Mozaik

Dinasti Abbasiyah Dari Paman Nabi Membangun Pilar Peradaban Islam

Para penguasa Dinasti Abbasiyah merupakan keturunan dari paman Nabi Muhammad SAW, al-Abbas. Pendiri dinasti ini adalah Abdullah al-Saffah pada 750 M. Sang pendiri memerintah hanya dalam waktu singkat, dari 750 sampai 751 M. Al-Saffah kemudian digantikan oleh Abu Ja’far al-Mansur (754-775 M).

Dalam Ensiklopedia Islam disebutkan, dua khalifah pertama itu meletakkan dasar-dasar Dinasti Abbasiyah. Sedangkan, tujuh khalifah sesudahnya membangun pilar-pilar peradaban Islam hingga mencapai puncaknya.

Boleh dikata, Dinasti Abbasiyah menyempurnakan bangunan peradaban Islam dari dinasti sebelumnya, Dinasti Umayyah. Badri Yatim dalam Sejarah Peradaban Islam mencatat, Dinasti Umayyah-lah yang memperkenalkan sistem pendidikan formal. Namun, kala itu pendidikan formal masih diselenggarakan di masjid-masjid. Anak-anak didik memperoleh pengajaran tafsir, hadis, fikih, sastra, dan bahasa di masjid-masjid.

Jika seorang murid ingin mendalami disiplin tertentu, yang bersangkutan biasanya pergi ke masjid lain atau langsung ke rumah ulama yang ahli di bidang itu. Namun, khusus bagi para pangeran, mereka mendapatkan pendidikan di dalam istana.

Baca:

Model Pendidikan

Model pendidikan seperti itu berkembang pesat di zaman Dinasti Abbasiyah. Sultan-sultan dari Bani Abbas sangat peduli pada peningkatan peradaban Islam melalui pendidikan. Puncak kejayaannya terjadi pada masa kekuasaan Khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan putranya, al-Ma’mun (813-833 M).

GE Bosworth dalam Dinasti-dinasti Islam menyatakan, tiga abad pertama Dinasti Abbasiyah (abad ke VIII sampai ke XI) merupakan abad kejayaan dinasti ini. Bidang sastra, teologi, filsafat, dan ilmu pengetahuan berkembang pesat. Kemajuan ekonomi dan perdagangan terjadi di mana-mana, terutama di Irak, Persia, dan Mesir. Karena itu, seorang orientalis asal Swiss, Adam Mez, tidak ragu-ragu untuk menyebut era Dinasti Abbasiyah ini sebagai “Renaisans Islam”.

Lantas, faktor apa yang mendorong terjadinya kemajuan itu? Ahmad Amin dalam bukunya bertajuk Dhuha Islam menjelaskan, pada era itu terjadi pembauran antara orang-orang Arab dengan bangsa-bangsa lain yang sudah berperadaban maju.

Di masa Dinasti Abbasiyah, banyak orang non-Arab yang masuk Islam. Mereka, tutur Ahmad Amin, punya pengaruh besar pada perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Misalnya saja Persia. Bangsa Persia berpengaruh kuat pada bidang pemerintahan, filsafat, dan sastra.

India

Pun demikian dengan India. Mereka berpengaruh di bidang kedokteran, matematika, dan astronomi. Sedangkan, bangsa Yunani berpengaruh di bidang ilmu pengetahuan dan filsafat.

Di samping itu, jelas Ahmad Amin, aktivitas terjemahan dari buku-buku berbahasa asing ke bahasa Arab sangat marak. Pada periode antara al-Mansur hingga Harus al-Rasyid, banyak sekali diterjemahkan buku-buku di bidang astronomi dan logika. Dan pada periode setelah al-Ma’mun hingga al-Muqtadir (908-932 M), banyak diterjemahkan buku di bidang filsafat dan kedokteran. Aktivitas terjemahan ini semakin luas ketika umat Islam sudah mengenal cara pembuatan kertas.

Tak ketinggalan, ilmu agama juga berkembang pesat. Menurut Badri Yatim, pada masa Dinasti Abbasiyah para ahli tafsir mengenal metode penafsiran Alquran bi al-ma’tsur dan bi al’ra’yi. Metode penafsiran yang pertama didasarkan pada ayat-ayat Alquran, hadis, dan pendapat para sahabat (qawl shahaby). Sedangkan, metode yang kedua didasarkan pada rasionalitas. Tak diragukan lagi, kata Badri Yatim, tafsir bi al’ra’yi dipengaruhi oleh perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan.

Di era ini pula, ilmu fikih berkembang pesat. Keempat imam mazhab, yaitu Imam Abu Hanifah (700-767 M), Imam Malik (713-795 M), Imam Syafi’i (767-820 M), dan Imam Ahmad ibn Hanbal (780-855 M) hidup di zaman dinasti ini.

Beberapa ahli sejarah menelaah bahwa maraknya perkembangan ilmu pengetahuan Islam itu ternyata tidak disertai dengan kontrol terhadap wilayah-wilayah kekuasaan pemerintah. Menurut Montgomery Watt dalam Politik Islam dalam Lintasan Sejarah, Dinasti Abbasiyah sepertinya sudah puas dengan pengakuan dari provinsi-provinsi yang sebelumnya ditaklukkan oleh Dinasti Umayyah.

Provinsi-provinsi itu, kecuali Bani Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Maroko, jelas Watt, taat membayar upeti di saat Baghdad masih kuat. Tetapi ketika lemah, mereka menolak membayar pajak, bahkan berani melepaskan diri dari Baghdad.

Inilah salah satu sebab internal runtuhnya dinasti ini. Sejak khalifah al-Mu’tashim (833-842 M) sejumlah provinsi melepaskan diri dari Baghdad dan berdiri menjadi kekhalifahan yang independen. Sebab, eksternalnya adalah Perang Salib dan serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. (Tulisan ini dikutip utuh dari republika.co.id / IN Rosyadi)

Iman NR

Back to top button