Opini

Membaca Strategi “Trump Trade War 2.0” Via Game Theory

Saat Donald Trump resmi dilantik untuk ke-2 kalinya menjadi Presiden Amerika Serikat (AS) dan mulai kembali lagi ke Gedung Putih di 20 Januari 2025, dunia sepertinya harus bersiap menghadapi Trump Trade War 2.0.

OLEH: SAYIFULLAH *)

Sinyal ini sudah mulai terlihat dari 100 dekrit eksekutif yang ditandatanganinya di berbagai bidang, termasuk bidang yang menyangkut perdagangan luar negeri.

Bahkan ancaman perang dagang jilid 2 atau Trump Trade War 2.0, terutama terhadap Cina dan negara-negara lain seperti Meksiko dan Eropa, kini benar-benar menjadi kenyataan setelah pengumuman pemberlakuan tarif resiprokal Trump.

Jika dianalisis dari kacamata Game Theory, perang tarif ini bukan hanya “adu otot dan keras kepala” soal perdagangan luar negeri, tetapi juga pertarungan strategi antara dua negara besar yakni AS Vs China. Seperti halnya dalam permainan catur, setiap langkah dan eskalasi bisa mengubah arah permainan.

Lalu bagaimanakah peta Trump Trade War 2.0 atau perang dagang Trump jilid 2 ini? Kira-kira skenario hasil akhirnya akan seperti apa untuk Amerika Serikat, Cina, dan dunia?

Perang Tarif dan Game Theory

Perang tarif terjadi ketika dua negara atau lebih saling mengenakan pajak tinggi atas barang impor dari satu sama lain.

Tujuannya adalah melindungi industri domestik, mengurangi ketergantungan pada barang luar negeri, dan pada kasus Trump, menekan negara mitra dagang agar mengubah perilaku ekonominya, misalnya mengurangi praktik yang dianggap “curang” seperti subsidi ekspor, dumping atau “pencurian” kekayaan intelektual.

Pada periode 2018–2019, perang tarif pertama Trump terhadap Cina menyebabkan tarif terhadap barang senilai lebih dari USD 360 miliar. Cina kemudian membalas dengan mengenakan tarif pada barang-barang Amerika senilai USD 110 miliar.

Game theory atau teori permainan adalah alat analisis dalam ilmu ekonomi yang digunakan untuk memahami strategi ketika imbalan atau hasil suatu pihak yang bergantung pada tindakan pihak lain.

Dalam perang tarif, Amerika dan Cina bertindak sebagai dua pemain rasional yang memilih strategi antara Cooperate (Bekerja Sama) atau Defect (Membalas).

Strategi Cooperate (Bekerja Sama) yaitu menurunkan atau menghapus tarif, membuka perdagangan bebas. Sedangkan strategi Defect (Membalas) yaitu memberlakukan tarif balasan, meningkatkan ketegangan.

Dilema utamanya dalam perang dagang ini mirip dengan Prisoner’s Dilemma klasik. Jika kedua belah pihak cooperate, mereka mendapat manfaat besar dari perdagangan bebas. Jika satu pihak defect dan yang lain cooperate, pihak yang melakukan defect mendapat keuntungan maksimal.

Kemudian jika keduanya defect, keduanya menderita kerugian, tetapi mereka akan tetap melakukannya demi untuk mencegah dimanfaatkan oleh pihak lain.

Dengan Trump yang mengusung kebijakan “tarif sebagai senjata”, skenario mutual defection (saling membalas) sangat mungkin terjadi, sebagaimana yang sudah terlihat di awal-awal pasca pengumuman tarif oleh Trump.

Strategi AS : Tarif Sebagai Alat Penekan

Trump sepertinya percaya bahwa Amerika, sebagai konsumen terbesar dunia, memegang “kartu terkuat”. Dengan mengenakan tarif tinggi, Trump berharap dapat menekan Cina untuk mengubah kebijakan industrinya (seperti subsidi), sehingga dapat menghidupkan kembali industri manufaktur Amerika yang merosot akibat globalisasi.

Selain itu, tarif menjadi instrumen bagi Trump untuk mengurangi defisit perdagangan, yang dianggap disebabkan “kecurangan” perdagangan luar negeri oleh negara lain.

Namun, dalam Game Theory, realitas penggunaan tarif ini adalah strategi berisiko tinggi. Sebab begitu lawan membalas, biaya yang harus ditanggung menjadi mahal, menciptakan situasi lose-lose.

Strategi Cina: Bertahandan Membalas

Cina telah belajar dari pengalaman perang tarif pertama. Kini, strategi Cina lebih fleksibel. Cina telah mendiversifikasi pasar ekspornya dengan memperdalam hubungan dagang dengan negara-negara Global South melalui Belt and Road Initiative (BRI) dan RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) yang melibatkan ASEAN beserta lima negara mitra utama (Cina, Jepang, Korsel, Australia dan Selandia Baru).

Selain itu Cina juga telah meningkatkan permintaan domestik-nya dalam rangka mengurangi ketergantungan pada ekspor.

Cina sekarang mencoba melakukan tarif balasan dengan menargetkan produk-produk politis, seperti produk pertanian dari negara bagian AS, untuk memberikan tekanan politik domestik kepada Amerika.

Dari sudut pandang Game Theory, Cina mencoba menggunakan tit-for-tat strategy yakni membalas setiap eskalasi dengan eskalasi setara, sambil siap untuk bernegosiasi yang setara.

Possibility Akhir

Mengacu pada ulasan Game Theory yang sudah diuraikan secara ringkas di awal, terdapat empat skenario yang mungkin terjadi menurut hemat penulis, sebagai ujung dari Perang Dagang Jilid 2 Trump.

Empat skenario tersebut adalah 1) Mutual escalation (saling menaikkan tarif); 2) Salah satu pihak mengalah; 3) Negosiasi; dan 4) Perang dagang dingin yang berkepanjangan.

Skenario pertama yaitu mutual escalation (saling menaikkan tarif), terjadi bila kedua negara tetap bersikukuh, dan saling membalas tarif. Al-hasil akan terjadi penurunan perdagangan, kenaikan harga barang, disrupsi rantai pasok global dan perlambatan pertumbuhan ekonomi global.

Situasi ini adalah hasil Nash Ekulibrium Klasik, tidak ada pihak yang mau mengalah walaupun setiap pemain mengetahui bahwa hasil akhirnya buruk bagi semua pihak.

Skenario kedua, salah satu pihak mengalah. Bila Cina di bawah tekanan ekonomi mengalah terhadap AS, berarti negara Cina setuju membuka pasarnya lebih luas dan mengurangi subsidi.

Sementara itu AS tetap dengan tarif yang tinggi. Hasilnya AS akan mengklaim kemenangan politik perdagangan luar negerinya dan Cina akan mengalami penurunan ekspor. Namun skenario ini kecil kemungkinannya terjadi.

Skenario ketiga, negosiasi. Masing-masing pihak bersepakat untuk menegosiasikan aturan perdagangan baru dan menurunkan aturan tarif. Ini adalah kondisi yang ideal, mempertimbangkan saling ketergantungan dalam perdagangan internasional dan dampak buruk jangka panjang eskalasi perang tarif.

Skenario keempat, perang dagang dingin yang berkepanjangan. Skenario keempat merupakan bentuk pengalihan eskalasi perang tarif dan yang tercipta adalah ketegangan yang bekelanjutan. Perang dagang tetap berlangsung dimana perdagangan dunia terfragmentasi menjadi blok-blok besar. Restriksi non-tarif mendominasi dan menjadi penghalang perdagangan global.

Pada skenario yang mana perang dagang jilid 2 berakhir? Sebagai pengamat, penulis berharap yang ketiga, tetapi tidak menuntup kemungkinan yang terjadi adalah yang keempat. Jawaban ini tentunya ada pada Trump dan Xi Jinping yang masih menyimpannya “di kepala dan saku” masing-masing, meskipun ada sinyal-sinyal dan fenomena yang bisa kita baca. (**)

*) SAYIFULLAH adalah Dosen Ekonomi Pembangunan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta)

Iman NR

Back to top button