Jangan bayangkan murid Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 7 Munjul, Kabupaten Pandeglang bisa dengan mudah dan nyaman belajar daring seperti wilayah perkotaan lainnya. Daerah ini lebih banyak memiliki blank spot atau tidak terkaver sinyal internet.
Jangan pula dibayangkan, setiap murid SMAN 7 itu memiliki smartphone. Karena handphone jenis ini sudah menjadi trend dan murah menurut kemampuan warga perkotaan. Namun banyak murid yang tidak punya smartphone yang bakal menjadi sarana belajar online. Jika ada, banyak orangtua yang tidak mampu membelikan pulsa untuk kuota internet.
Ini cara pengurus dan guru-guru SMAN 7 Munjul, Kabupaten Pandeglang menghadapi dilema dalam menjalankan kegiatan belajar mengejar (KBM) yang harus daring akibat pandemi Covid-19. Kondisi ekonomi dan sosial orangtua murid tidak memungkinan untuk secara penuh menjalankan KBM daring.
“Kami bersepakat untuk menyiasati kondisi ini agar murid tetap belajar dengan cara yang bisa ditoleransi. Ini berdasarkan pengalaman kami selama menjalankan KBM dari Januari-Juni. Sekarang tanggal 13 Juli sudah memasuki tahun ajaran baru 2020/2021. Kemungkinan siasat itu akan tetap digunakan ,” kata Ginanjar Hambali, Wakil Kepala SMAN 7 Pandeglang yang dihubungi MediaBanten.Com, Senin (13/7/2020).
Baca:
- Karena Covid 19, Gubernur Banten Perpanjang Belajar di Rumah Bagi Pelajar SMA/SM dan Skh
- News Normal, Dindikbud Cilegon Siapkan Home Schooling Dan Daring
- Cegah Virus Corona, Untirta Lakukan Kuliah Jarak Jauh
Membentuk Tim
Ginanjar memaparkan, para guru membentuk tim yang membuat bahan ajar. “Sekarang kami menyiapkan untuk bahan ajar tahun 2020/2021,” katanya.
Kemudian, para murid dikelompokan berdasarkan alamat yang terdekat dan keterjangkauan internet dalam suatu daerah. Setiap kelompok membuat grup WA. Bahan ajar itu secara periodik dikirim ke grup WA. “Para murid mengunduh dari grup WA tersebut. Bagi yang tidak terjangkau internet, bisa datang ke lokasi kelompok itu dan mengambil bahan bajar di sana,” kata Ginanjar.
Tetapi persoalan sebagian murid SMAN 7 Pandeglang tidak hanya di situ. Kondisi ekonomi dan sosial orangtua murid menyebabkan para guru seperti hilang kontak dengan murid. Setidaknya, setiap kelas, ada 6-10 murid yang sulit dihubungi.
“Sekolah memutuskan untuk para walikelas mengunjungi murid yang sulit dikontak. Walikelas diberi uang transpor Rp25.000 per murid. Karena lokasi rumah orangtua murid cukup jauh dari sekolah. Berarti kalau satu kelas ada 6 murid, maka walikelas diberi uang transpor Rp125.000. Program ini disebut visit home,” katanya.
Selesai persoalan? Tidak juga. Rizalul, salah satu walikelas di SMAN 7 Pandeglang mengisahkan pengalamannya berkunjung ke rumah orangtua murid. Ketika tiba di rumah salah satu orangtua murid, kondisi ekonominya memang tidak mampu. Bahkan, orangtua itu tidak bisa membelikan HP atau smarthphone agar anaknya bisa belajar daring seperti yang disarankan pemerintah.
Mak Rizalul meminjamkan HP-nya untuk murid tersebut. Setelah itu, Rizalul pun membelikan pulsa untuk kuota internet agar murid tersebut bisa belajar daring. Rumah orangtua murid itu memang terkaver internet atau bukan daerah blank spot. Uang itu adalah uang pribadi Rizalul.
“Baru tahun ajaran ini, kami mendapat bantuan gadget dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Provinsi Banten. Karena itu, kami mendata ulang siapa saja yang tidak punya gadget, mengajukan surat peminjaman gadget. Termasuk murid yang kesulitan untuk beli pulsa,” kata Ginanjar.
Pertanyaannya, berapa banyak sekolah yang bernasib seperti SMAN 7 Pandeglang? Atau mungkin lebih parah lagi, ditambahkan pengelola dan guru sekolah tidak kreatif. Hanya pasrah menjalankan yang bisa dilakukan? (IN Rosyadi)