Gas Air Mata Polisi Sebabkan Kepanikan Massal di Kota Serang
Tindakan represif aparat kepolisian dari Polresta Serang Kota dengan menembakkan gas air mata untuk membubarkan demonstrasi di pusat Kota Serang, tak hanya menambah ketegangan, tetapi juga menyebabkan kepanikan massal di kalangan pengendara dan warga yang terjebak di sekitar lokasi.
Sejumlah massa aksi dan pengendara sepeda motor terpaksa berhamburan ke segala arah untuk menghindari efek dari serangan yang pedas dan mengganggu pernapasan.
Dalam situasi yang semakin kacau, banyak pengendara sepeda motor memilih untuk menepikan kendaraannya dan bersembunyi di dalam Indomaret atau ruko lainnya untuk menghindari dampak gas yang terus menyebar.
Namun, dampak gas tersebut tak terbatas hanya pada lokasi aksi. Efeknya terasa hingga ke Pasar Rau, beberapa kilometer dari pusat kericuhan.
Salah seorang pengemudi yang terjebak di tengah kerumunan menceritakan pengalaman mengerikannya saat melintasi kawasan tersebut.
Dia bersama istri dan anaknya terjebak kemacetan akibat aksi unjuk rasa di depan Polresta Serang Kota. Tak lama kemudian, gas yang ditembakkan polisi mulai menyebar, membuat mereka panik dan ketakutan.
“Gas air mata ini perih banget, saya sama keluarga langsung ketakutan. Anak saya sampai nangis keras, dia takut banget. Saya bawa motor, tapi nggak bisa ngapa-ngapain,” ujar pria berusia 27 ini tahun yang tak ingin disebutkan namanya, saat diwawancarai oleh MediaBanten.com.
Pria tersebut kemudian menceritakan bagaimana ia dan anaknya sempat bersembunyi di ruko terdekat setelah merasakan perihnya gas air mata.
Bahkan, dia mendapat bantuan dari warga setempat yang memberikan odol untuk meredakan rasa sakit di mata.
Namun, keadaannya semakin kacau ketika ia terpisah dari istrinya, akibat kepanikan yang disebabkan oleh serangan gas air mata tersebut.
“Saya telepon istri, tapi nggak diangkat-angkat. Banyak orang pada panik, kendaraan berhamburan. Lalu lintas macet parah, nggak ada pengaturan dari aparat,” ungkapnya dengan nada kesal.
Lebih parahnya lagi, anaknya yang turut terjebak dalam situasi itu sempat menangis ketakutan karena tak hanya terkena gas air mata, tetapi juga terperangkap dalam kepanikan massal yang melanda pengendara dan penumpang angkutan umum.
Berdampak langsung pada warga sipil, tindakan polisi ini memunculkan pertanyaan serius mengenai seberapa jauh aparat kepolisian harus menggunakan kekuatan dalam mengatasi aksi protes yang berlangsung.
Gas air mata yang dipakai sebagai alat untuk membubarkan kerumunan, ternyata justru memperburuk situasi, menambah ketegangan, dan memperburuk keselamatan warga yang tidak terlibat dalam demonstrasi tersebut.
Aksi represif semacam ini, yang melibatkan penggunaan gas air mata di tempat-tempat umum dengan banyaknya warga sipil yang tak berpartisipasi dalam unjuk rasa, patut dipertanyakan dalam konteks hak asasi manusia dan tata kelola keamanan yang bijaksana.
Polisi tampaknya lupa bahwa tugas mereka bukan hanya menegakkan hukum, tetapi juga melindungi keselamatan warga, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar keadilan.
Editor: Abdul Hadi











