News

RUU TNI Jadi Polemik, Ada 4 Pasal Dinilai Kontroversi

Rancangan Undang – Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) tengah menjadi polemik di kalangan publik.

Revisi terhadap UU Nomor 34 Tahun 2024 tentang TNI ini dinilai publik ada kontroversi, apalagi sejumlah pasal yang dianggap berpotensi mengaburkan batas kewenangan sipil – militer.

Meski RUU TNI ini sudah disahkan oleh DPR RI dalam Rapat Paripurna ke-15 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024 – 2025, pada Kamis (20/3/2025).

Banyak berbagai elemen masyarakat, termasuk aktivis, akademisi, hingga koalisi sipil menolak keras beberapa ketentuan dalam RUU tersebut.

Mediabanten.com telah merangkum pasal – pasal yang dinilai kontroversi oleh publik dalam RUU TNI 2025 yang dikutip dari berbagai sumber.

Pasal 3 Ayat (2)

Ya pasal ini mengatur tentang perencanaan strategis Tentara Nasional Indonesia berada dalam koordinasi Kementerian Pertahanan.

Walaupun terlihat hanya teknis, tetapi para aktivis menilai aspek perencanaan strategis ini berpotensi mengaburkan batas kewenangan sipil – militer.

Sebagai informasi, UU Nomor 34 Tahun 2024 tentang TNI yang menempatkan Tentara Nasional Indonesia sepenuhnya berada dalam kendali sipil lewat departemen pertahan.

Tentunya perubahan ini banyak yang khawatir membuka ruang bagi tentara untuk merumuskan kebijakan pertahan secara sendiri, mengurangi peran kementerian sebagai regulator.

Pasal 7 Ayat (2)

Selain itu, pasal ini juga membuat ruang cakupan operasi militer selain perang (OMSP), mencakup tugas menangani masalah narkotika, penanggulangan ancaman siber, hingga penyelesaian kasus WNI di luar negeri.

Sebelumnya, tiga tugas tersebut secara konstitusional berada dalam naungan kepolisian dan kementerian.

Pastinya dengan adanya penambahan tugas ini dianggap berlebihan dan tak relevan dengan fungsi utama TNI sebagai alat pertahanan negara.

Pasal 47 Ayat (2)

Selain itu, Pasal 47 Ayat (2) juga menambah kouta jabatan sipil untuk TNI menjadi 16 institusi, termasuk juga Kejaksaan Agung dan Kementerian Keluatan.

Lebih lanjut, adanya mekanisme pengangakatan berdasarkan kebijakan presiden dinilai membuka celah politisasi.

Sebelumnya, jabatan sipil hanya bisa diisi oleh prajurit aktif terbatas terhadap 10 kementerian atau lembaga saja.

Dengan adanya perubahan tersebut tentunya dinilai sangat berisiko lantaran mengikis prinsip supremasi sipil dan membuka peluang dmoniasi militer.

Pasal 53 Ayat (1)

Di sisi lain, usulan kenaikan batas usia pensiun hingga 65 tahun untuk prajurit yang menduduki jabatan fungsional RUU TNI.

Hal itu juga mengusulkan agar perwira yang telah memasuki usia pensiun bisa direkrut kembali sebagai perwira komponen cadangan bila masih memenuhi persyaratan.

Dalam RUU TNI ini diusulkan peningkatan batas usia pensiun, yaitu:

  1. Tamtama: 55 tahun
  2. Bintara: 55 tahun
  3. Letnan Kolonel: 58 tahun
  4. Perwira tinggi bintang satu: 60 tahun
  5. Kolonel: 58 tahun
  6. Perwira tinggi bintang dua: 61 tahun
  7. Perwira tinggi bintang tiga: 62 tahun
  8. Perwira bintang empat Masa Dinas keprajuritannya ditetapkan berdasarkan kebijakan presiden

Editor: Abdul Hadi

Abdul Hadi

Back to top button