Warga Karang Jetak Protes Kampungnya Jadi Tempat Pembuangan Sampah
Warga Karang Jetak, Desa Bolang, Kecamatan Lebak Wangi, Kabupaten Serang kembali menyuarakan keluhan mereka terkait keberadaan Tempat Pembuangan Sampah (TPS) yang berdiri tak jauh dari permukiman.
Bau menyengat, serbuan lalat, hingga kekhawatiran soal kesehatan menjadi alasan utama protes warga.
Pantauan di lokasi pada Jumat, 14 Oktober 2025, tempat pembuangan sampah Karang Jetak yang berjarak sekitar 50 meter dari rumah warga mengeluarkan aroma tak sedap yang menyebar ke permukiman.
Warga juga menegaskan bahwa sampah yang menumpuk bukan berasal dari desa mereka, melainkan kiriman dari berbagai kecamatan.
Sulhah, warga Desa Bolang mengatakan masalah ini mulai dirasakan sejak TPS mulai aktif sekitar tahun 2020 dan semakin masif pada tahun ini. Bau mirip limbah septik menyusup ke rumah warga terutama saat malam dan pagi hari.
“Baunya menusuk. Warga sudah tidak betah. Ini bukan sampah kami, tapi kiriman dari banyak kecamatan,” ujarnya.
Ia menjelaskan, sebelum warga melakukan aksi protes pada Oktober lalu, aktivitas pembuangan sampah berlangsung hampir setiap waktu.
Setelah melakukan aksi, kata Sulhah bau sempat berkurang, tetapi truk sampah tetap masuk pada malam hari. Sulhah bahkan menyebut adanya tekanan kepada warga yang menolak keberadaan TPS. “Ada yang bilang kalau demo jangan keras-keras, nanti bisa celaka,” katanya.
Warga juga menduga sebagian sampah yang masuk bukan limbah rumah tangga. Mereka melihat barang-barang bekas elektronik dan material lain yang tidak dikenal masuk ke TPS.
“Kadang kita lihat ada barang-barang bekas timbangan, elektronik, dan macam-macam. Aromanya pun beda,” tutur Sulhah.
Karena itu, warga berharap pemerintah desa, kecamatan, dan dinas terkait menutup TPS tersebut secara permanen. Lokasinya dinilai tidak layak karena terlalu dekat dengan permukiman.
“Kami cuma ingin lingkungan kembali asri seperti dulu. Udara segar, tidak bau, tidak banyak lalat. Itu saja,” ujarnya.
Kendati demikian, Ketua RT Kampung Karang Jetak, Saekhi, membenarkan bahwa truk sampah kini sering masuk pada tengah malam untuk menghindari pantauan warga. “Setelah ada penolakan, mereka datang diam-diam. Biasanya lewat jam dua malam,” katanya.
Menurut Saekhi, dampak TPS ini dirasakan hingga kampung lain seperti Ragas Pulau, Ragas Mesir, Bojong, hingga Onjong.
Ia juga mengkritisi klaim dari Dinas Lingkungan Hidup (KLH) Kabupaten Serang yang menyebut TPS berada jauh dari permukiman.
“Jjadi, kepada rekan-rekan media jika melakukan shooting seharusnya ambil dari jalan akses perkampungan, jangan dari lokasi saja. Sementara saya ngobrol bersama pihak-pihak KLH itu, seolah-seolah mereka itu ada alibi, bahwa si pembuangan sampah itu jauh dari perkampungan, itu alibi dari KLH Kabupaten Serang,” ujarnya dalam bahasa Jawa Serang.
Masalah semakin parah saat musim hujan. Lalat masuk ke rumah warga dalam jumlah besar. Sementara pada musim kemarau, asap pembakaran sampah membuat warga sesak napas.
“Siang malam dibakar. Pembakaran juga menambah sesak napas warga, terutama yang punya riwayat asma,” kata Saekhi.
Ia menegaskan bahwa tidak pernah ada sosialisasi atau permintaan izin kepada warga sebelum TPS beroperasi. Warga juga tidak pernah menerima kompensasi. “Kompensasi tidak ada. Izin juga tidak pernah diberikan. Tahu-tahu sampah numpuk,” ujarnya.
Meski warga sudah berulang kali menyampaikan keluhan, mereka menilai belum ada langkah tegas dari camat maupun dinas lingkungan hidup. TPS disebut sebagai lokasi transit sementara, namun aktivitas pembuangan masih terus berjalan.
Beberapa warga bahkan sudah mengeluarkan biaya berobat akibat gangguan pernapasan. “Kalau yang punya BPJS Kesehatan mungkin aman. Tapi yang tidak punya harus bayar sendiri. Bisa jutaan,” kata Saekhi. (Pengirim Taufik Hidayat)










