Pulau Sebesi Rentan Bencana, Akses Evakuasi Sulit Hingga Infrastruktur Minim
Kesiapsiagaan bencana di Pulau Sebesi masih menghadapi tantangan yang cukup serius, sampai saat ini dan pada saat bencana terjadi.
Mengingat Pulau Sebesi, yang merupakan pulau berpenghuni terdekat dengan Gugusan Krakatau.
Berdasarkan temuan tim dosen dan mahasiswa Logistik Kelautan UPI dari hasil kuesioner, wawancara dan observasi lapangan secara langsung, masalah ini disebabkan oleh akses evakuasi yang sangat terbatas dan minimnya infrastruktur pendukung.
Nama Penulis: Zahra Aulia – Logistik Kelautan Universitas Pendidikan Indonesia*)
Tim dosen dan mahasiswa Logistik Kelautan di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mengadakan kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) di Pulau Sebesi tepatnya di Desa Tejang, Kecamatan Rajabasa pada rentang tanggal 5-7 Agustus 2025.
Kegiatan ini dilakukan dengan mengusung topik “Desain Rute Evakuasi Bencana Berbasis Partisipasi Komunitas dan Implikasinya terhadap Keberhasilan Logistik Kemanusiaan”.
Topik tersebut diangkat karena alasan yang sangat kuat yaitu, Pulau Sebesi merupakan wilayah yang rawan akan bencana.
Kemudian, secara geografis Pulau Sebesi terdiri dari pesisir, dataran rendah, dan daerah yang berbukit sehingga menyebabkan jalur evakuasi menjadi sangat kompleks.
Menurut data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Pulau Sebesi termasuk ke dalam daerah yang memiliki Indeks Risiko Bencana (IRBI) yang tinggi, terutama untuk ancaman gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung api.
Kedekatannya dengan Gugusan Krakatau menjadikan pulau ini sebagai daerah yang memerlukan perhatian khusus dan manajemen risiko bencana, terutama dalam hal perencanaan rute yang efektif dan efisien.
Saat ini, sudah tersedia rute jalur evakuasi dan peta digitalnya namun, pemahaman masyarakat akan hal tersebut masih sangat minim karena kurang luasnya sosialisasi yang dilakukan, sosialisasi hanya menyasar pada perangkat desa saja tidak ke seluruh bagian masyarakat Pulau Sebesi.
Jalur evakuasi yang ada saat ini memiliki jarak yang jauh sekitar 2450 M dan lokasinya berada di atas gunung dengan jalan setapak.
Hal ini tentunya menyulitkan pejalan kaki dan kendaraan darurat pada saat evakuasi, terutama bagi lansia dan ibu hamil yang hanya dapat berlindung di masjid terdekat.
Keadaan ini sangat kontras dengan standar evakuasi bencana yang ideal, dimana rute seharusnya mudah diakses dan waktu tempuh menuju titik evakuasi tidak memakan waktu yang lama.
Dengan kondisi jalan setapak yang menanjak dan sepenuhnya tanah, risiko korban jiwa, terutama bagi kelompok rentan, menjadi jauh lebih tinggi ketika evakuasi massal harus dilakukan.
Menurut beberapa keterangan masyarakat Pulau Sebesi, masih minimnya infrastruktur pendukung seperti jalur menuju tempat evakuasi hanya jalan tanah setapak apabila terkena hujan sangat sulit untuk ditempuh karena licin, rambu informasi.
Kemudian, kurangnya lampu penerangan terlebih lagi ketika bencana terjadi listrik dan internet padam, menjadikan mereka sangat sulit untuk berkomunikasi serta menuju tempat evakuasi karena hanya mengandalkan penerangan seadanya.
Distribusi bantuan logistik sudah memadai dan cukup cepat, bantuan logistik biasanya diantar dengan menggunakan kapal motor atau pernah juga menggunakan helikopter melihat medan tempuh di Pulau Sebesi yang cukup kompleks.
Namun, di sana belum tersedianya gudang penyimpanan distribusi bantuan logistik yang memadai, hanya dikumpulkan di balai desa saja.
Dengan adanya kegiatan pengabdian ini, tim dosen dan mahasiswa Logistik Kelautan mengetahui hal apa saja yang menjadi kendala dalam perencanaan rute evakuasi Pulau Sebesi, masyarakat sekitar menyambut kegiatan ini dengan antusias terutama pada sesi tanya jawab dan berdiskusi.
Menurut salah satu pernyataan masyarakat Pulau Sebesi, Ibu Alfi “saya senang sekali dengan adanya kegiatan ini menambah pengalaman dan pengetahuan, dan saya sangat antusias serta bersedia apabila dilibatkan dalam diskusi perencanaan rute evakuasi.
Editor: Abdul Hadi







