Opini

Fenomena “Dinasti Politik” dalam Sistem Pemilihan Langsung

Penggunaan istilah dinasti politik yang disematkan pada penguasaan jabatan politik dalam sistem pemilihan langsung memang menjadi salah kaprah. Tapi istilah itu selalu saja muncul ketika berbicara sekelompok orang yang mendominasi kekuasaan.

OLEH: KELOMPOK 2 KELAS 4E IKOM FISIP UNTIRTA *)

Sejatinya, dinasti politik terjadi pada era kerajaan atau sistem monarki. Sebab jabatan atau kekuasaan dibagi tanpa pemilihan oleh rakyat kepada orang yang memiliki hubungan darah atau ikatan kekerabatan.

Dala era demokrasi, apalagi pemilihan langsung oleh rakyat, maka tidak relevan apa yang disebut dengan dinasti politik. Kondisi kekuasaan yang diraih melalui pemilihan ini sebenarnya lebih merujuk pada istilah oligarki.

Oligarki adalah bentuk struktur kekuasaan di mana kekuasaan berada di tangan segelintir orang. Orang-orang ini mungkin memiliki hubungan darah atau ikatan kekerabatan, ketenaran, kekayaan, pendidikan atau kontrol perusahaan, agama, politik atau militer. Mereka saling berhubungan dalam mencapai tujuannya.

Tetapi masyarakat ingin mudah saja. Setiap kali muncul penguasaaan oligarki, maka dengan mudah masyarakat menyematkannya dengan kata dinasti politik. Meski istilah itu salah kaprah, masyarakat lebih senang menggunakan istilah itu dibandingkan oligarki.

Misalnya Keluarga Mulyadi Jayabaya yang sering disebut sebagai dinasti politik di Kabupaten Lebak sejak tahun 2023. Kekuasaan yang dipangku keluarga Mulyadi Jayabaya tentu saja melalui pemilihan kepala daerah (Pilkada), bukan dibagi-bagi. Tetapi masyarakat tetap menyebutnya sebagai Dinasti Politik.

Kini kiprah Keluarga Jayabaya di Lebak mulai menyusut. Ini terbukti dengan kalahnya beberapa keturunan Jayabaya di pemilihan legislatif (pileg) 2024 dan mengubur mimpi untuk duduk di Senayan.

Dengan kalahnya Jayabaya ini seharusnya kita sebagai masyarakat dapat berpikir lebih jauh, bahwa sejatinya politik dinasti itu tidak terjadi, karena siapapun kontestan politiknya dapat mengalami kemenangan ataupun kekalahan.

Hal ini juga merupakan bentuk bukti bahwa pintu peluang yang sangat besar bagi ruang demokrasi masih sangat terbuka, para elit partai politik lain bisa meramaikan bursa pencalonan nantinya.

Yang sangat menarik adalah kalahnya suara Iti Octavia Jayabaya yang keturunan dari Mulyadi Jayabaya oleh suara Rizki Aulia Rahman Natakusumah yang merupakan anak dari Dimyati Natakusumah di Dapil Lebak dan Pandeglang.

Dari contoh ini, dapat dilihat bahwa proses demokrasi di negeri ini masih berjalan dengan baik. Namun, hal ini justru dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai pelebaran sayap dinasti politik Dimyati Natakusumah.

Trah Natakusumah ini dianggap mulai menunjukkan taringnya pada tahun 2000, dimana waktu itu Achmad Dimyati Natakusumah berhasil memenangkan Pilkada dan menjabat Bupati Pandeglang selama dua periode hingga tahun 2009.

Setelah itu Dimyati menjadi anggota DPR RI selama dua periode beruntun serta pernah menjadi Wakil ketua MPR RI.

Trah Natakusumah pun semakin dilirik dan dianggap sebagai sebuah dinasti ketika istri dari Dimyati Natakusumah maju di Pemilu Legislatif 2014, sepasang suami istri ini sama-sama maju dan memenangkan pemilihan umum lalu menjadi anggota DPR RI.

Pada tahun 2016 keluarga Natakusamah kembali menduduki kursi Bupati Pandeglang, tetapi kali ini bukan Dimyati Natakusumah melainkan istrinya yaitu Irna Narulita yang menduduki kursi bupati dari tahun 2016 hingga sekarang.

Dan sekarang anak dari keduanya yaitu Rizki Aulia Rahman Natakusumah yang baru saja memenangkan kursi DPR RI digadang-gadang akan maju di Pilkada 2024 untuk berebut menduduki kursi bupati Pandeglang.

Hal tersebut diatas dianggap sebagai dinasti politik, karena dalam satu daerah diduduki pejabat dari satu keturunan keluarga. Padahal hal tersebut terjadi karena mereka memenangkan banyak suara didaerah tersebut, dan tentu saja hal ini tidak bisa dianggap sebagai dinasti politik, karena sejatinya mereka terpilih melalui proses demokrasi, yaitu suara rakyat.

Tak hanya di daerah, dinasti politik dianggap dilakukan juga pada skala nasional dan sedang ramai dibincangkan hingga saat ini, yaitu Keluarga Joko Widodo, keluarganya mulai menduduki jabatan-jabatan strategis.

Bobby Nasution sebagai menantu dari Jokowi yang menduduki kursi Walikota Medan, dan anak pertamanya yaitu Gibran Rakabuming Raka yang menjabat menjadi Walikota Solo dan secara mengejutkan maju menjadi calon wakil presiden serta memenangkan pemilihan umum presiden dan wakil presiden 2024 bersama Prabowo Subianto.

Keluarga Jokowi sering dianggap dinasti politik padahal secara jelas hal itu melalui proses Pilkada ataupun Pemilu.

Selama terjadinya susunan kekuasaan yang yang tidak mengubah atau melanggar tatanan hukum tertulis sah-sah saja, karena melalui proses-proses yang benar dan mampu menjabat dengan sangat baik yang mampu mengangkut seluruh aspirasi masyarakat itu tentu dinilai baik dan selagi mengikuti demokrasi dalam pemilihan umum (Pemilu) yang dipilih langsung oleh rakyat.

Dinasti politik bisa dikatakan apabila tidak adanya sistem pemilihan langsung yang dilakukan oleh masyarakat. Keluarga Jayabaya, Natakusumah hingga Joko Widodo bukanlah dinasti politik karena hal itu telah melalui proses pemilihan suara seperti Pilkada dan Pemilu.

Dinasti politik itu merujuk tanpa pemilihan pada situasi di mana kekuasaan politik dan kendali pemerintahan secara dominan dipegang oleh satu keluarga atau garis keturunan tertentu, tanpa melalui proses pemilihan yang adil dan terbuka kepada masyarakat umum. (**)

*) OPINI ini ditulis oleh Kelompok 2 Kelas 4E Ikom Fisip Untirta terdiri dari Yusuf Adam Danendra, Moh Fahmi Fauzan, Muhammad Sofan, Irvan Setia Maulana dan Samuel Adi Gunawan Manullang.

Iman NR

Back to top button