Opini

Premanisme Pokir di DPRD Banten

Demo rakyat di Gedung DPR RI pada 25 Agustus 2025 bukan sekadar peristiwa yang terjadi di lingkup nasional. Gelombang perlawanan itu punya gema yang sampai ke daerah, terutama Banten. Publik di provinsi ini juga merasakan getir yang sama: betapa lembaga legislatif—yang seharusnya menjadi perpanjangan lidah rakyat—sering kali justru tampil sebagai “preman politik” yang membajak anggaran daerah melalui mekanisme Pokok Pikiran (Pokir), juga disebut sebagai Premanisme Pokir.

OLEH: IKHSAN AHMAD *)

Pokir sejatinya dirancang untuk menjembatani aspirasi warga. Namun di tangan sebagian anggota DPRD Banten, ia berubah menjadi instrumen pemaksaan kepentingan.

Legislator datang ke dinas dengan membawa tas penuh Pokir, bukan untuk bertanya tentang kebutuhan rakyat, melainkan memastikan: “Apakah titipan kegiatan kami sudah jalan?” Sosialisasi, seminar, atau program seremonial yang miskin urgensi tiba-tiba dipaksakan sebagai prioritas.

Lebih miris lagi, kegiatan itu sering kali justru menempatkan sang anggota dewan sebagai narasumber utama, lengkap dengan paket honor dan pencitraan pribadi.

Kondisi ini menimbulkan paradoks. Di satu sisi, pemerintah provinsi tengah gencar melakukan efisiensi pada berbagai pos anggaran. Program teknis, infrastruktur kecil, bahkan kegiatan layanan masyarakat kerap dipangkas.

Namun di sisi lain, Premanisme Pokir tetap lolos dengan dalih “aspirasi.” Seolah-olah efisiensi hanya berlaku bagi rakyat kecil, sementara anggota dewan punya jalur khusus untuk mengamankan kepentingannya.

Inilah wajah baru premanisme politik di Banten. Kalau preman jalanan menagih uang keamanan dengan ancaman, maka preman dewan memaksa dinas mengakomodasi Pokir dengan legitimasi formal.

Bedanya hanya kostum: satu berseragam ormas, satu lagi berdasi rapi di ruang rapat berpendingin udara. Tetapi esensinya sama—pemaksaan kehendak demi keuntungan kelompok kecil.

Tidak mengherankan jika demonstrasi 25 Agustus di Senayan mendapat sambutan hangat dari mahasiswa dan elemen masyarakat.

Mereka melihat isu nasional ini punya refleksi lokal yang nyata. DPRD Banten, bukannya menjadi benteng aspirasi, justru kerap tampil sebagai broker anggaran.

Warga Banten tentu berhak bertanya: sampai kapan uang pajak mereka digunakan untuk membiayai sosialisasi tanpa makna, sementara jalan rusak, banjir, dan pengangguran dibiarkan terbengkalai?

Tulisan ini bukan hendak menafikan fungsi DPRD sebagai lembaga pengawas sekaligus pengatur anggaran. Justru sebaliknya, ia mengingatkan bahwa mandat rakyat adalah tanggung jawab, bukan tiket untuk menagih jatah. Aspirasi rakyat tidak boleh diperdagangkan melalui Pokir yang kerap dipelintir menjadi mesin rente politik.

Demonstrasi rakyat di Senayan adalah alarm keras bagi parlemen daerah. DPRD Banten harus segera berbenah: hentikan budaya titip anggaran, kembalikan Pokir pada fitrahnya sebagai saluran kebutuhan riil warga, dan buktikan bahwa parlemen adalah rumah rakyat, bukan sarang preman dengan jas dan dasi.

Jika tidak, jangan salahkan rakyat Banten bila gelombang ketidakpercayaan semakin membesar dan suara perlawanan kian nyaring bergema ke gedung dewan di Banten. (**)

*) IKHSAN AHMAD adalah Pengamat Kebijakan Publik yang sehar-hari sebagai Dosen FISIP Untirta.

Iman NR

Back to top button