Opini

Re-Orientasi Pembangunan Kebudayaan Banten

Diksi “Peradaban” menjadi kata paling mujarab bagi para kebanyakan pelaku kebudayaan di negeri ini. Sebagai pelaku kebudayaan daerah, tentu kita menginginkan budaya daerah menjadi base line, menjadi ruh positif bagi seluruh aspek kehidupan dan pembangunan di daerah Banten ini.

OLEH: TEGUH RENGGAYANA *)

Banten terus sedang mengalami proses transisi “dari masyarakat pedesaan ke masyarakat perkotaan” dari rural ke urban. Transisi ini perlu kita jaga agar semua kearifan lokal masyarakat Banten tidak tergerus oleh hal-hal urban semata.

Aspek geografis tidak juga sederhana ternyata; Banten memiliki luas wilayah sebesar 8.651,20 km² yang tertulis pada Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten.

Pada tahun 2019, terdapat pembaruan luasan wilayah administrasi berdasarkan Permendagri Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Permendagri Nomor 137 Tahun 2017 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan, Provinsi Banten memiliki luas 9.662,92 km².

Dari sisi astronomis, wilayah Provinsi Banten berada pada batas 105⁰01’11”-106⁰07’12” Bujur Timur dan 05⁰07’50”- 07⁰01’01” Lintang Selatan.

Wilayah Provinsi Banten juga terletak di dekat Selat Sunda yang merupakan lintasan perdagangan nasional dan Internasional Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) sehingga menjadikan posisi wilayah Provinsi Banten menjadi sangat strategis.

Selain itu, Provinsi Banten terletak di ujung Barat Pulau Jawa (berbatasan langsung dengan wilayah Ibu Kota Negara, DKI Jakarta) sehingga menambah posisi geostrategis Provinsi Banten sebagai pintu gerbang jalur perdagangan Pulau Jawa dan Sumatera hingga bagian penting dari sirkulasi perdagangan Asia dan Internasional.

Provinsi Banten juga berpotensi sebagai lokasi aglomerasi perekonomian dan permukiman yang potensial dengan sumber daya laut yang kaya.

Adapun wilayah Provinsi Banten memiliki empat perbatasan yaitu: 1) Sebelah Utara dengan Laut Jawa; 2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Hindia; 3) Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Sunda; 4) Sebelah Timur berbatasan dengan DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat.

Belum lagi secara morfologi. Banten paling tidak mempunyai 2 (dua) karakter kewilayahan yang berkaitan secara topografi “wilayah dataran rendah dan wilayah perbukitan, kenapa perbukitan? Karena Banten tidak mempunyai dataran yang tinggi seperti wilayah Provinsi lain.

Ini jelas berpengaruh dengan cara hidup orang Banten dari masa ke masa, mewakili citra peradaban.

Aspek sejarah pemerintahan, tentu daerah ini memiliki catatan panjang, dimulai dengan peristiwa pra kolonial, kolonial, kerajaan dan saat ini bersatu dalam sebuah pemerintahan yang termaktubkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pertanyaan sederhana muncul, apa sih yang akan kita lakukan dalam tugas pelaku kebudayaan secara umum, terkait melaksanakan, mengembangkan, dan melestarikan berbagai aspek kebudayaan, termasuk seni, tradisi, sejarah, dan nilai-nilai luhur, serta mempromosikannya kepada masyarakat, serta perumusan kebijakan, pelaksanaan program, pembinaan, dan evaluasi kegiatan kebudayaannya?

Kita tengok penetapan Indikator Kinerja Utama (IKU) pada RKPD 2026 yang ada di Provinsi Banten.

Kebudayaan masuk kategori urusan wajib pemerintah yang tidak berkaitan pada layanan dasar. layanan pembangunan kebudayaan ditetapkan dalam IKU begitu sangat-sangat minimal target capaiannya.

Misal: nilai Indeks kepuasan pengunjung museum daerah dan taman budaya dari total keseluruhan pengunjung museum dan taman budaya Nilai 3,25 (target 2024) 3,5 (target 2026) dan Persentase Peningkatan Kualitas Pembangunan Kebudayaan Persen 5 (2024) serta tetap 5 (2026).

Agak menggelitik memang dengan semua angka-angka di atas. Kita ini sedang menjaga dan membangun peradaban melalui layanan kebudayaan; ingat yang diurusi itu manusianya “human being, dan bukan semata human doing”.

Rendahnya Target IKU, Salah Satu Penyebab Stagnansi

Masih ada peluang Civil Society? Betul sekali. Tapi rendahnya target pencapaian pembangunan dan layanan kebudayaan ini adalah faktor penting dalam urusan wajib ini.

Bagaimanapun urusan ini adalah urusan krusial yang wajib pemerintah jaga dan kembangkan, karena dalam proses berkebudayaan memiliki paling tidak 2 (dua) peristiwa penting “pendidikan dan masyarakat” dimana semua ini akan meninggalkan peristiwa berkebudayaan “benda dan tak benda”.

Kesadaran dan pembangunan mendalam begitu perlu dalam kebudayaan, tidak lantas kita lupa akan: a) Objek Kebudayaan; b) Lembaga Kebudayaan; c) Pranata Kebudayaan; d) Sumber Daya Manusia Kebudayaan.

Garis itu jelas tersimpan di Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, urusan konkurent itu jelas “sub urusan kebudayaan, sub urusan kesenian, Sub urusan sejarah, Sub urusan cagar budaya, Sub urusan museum.

Ini baru sub urusan; belum masuk ke dimensi pengelolaan teknis turunannya. Begitu luas dan dalam dalam cakupan aksi-aksi pembangunan berkebudayaan ini menjadi tantangan dan benefit tersendiri bagi para pelaku-pelakunya, khususnya Pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah.

Peran lembaga supremasi civil society seperti pemerintah dan lembaga informal non formal lainnya diharapkan bisa buat bersandar bagi daulat sipil berkebudayaan. Keputusan pemajuan kebudayaan memberi sedikit ruang lega.

Karena membuka peluang pemerintah dan komunitas kebudayaan dan kesenian mengusung jati diri daerahnya dalam konteks berbagai aktifitas berkebudayaan; termasuk kesenian di dalamnya secara lokal, nasional dan global. Karena berkebudayaan adalah mental spiriritual dan harus menjadi bases valeu, lebih jauh dari itu menjadi jati diri dalam setiap aktifitas masyarakatnya, termasuk pendidikan.

Pendidikan jangan rusak dari mentalnya! Ini penting untuk kita. Begitupun dalam menjaga berbagai peristiwa berkebudayaan di Banten ini. Kita sejatinya adalah manusia-manusia yang berkumpul, makna dari berkumpul itu nisbat dengan menghasilkan peristiwa, baik peristiwa material ataupun non material; dalam bahasa lain “benda dan tak benda”. Termasuk berkesenian.

Sementara itu, di dimensi lain ada kerumitan bagi peristiwa political wil dan policy saya kira dari beberapa ke-rigid-an, utamanya pada usaha yang super serius untuk pembangunan kebudayaan dan kesenian lokal di Banten ini.

Padahal jika saja kita kembangkan dan urus, urusan berkebudayaan termasuk berkesenian; bukan tidak mungkin ini akan berafiliasi positif pada ketahanan ekonomi daerah dan mereduksi potensi pendapatan daerah dari eksplorasi sumber daya alam yang berlebihan.

Karena apapun itu, namanya eksplorasi alam pasti berdampak pada pelestarian alam. Berkebudayaan tidak hanya semata pentas-pentas yang dipertunjukan, kebudayaan tidak hanya peninggalan sejarah masa lalu. Jauh lebih dari semua! Kebudayaan adalah kehidupan umat manusia, berkebudayaan adalah menjaga peradaban manusia.

Oleh karena itu, berbagai lapisan; baik pemerintah daerah, civil society, dan lainnya, diperlukan untuk teman sejati, menemani dan terus mengawal agar tetap berada pada maqomnya.

Bagaimanapun juga partisipasi masyarakat dan coorporate tetap jadi kenop ampuh untuk menyeimbangkan sifat pembangunan dan modernitas yang rigid. Daulat berkebudayaan itu tumbuh tidak hanya dari pikiran masyarakatnya, tetapi mulai dari pikiran, pikiran siapa? Pikiran para pemimpin-pemimpinnya. (**)

*) TEGUH RENGGAYANA adalah penggiat pendidikan Banten dan penulis di beberapa media nasional dan lokal

Iman NR

Back to top button