ramai. Cuaca terasa dingin, namun tidak menghalangi warga merayakan tradisi Seren Taun untuk berkumpul di rumah Kasepuhan Cisungsang.
Masyarakat yang mengenakan pakaian dan celana adat, dengan warna serba hitam, memperlihatkan aura rasa gembira menyambut tradisi Seren Taun yang dilaksanakan setiap setahun sekali, sebagai bentuk wujud rasa syukur atas hasil panen padi.
Perayaan tradisi itu sejak turun temurun hingga ribuan tahun dan dilaksanakan pada Bulan Rayagung dalam kalender masyarakat Sunda.
Para tamu undangan, terdiri dari pejabat Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Pemerintah Provinsi Banten, dan Kabupaten Lebak, hingga pemerhati budaya, satu per satu datang untuk ikut merayakan tradisi masyarakat adat itu.
Ritual upacara adat itu dilaksanakan di depan “Leuit Si Jimat”. Leuit artinya tempat dan jimat artinya sesuatu yang dianggap berharga. Istilah jimat dianggap memiliki sesuatu kekuatan magis yang dapat membawa keberuntungan atau keberkahan.
Upacara adat dimulai dengan datangnya rombongan arak-arakan padi yang ditandu oleh empat orang rendangan. Tandu tersebut berisi padi indung, diiringi para dayang, yakni gadis remaja, lengkap dengan baju kebaya dan kain sampirnya.
Setelah menjalani upacara, dilanjutkan dengan memasukkan padi-padi yang diarak ke dalam Leuit Si Jimat, sambil diiringi puji-pujian, “Ayeuna Si Nyai ku, Kami diamitkeun”, yang artinya, “Sekarang Si Nyai oleh kami dirapikan”.
Padi yang pertama kali dimasukkan adalah padi indung, kemudian disusul padi lainnya, sambil membaca doa dan pembakaran kemenyan yang asapnya tiada henti mengepul.
Angklung buhun yang berada di samping Leuit Si Jimat ikut mengiringi puji-pujian dibarengi dengan petikan kecapi serta tiupan suling, sehingga suasana perayaan Seren Taun semakin hening dan khusyuk.
Ritual tradisi Seren Taun itu merupakan ritual mengharap berkah hasil panen padi, dengan masa panen tiga bulan, juga ada yang enam bulan, untuk memenuhi ketersediaan pangan keluarga.
“Kami merayakan ritual tradisi Seren Taun ini untuk mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT atas limpahan rezeki hasil panen padi,” kata Ketua Adat Kasepuhan Cisungsang Abah Asep Nugraha.
Diselamatkan
Masyarakat adat Kasepuhan Cisungsang yang lokasinya berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, hingga kini masih mempertahankan tradisi Seren Taun, sebagai budaya peninggalan nenek moyang atau leluhur.
Budaya itu cukup sakral dan harus diselamatkan karena memiliki makna yang filosofis dalam membangun kerukunan, keharmonisan, gotong royong, hingga saling menghormati dan saling menjaga etika atau sopan santun.
Apalagi, Indonesia sebagai negara yang multietnis, multikultur dan multiras, dibangun oleh ratusan suku dan ribuan kelompok masyarakat hukum adat, dengan latar belakang budaya yang berbeda.
Kemajemukan masyarakat Indonesia itu terbukti, hingga kini mampu dibingkai menjadi visi yang sama, yaitu untuk tetap jaya dan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menuju kehidupan yang makmur dan sejahtera, sehingga dapat mewujudkan kedaulatan pangan.
Di Provinsi Banten, tepatnya di Kabupaten Lebak, terdapat dua tipologi masyarakat adat berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlındungan atas Hak Ulayat Masyarakat Badui dan Perda Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Kasepuhan.
Upaya pemerintah untuk mengakui keberadaan masyarakat adat di Kabupaten Lebak, tertuang dalam dua perda tersebut, yang membuktikan keseriusan negara untuk hadir di tengah keberlangsungan kehidupan masyarakat adat.
Eksistensi masyarakat Adat Kasepuhan di Kabupaten Lebak yang didukung oleh pemerintah berimplikasi terhadap kuatnya identitas dan jatidiri asli, terjaminnya hak-hak masyarakat adat, dan kebebasan masyarakat adat untuk melaksanakan “tatali paranti karuhun” ( adat istiadat yang masih dipegang teguh oleh masyarakat) yang menjadi roh bagi kehidupan masyarakat adat itu sendiri.
Pemimpin Adat Kasepuhan Cisungsang bersyukur dan berterima kasih karena diberikan keleluasaan dan fasilitas oleh pemerintah untuk melestarikan dan menyelematkan budaya Seren Taun.
Memerlukan penyesuaian yang tidak mudah bagi tetua adat dan seluruh pemangku kepentingan di kasepuhan itu untuk melestarikan budaya.
Sebagai perhelatan adat, Seren Taun harus berpegang teguh pada pakem atau ketentuan dari para leluhur, namun di sisi lain, budaya itu harus mampu menyuguhkan atraksi menghibur, sehingga diminati oleh masyarakat luas, khususnya kalangan muda.
Suguhan tradisi Seren Taun harus mampu menampil secara adaptif dengan kesenian modern, sedangkan di sisi lain harus mempertahankan identitas adat yang berbasis kearifan lokal.
Pada penyelenggaraan Seren Taun Cisungsang, terdapat 2 kategori ajang, yaitu kegiatan yang bersifat tradisi yang jenis dan jadwalnya tidak berubah, dan satu kegiatan pendukung (side event), yaitu menampilkan sisi budaya dan wisata serta edukasi yang disuguhkan kepada pengunjung.
Tanpa Krisis Pangan
Ritual adat Seren Taun merupakan tradisi lokal yang memiliki makna bagi keberlangsungan pangan masyarakat. Dampak yang terasa dari tradisi itu adalah masyarakat Kasepuhan Cisungsang yang tersebar di sembilan desa, hingga kini belum pernah mengalami krisis pangan, karena hasil panen selalu melimpah dan tidak diperjualbelikan.
Persediaan hasil panen selalu penuh, dengan penduduk sekitar 9.000 kepala keluarga (KK) dan rata-rata satu KK memiliki dua lumbung pangan atau leuit, sehingga total ada 18.000 leuit di wilayah itu.
Masyarakat adat itu membangun leuit, biasanya berada di belakang rumah atau berdekatan dengan dapur, sehingga kaum perempuan mudah untuk mengambilnya, saat akan memasak. Tidak jarang, padi yang ada di dalam leuit itu merupakan hasil panen 20 tahun lalu.
Persediaan pangan berupa gabah hasil dari huma dan sawah dapat memenuhi konsumsi keluarga, termasuk untuk keperluan menggelar acara pernikahan, sunatan maupun pesta adat lainnya.
Dengan pola penyimpanan di leuit itu, masyarakat Kasepuhan Cisungsang belum pernah mengalami kerawanan pangan, apalagi kekurangan, meskipun pada musim tertentu, sawah atau huma mereka terserang penyakit yang mengakibatkan gagal panen.
Jika gagal panen, mereka tertolong karena memiliki stok padi yang disimpan di leuit sebagai cadangan ketahanan pangan keluarga. Kondisi yang sama pernah mereka alami, saat Indonesia dan sejumlah negara di dunia mengalami pandemi COVID-19. Mereka tinggal memanfaatkan pangan cadangan yang sudah tersedia.
Apalagi, pada saat pandemi itu, negara kembali hadir dengan memberikan bantuan sosial kepada warga di wilayah kasepuhan itu, lewat Badan Pangan Nasional (Bapanas), khususnya bagi warga yang masuk dalam kategori Keluarga Penerima Manfaat (KPM).
Ketersediaan pangan yang cukup itu juga berpengaruh pada masalah kesehatan. Saat ini, di masyarakat Kasepuhan Cisungsang belum ditemukan adanya kasus gizi buruk maupun anak stunting, berdasarkan laporan dari Puskesmas Cibeber, 2024.
Untuk memenuhi keperluan yang harus mengeluarkan uang, masyarakat daerah itu biasanya menjual hasil panen padi pada masa panen kedua atau menjual hasil tanaman lainnya, seperti kelapa, pisang, dan dari kebun cengkih.
Selain itu, dari mereka juga ada yang bekerja di luar pertanian, seperti berdagang, mengojek, atau ada yang menjadi pegawai negeri sipil (PNS).
Kebanggaan
Ketua Adat Kasepuhan Cisungsang Asep Nugraha menyatakan momentum pelaksanaan upacara Seren Taun memiliki kebanggaan setelah masyarakat adat itu menerima penghargaan “Kharisma Event Nusantara (KEN) 2024” dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Penghargaan KEN diberikan karena masyarakat adat di Kabupaten Lebat tersebut dinilai berhasil dalam upaya penyelamatan budaya kearifan lokal, yang hingga kini masih bertahan dan dilaksanakan setiap setahun sekali.
Pelaksanaan panitia seren taun yang dilaksanakan 22 – 29 Oktober 2024 melibatkan 2.288 anggota masyarakat setempat, juga 660 UMKM, serta dihadiri ribuan wisatawan.
Indonesia memiliki ribuan kekayaan adat, dengan keunikan serta kearifan khas yang dapat menyelamatkan ketersediaan pangan maupun aspek kesehatan dan pariwisata.
Keseriusan masyarakat di Kasepuhan Cisungsang menjadi bukti bahwa semua masyarakat, dengan bantuan pemerintah, dapat melestarikan budaya mereka untuk keberlanjutan kehidupan yang lebih baik. (Mansyur Suryana – LKBN Antara)
Editor Iman NR
Artikel ini merupakan bagian dari kerjasama diseminasi LKBN Antara dengan MediaBanten.Com.