Pendidikan adalah elemen fundamental dalam membangun masa depan individu dan masyarakat.
Namun, akses dan kualitas pendidikan sering kali dipengaruhi oleh kondisi ekonomi seseorang.
Oleh : Yosy Candraningsih – S2 Pendidikan Matematika*)
Informan berasal dari salah satu kecamatan yang berada di kabupaten Bekasi.
Informan diberi inisial S yang merupakan salah satu pedagang sayur keliling di sebuah perumahan.
S berasal dari keluarga yang tidak berada, orang tua dan saudara-saudara kandungnya merupakan buruh tani di kampung.
S merantau jauh dari keluarga dan keluar dari pekerjaan keluarganya dengan harapan dapat memperbaiki taraf kehidupannya.
“Dulu saya sempat bekerja di PT. O, bertahan 10 tahun dengan gaji dan tunjangan yang besar. Jabatan terakhir sebagai kepala gudang. Namun, atasan saya bilang sama saya, kalau mau mempunyai tabungan, coba berdagang. Karena memang meskipun gaji saat itu besar, rasanya kaya habis terus. Mungkin karena PT tersebut juga menjual minuman tidak halal yang membuat rezeki yang saya dapatkan jadi tidak berkah.” (Wawancara dengan S, 2024).
Setelah keluar dari pekerjaan terdahulu, S sempat mengalami kesulitan dalam mencari uang untuk memenuhi kebutuhan ia dan keluarganya.
“Sempat kesulitan mencari pekerjaan lain, rumah terjual karena cicilan tidak terbayar, akhirnya saya dan keluarga mengontrak. Saya mencoba menjadi tukang ojek selama beberapa bulan, istri jual nasi uduk, sampai akhirnya punya tabungan untuk mencoba berdagang sembako dan sayur. Saat itu juga (barang dagangan) masih sangat sedikit, kalau ada orang yang tanya barang apa, baru kita coba belikan di agen.” katanya.
S mengungkapkan bahwa usaha awal sebagai tukang ojek dan istrinya berdagang nasi uduk tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga.
Sehingga ia dan istri berusaha mencari jalan lain agar dapat memenui kebutuhan yang terus menerus mengalir.
“Karena tukang ojek itu banyak ya, dan biaya ojek saat itu (2005) masih sangat murah. Jadi selain pelanggannya yang dikit, hasil yang didapat juga tidak seberapa. Istri dagang juga kadang tidak habis, bukannya untung malah rugi. Akhirnya diskusi, coba cari usaha lain yang sekiranya belum banyak. Kebetulan saat itu tukang sayur dan toko sembako masih sedikit, jadi dicoba aja.”
Selain untuk memenuhi kebutuhan hidup, S menyampaikan keinginannya dalam menjalankan usaha.
Hal ini menjadi acuannya dalam bekerja agar terus semangat mencoba usaha yang mungkin sangat menguntungkan di kemudian hari.
“Sebenarnya usaha yang dilakukan selain untuk memenuhi kebutuhan hidup, juga untuk menyekolahkan anak-anak. Bagaimanapun mereka akan hidup di zaman yang berbeda dengan orang tuanya, di zaman mereka pasti diperlukan orang-orang yang bersekolah setinggi-tingginya. Saya tidak mau anak-anak saya merasakan apa yang saya rasakan karena kurangnya pendidikan.” ujarnya.
Usaha yang dilakukan oleh S berbuah manis, usahanya terus berkembang hingga ia dan istri bisa menabung untuk sekolah anaknya.
Ia percaya bahwa doa dan usaha akan menghasilkan hal yang baik.
Meskipun perkembangan usahanya tidak terlalu pesat, tetapi sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan membiayai kedua anaknya bersekolah.
“Saya hanya lulusan SMA, pernah memaksa kuliah sambil bekerja, ternyata tetap tidak terbayar dan putus di tengah jalan. Saya pikir, saya tidak bisa memberikan warisan dalam bentuk harta, makanya saya dorong anak-anak saya untuk bisa bersekolah setinggi-tingginya, agar bisa mengenyam pendidikan tinggi sebagai satu-satunya warisan yang bisa saya wariskan.”
Setelah berdagang hampir 5 tahun, tibalah masanya anak pertama S (U) lulus dari Sekolah Menengah Atas.
Saat itu S mengarahkan anaknya untuk meneruskan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi.
Tak tanggung ia meminta anaknya mendaftarkan diri untuk masuk program studi kedokteran.
Ia berharap kelak anaknya dapat mempunyai kehidupan yang layak dan tak direndahkan orang lain.
Namun, sayang sekali U gagal dalam tes tersebut.
Istri S tak tinggal diam, ia meminta U untuk segera mencari alternatif sekolah lainnya.
“Sempat diarahkan daftar kedokteran, tapi gagal. Akhirnya coba daftar di STPI, saya dan istri saat itu tidak paham itu sekolah apa, lalu anak saya jelaskan, dan kami menyetujui. U sempat khawatir mengenai biaya, tapi saya dan istri bilang pasti Allah bantu rezekinya. Akhirnya U lulus masuk STPI, jurusan penerbang.” katanya.
S bercerita bahwa biaya pendidikan U dibiayai pemerintah, namun ia tetap harus menanggung biaya hidup dan asrama U.
Dalam proses pendidikan U, S mengakui bahwa cukup berat karena biayanya mahal, S dan istri berusaha sekuat tenaga untuk membiayai U sampai selesai.
Bahkan tidak punya waktu libur dan waktu tidur yang dipangkas habis-habisan demi tercukupinya biaya hidup keluarga dan U di asrama.
“Allah benar-benar membantu kami saat itu, kalau dipikir secara logika juga seperti tidak masuk akal. Seorang tukang sayur kecil bisa membiayai anaknya sampai jadi pilot. Meskipun saat itu saya tidur hanya 3 jam perhari, tapi rasa haru dan bangga menjadi satu saat melihat anak saya lulus dan menjadi pilot.”
Setelah S berhasil menyekolahkan U sampai menjadi pilot, S tetap berdagang meskipun ia mengakui bahwa saat ini cenderung lebih sepi dibandingkan dengan dahulu.
Karena saat ini sudah banyak yang ikut berjualan sayur dan sembako.
Meskipun demikian, S tetap berusaha semaksimal mungkin, demi menyekolahkan anak keduanya (C) agar memiliki pendidikan yang setara dengan U.
“Prinsip saya dan istri yaitu jika kami tidak bisa menjadi seorang sarjana, maka anak-anak kami harus bisa mendapatkan gelar itu, bagaimanapun caranya akan kami usahakan demi kehidupan mereka di masa depan saat kami sudah tidak ada. Tidak apa-apa kami bersusah payah saat ini, setidaknya saat kami harus meninggalkan mereka nanti, kami sudah tenang karena kehidupan mereka sudah terjamin.” ujarnya.
Pada kenyataannya, prinsip S juga memotivasi lingkungan sekitarnya.
Tetangga-tetangganya juga menjadi mempunyai keinginan untuk menyekolahkan anak setinggi-tingginya.
Hal tersebut disampaikan langsung oleh tetangga-tetangganya kepada S.
S bersyukur jika ia dapat memberikan pengaruh yang positif bagi lingkungannya.
Editor : Abdul Hadi